Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan surat edaran penting yang mengatur perhitungan waktu pengajuan Peninjauan Kembali (PK) apabila putusan didasarkan pada kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan, maupun bukti yang kemudian terbukti palsu. Kebijakan ini merespons pertanyaan dari berbagai pengadilan terkait mekanisme yang tepat agar tidak terjadi multitafsir.
Berdasarkan Pasal 69 huruf (a) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, yang telah beberapa kali diubah, ditetapkan bahwa PK dapat diajukan dalam jangka waktu 180 hari sejak kebohongan atau tipu muslihat itu diketahui, atau sejak hakim memperoleh bukti yang dinyatakan palsu. Aturan waktu ini penting untuk menjaga keseimbangan antara hak mencari keadilan dan kepastian hukum bagi semua pihak.
Dalam konteks ini, MA berperan sebagai penjaga agar mekanisme PK tidak disalahgunakan. PK adalah upaya hukum luar biasa, sehingga penerapannya harus ketat. Jika tidak, perkara bisa terus berlarut-larut tanpa ujung, menggerus rasa keadilan publik. Melalui edaran ini, MA menegaskan bahwa hari pertama perhitungan dimulai ketika kebohongan atau tipu muslihat itu diketahui oleh pemohon atau kuasanya, dan dibuktikan secara jelas dalam berkas perkara.
Secara yuridis, pembatasan waktu ini bertujuan untuk menghindari penyalahgunaan proses hukum yang bisa menghambat eksekusi putusan. Sementara itu, secara praktis, pengadilan tingkat pertama dan banding kini memiliki pedoman yang seragam untuk menilai kapan tenggat waktu tersebut dimulai.
Harapannya, ke depan semua pihak, baik hakim, advokat, maupun pencari keadilan, memahami aturan ini secara utuh. Konsistensi penerapan akan menciptakan kepastian hukum, meminimalkan penundaan perkara, dan menjaga kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan. MA perlu terus melakukan sosialisasi dan pelatihan kepada aparatur peradilan agar substansi edaran ini benar-benar dipahami dan dilaksanakan di seluruh Indonesia.
Pada akhirnya, kepastian hukum tidak hanya soal pasal dan ayat, tetapi juga tentang integritas dalam menegakkan aturan. Edaran ini adalah salah satu langkah konkret untuk memastikan bahwa keadilan tidak terlambat datang hanya karena jebakan tipu muslihat atau kebohongan yang baru diungkap di kemudian hari.