Hakim dan Kesehatan Mental: Menjaga Integritas di Tengah Tekanan Publik

Jika mental terjaga, maka putusan yang lahir pun lebih reflektif, empatik, dan legitimate. Pada akhirnya, keadilan yang sehat bermula dari hakim yang sehat pula.
Ilustrasi hakim hidup dalam bayang-bayang ancaman. Foto gemini.google.com/
Ilustrasi hakim hidup dalam bayang-bayang ancaman. Foto gemini.google.com/

Tekanan publik terhadap putusan pengadilan semakin tinggi di era media sosial. Satu vonis saja bisa langsung menjadi headline dan memicu debat panas di linimasa. Di balik jubah hitamnya, hakim adalah manusia biasa yang ikut merasakan guncangan psikis ketika disorot, dikritik, bahkan dicaci. Di sinilah kesehatan mental memegang peran penting. Tanpa kestabilan emosi, mustahil seorang hakim mampu memutus perkara secara jernih, rasional, dan berkeadilan.

Undang‑Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan,  hakim wajib “menggali, mengikuti, dan memahami nilai‑nilai keadilan yang hidup di masyarakat”. Kalimat tersebut tampak sederhana, namun memerlukan kebeningan jiwa dan pikiran.

Bayangkan, ketika seorang hakim menangani perkara besar-misalnya korupsi miliaran rupiah-lalu gawai pribadinya dipenuhi komentar miring. Jika mental tak kokoh, imparsialitas dapat terganggu.

Mahkamah Agung (MA) menyadari risiko ini. Lewat Badan Peradilan, MA rutin menggelar pembinaan mental dan spiritual, forum curah pendapat, hingga konseling terpadu. Program “Judicial Wellness” yang digagas beberapa pengadilan pilot project, misalnya, menyediakan layanan psikolog dan ruang meditasi. Tujuannya jelas: menjaga integritas melalui kesejahteraan psikis. Di sejumlah negara, hal semacam ini bahkan diwajibkan. Indonesia patut menempuh jalan serupa agar hakim tidak merasa berjuang sendirian.

Selain dukungan kelembagaan, ada tiga hal praktis yang bisa dilakukan hakim. Pertama, manajemen waktu: menyeimbangkan jam sidang, penulisan putusan, dan istirahat. Kedua, peer support-berbagi beban dengan rekan sejawat dalam wadah IKAHI (Ikatan Hakim Indonesia). Ketiga, pemisahan ranah pribadi dan publik di media sosial untuk meminimalkan paparan komentar negatif. Langkah sederhana ini dapat menjadi “perisai” mental di tengah derasnya opini.

Di sisi lain, publik pun perlu diedukasi. Kebebasan berekspresi bukan tiket untuk merundung aparat peradilan. Kritik boleh saja, namun tetap dengan bahasa yang santun dan fakta yang akurat. Begitu pula wartawan hukum- framing berita harus proporsional agar tidak menciptakan tekanan berlebih sebelum hakim membacakan putusan.

Harapan ke depan, MA semakin proaktif menyusun pedoman kesehatan mental dan menambah fasilitas konseling di setiap wilayah hukum. Integritas hakim bukan hanya soal kode etik di atas kertas, tetapi juga kestabilan batin untuk menghadapi ribuan pasang mata. Jika mental terjaga, maka putusan yang lahir pun lebih reflektif, empatik, dan legitimate. Pada akhirnya, keadilan yang sehat bermula dari hakim yang sehat pula.

Penulis: Nur Amalia Abbas
Editor: Tim MariNews