“Most importantly, legal systems are administered by judges and juries who generally apply a measure of common sense and human decency to ignore logically possible legal interpretations that are sufficiently obviously unwanted and unintended by the lawgivers.”
Nick Bostrom (Superintelligence: Paths, Dangers, Strategies).
Sebuah kasus kejahatan kerah putih besar di Jepang yang melibatkan Carlos Ghosn, mantan presiden direktur/ Chief Executive Officer (CEO) pabrik mobil Nissan, dapat menjadi catatan penting tentang lamanya proses pemeriksaan tanpa didampingi kuasa hukum. Ghosn ditangkap pada 19 November 2018 dan diinterogasi selama 108 hari sebelum akhirnya dibebaskan dengan jaminan sambil menunggu proses pengadilan.
Ghosn selanjutnya ditangkap ulang dan kembali dibebaskan lewat jaminan tanpa kejelasan perkembangan kasusnya. Ia harus menunggu selama sekitar tiga tahun sebelum kasusnya diagendakan untuk mulai disidangkan pada April 2021, dan Ghosn memilih untuk melarikan diri ke negaranya (Lebanon) pada Desember 2019 (Aronson dan Johnson, 2020). Ada pula spekulasi bahwa pelarian Ghosn mendapatkan dukungan dari pemerintah Lebanon karena persoalan ini menjadi isu internasional (Chulov dan Jolly, The Guardian, 31 Desember 2019).
Tunggakan perkara adalah persoalan hak asasi manusia, dan sekalipun Jepang bukan negara dengan case backlogs yang besar, apa yang dialami Ghosn dapat menjadi gambaran bahwa negara seperti Jepang dengan rekam jejak 99% putusan bersalah pun memperlakukan tersangka dengan cara yang sulit diterima dari perspektif hukum modern di Barat.
Dalam kaitannya dengan tunggakan perkara, data dari India menunjukkan ada sekitar 66,17% kasus (pidana dan perdata) yang berumur lebih dari satu tahun. Dari angka tersebut, umur kasus adalah sebagai berikut: 25% 1-3 tahun, 13% 3-5 tahun, 19% 5-10 tahun, dan 10% di atas 10 tahun (National Judicial Data Grid-District Court of India, 2025).
Fenomena semacam ini boleh jadi merupakan dampak tidak langsung dari pertumbuhan penduduk dunia yang saat ini mencapai sekitar delapan miliar jiwa. Selain kebutuhan primer seperti pangan, sandang, dan papan, kebutuhan akan kepastian hukum dan keadilan juga berjalan seiring.
Pemerintah Tiongkok dan Revolusi Kecerdasan Buatan dalam Proses Peradilan
Sebagai negara dengan jumlah penduduk di atas satu miliar, Tiongkok mencoba untuk mereformasi sistem peradilannya dengan mempergunakan mekanisme Smart Courts Reform (SCR-Reformasi Pengadilan Pintar). Istilah yang dipergunakan adalah judicial informatization (informatisasi yudisial).
Pengkaji masalah ini, Dory Reiling dan Straton Papagianneas mengatakan bahwa SCR adalah tentang “the deployment of advanced technological applications, such as big data analytics, algorithmic software, and artificial intelligence (AI) that are all integrated into a single platform, accessible to judges and other legal officers” (Penerapan aplikasi teknologi canggih, seperti analitik big data, perangkat lunak algoritmik, dan kecerdasan buatan (AI) yang seluruhnya terintegrasi dalam satu platform, yang dapat diakses oleh para hakim dan aparatur hukum lainnya) (Reiling dan Papagianneas, 2025:2). Dengan kata lain, pengadilan pintar bukan hanya persoalan digitalisasi atau mekanisme e-court, tetapi melibatkan keseluruhan aspek teknologi hingga kecerdasan buatan (AI).
Bagi Reiling dan Papagianneas, persoalan SCR bahkan masuk lebih jauh lagi ke wilayah ideologis. Menurut keduanya, titik terpenting dari kebijakan politik yang dijalankan pemerintah Tiongkok adalah stabilitas sosial. SCR bekerja lewat dua instrumen utama automated decision-making (ADM-pengambil keputusan otomatis) dan AI. Kedua pilar ini menjadi alat pemerintah untuk meningkatkan kinerja lembaga yudikatif, dengan tetap memberikan pengawasan ketat terhadap penggunaan ADM dan AI.
Alasan lainnya dari penerapan SCR adalah untuk mengurangi ketergantungan lembaga peradilan terhadap birokrasi dan meningkatkan kendali politik secara vertikal. SCR bekerja dengan mempergunakan platform China Judgement Online (CJO-Putusan pengadilan Tiongkok Daring) yang memuat seratus juta kasus yang ada di berbagai wilayah jurisdiksi di Tiongkok. Reiling dan Papagianneas mencatat, pemerintah Tiongkok menargetkan di 2030 sistem ini sudah bekerja penuh untuk meningkatkan hasil kerja lembaga peradilan.
Poin-poin pertama yang dibidik SCR adalah penanganan masalah paten dan penjiplakan (Supreme People’s Court News, 24 April 2024). Proses adjudikasi dapat dilakukan dengan dengan memaksimalkan peran AI dan memperbaiki kualitas putusan. Tiongkok cukup peduli dengan kasus-kasus yang melibatkan teknologi tinggi seperti AI generatif penghasil imaji.
Salah satu kasus yang sampai pada tingkat banding adalah perkara Zhe 01 Min Zhong No. 10332 Tahun 2024. Di kasus ini, pemegang hak cipta karakter fiksi anak “Ultraman”, SCLA (Shanghai Character License Administrative), menggugat perusahaan penghasil AI Generatif LoRA (Low-Rank Adaptation) yang mengambil tanpa izin (scraping) imaji Ultraman di internet sebagai parameter data latihan untuk LoRA (Wininger, The National Law Review, 10 Februari 2025). Pengadilan kemudian memutuskan denda sebesar 300.000 yuan pada perusahaan tersebut, dan menghentikan penggunaan imaji Ultraman sebagai data latihan (training data).
Argumentasi Peran AI dalam Proses Pengadilan
Dalam bukunya di 2021, Daniel Kahneman, Olivier Sibony, dan Cass Sunstein mengatakan: “although a predictive algorithm in an uncertain world is unlikely to be perfect, it can be far less imperfect than noisy and often-biased human judgment” (Meskipun algoritma prediktif dalam dunia yang penuh ketidakpastian tidak mungkin mencapai kesempurnaan, algoritma tersebut dapat jauh lebih sedikit ketidaksempurnaannya dibandingkan dengan penilaian manusia yang bising dan sering kali bias) (Kahneman, Sibony, dan Sunstein, 2021:337).
Kata-kata Kahneman dan timnya ini cukup bersayap dan multitafsir. Salah satu interpretasi yang mungkin cukup konstruktif adalah keberadaan AI bukan untuk menggantikan peran hakim, tetapi untuk melengkapinya. Bagi Kahneman, Sibony, dan Sunstein, inkonsistensi dalam putusan hakim yang sangat tergantung berbagai faktor yang sifatnya acak (disebut sebagai noise) menuntut audit (noise audit), pengamat (decision observer) dan filter (decision hygiene) (Kahneman, Sibony, dan Sunstein, 2021).
Di pendekatan noise audit, para hakim diminta untuk melakukan evaluasi mandiri atas putusan-putusan yang berkaitan dengan kasus yang serupa, sebagai indikator seberapa jauh distorsi yang terjadi. Dalam decision observer, evaluasi tersebut dilakukan oleh para pengamat yang memeriksa proses argumentasi, durasi proses persidangan, pemeriksaan bukti, dan kualitas putusan.
Dalam metode decision hygiene, ada enam langkah yang dilakukan: pertama, mengurutkan informasi yang dipergunakan dalam persidangan (sequencing information); kedua, mengumpulkan berbagai informasi yang dipergunakan dalam menghasilkan putusan (aggregating multiple independent judgment); ketiga, mempersiapkan berbagai panduan dalam menghasilkan putusan (judgment guidelines); keempat, mengalibrasi indikator yang dipergunakan dalam adjudikasi (share scale grounded in outside view); kelima, menstrukturisasi putusan-putusan yang sifatnya kompleks (structuring complex judgment); dan terakhir, menerapkan prosedur mediating assessment protocol (MAP) yang merupakan pemadatan tahapan mulai dari sekuensi hingga strukturisasi (Kahneman, Sibony, dan Sunstein, 2021).
Kritisnya Peranan Hakim di Era AI
Ketiga poin tersebut (noise audit, decision observer, dan decision hygiene) mungkin sulit dilakukan tanpa bantuan AI, dan dalam konteks SCR, penggunaan ADM. Tugas para hakim menjadi lebih fundamental lagi, yaitu sebagai pihak yang mengawasi seluruh proses ini. Bila kita mempergunakan analogi sains, tugas ilmuwan sekarang bukan lagi secara manual mendesain, menyiapkan instrumen, mencatat, dan melaporkan, tetapi menjadi otoritas yang memastikan keseluruhan proses berjalan dengan baik.
Di Tiongkok, program asistensi AI semacam ini diujicobakan pada 2019 dengan nama Xiao Zhi (“kebijaksanaan bersahaja”) versi 3.0 dan mampu menghasilkan putusan hanya dalam waktu 30 menit untuk kasus wanprestasi pembayaran pinjaman bank (Zhabina, Deutsche Welle, 20 Januari 2023).
Secara keseluruhan, transformasi sistem peradilan dengan integrasi kecerdasan buatan (AI) bukan lagi sekadar opsi tetapi kebutuhan yang mendesak di tengah meningkatnya beban perkara dan kompleksitas proses hukum. Meski AI menjanjikan efisiensi, konsistensi, dan pengurangan bias dalam pengambilan keputusan, peran hakim tetap tidak tergantikan, terutama dalam menjaga keadilan substansial dan memastikan proses peradilan tetap manusiawi.
Tantangan terbesar adalah bagaimana menyelaraskan kecanggihan teknologi dengan nilai-nilai keadilan, transparansi, serta penghormatan terhadap hak asasi manusia. Oleh karena itu, negara-negara yang mengadopsi pendekatan teknologi tinggi dalam sistem peradilan harus tetap memperhatikan keseimbangan antara otomatisasi dan peran penting manusia dalam menafsirkan hukum dan keadilan.