Tangis seorang hakim di ruang sidang selalu memiliki makna yang lebih dari sekadar emosi.
Dalam persidangan kasus dugaan suap minyak goreng di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Hakim Effendi menitikkan air mata sambil berucap lirih bahwa ia menyidangkan temannya.
"Jujur sebagai manusia biasa saya emosional terhadap persidangan ini. Selama jadi hakim inilah persidangan yang berat buat saya," kata Efendi dengan suara bergetar.
Efendi yang menjadi Ketua Majelis perkara tersebut mengaku terbawa emosi. Ia tak kuasa menahan tangis dalam agenda pemeriksaan terdakwa. Pasalnya, yang duduk sebagai terdakwa adalah rekan sejawatnya.
Saya pribadi mengenal Hakim Effendi bukan hanya sebagai kolega, melainkan teman seangkatan (hakim angkatan X).
Saya tahu betul dedikasi dan integritasnya. Karena itu, saya memahami beratnya beban batin yang ia rasakan pada tugasnya sebagai pengadil saat itu.
Tangisnya adalah cermin dari perjuangan moral seorang hakim, sosok yang harus menegakkan hukum terhadap rekan sejawatnya yang dulu berjalan di jalur pengabdian yang sama.
Reaksi publik pun beragam. Ada yang terharu, ada yang khawatir. Sebagian memandang tangisan itu sebagai bukti kemanusiaan, sebagian lain menilai bisa mengaburkan objektivitas.
Dua pandangan yang berbeda, namun sejatinya menunjukkan satu hal: publik mencermati dengan sungguh-sungguh bagaimana peradilan menjaga integritasnya.
Hakim memang dituntut tegas dan netral, tetapi ia bukan mesin yang menafsir pasal tanpa rasa. Di balik toga merah, ada manusia yang menanggung beban moral besar.
Tangisan bukan tanda kelemahan, namun justru pertanda kekuatan hati yang berjuang agar tetap adil di tengah pergulatan rasa.
Sejarah bangsa kita juga mencatat dilema serupa. Soekarno dan Kartosuwiryo pernah bersahabat dekat di rumah H.O.S. Cokroaminoto, sebelum sejarah memisahkan jalan mereka.
Saat Kartosuwiryo memproklamasikan NII, Soekarno dengan berat hati menandatangani keputusan hukuman mati bagi sahabatnya.
Sejarawan menulis, ia melakukannya sambil menangis. Tangisan itu bukan karena benci, melainkan karena tahu: menegakkan hukum kadang berarti mengorbankan sebagian diri.
Begitulah juga seorang hakim. Ia harus menegakkan hukum tanpa pandang bulu, namun dengan hati yang memahami makna keadilan. Karena tugas hakim bukan sekadar menjatuhkan hukuman, melainkan memastikan keadilan yang hidup di tengah manusia.
Begitu pula bagi hakim di ruang sidang hari itu. Kedekatan personal tak boleh memengaruhi objektivitas hukum, karena semua orang sama di hadapan hukum (equality before the law).
Namun, rasa kemanusiaan itulah yang membuat seorang hakim mampu memahami konteks, perasaan, dan nilai keadilan yang lebih dalam.
Tugas hakim bukan sekadar menjatuhkan hukuman, tetapi juga memastikan bahwa setiap putusan mencerminkan keadilan yang hidup di tengah masyarakat.
Itulah sebabnya profesi hakim disebut mulia, karena ia harus teguh seperti batu, namun tetap lembut seperti hati.
Tangisan Hakim Effendi bukan pertanda lemahnya sistem peradilan, melainkan pengingat bahwa di balik hukum yang tegas, selalu ada nurani yang berjuang menjaga kemanusiaan.
Dan di sanalah letak kekuatan sejati lembaga peradilan, ketika ia mampu menegakkan hukum dengan hati, tanpa kehilangan integritas dan objektivitas.
Tangisan Hakim Effendi bukan tanda lemahnya sistem, tetapi pengingat bahwa di balik palu yang mengetuk, selalu ada nurani yang menjaga kemanusiaan.
Tangisan tersebut bukan karena kelemahan, tetapi di sanalah nurani dan tanggung jawab bersentuhan di garis yang sama.
Hukum menuntut ketegasan, nurani menjaga kemanusiaan.




