Hukum dan keadilan adalah pasangan abadi yang menjadi fondasi peradaban. Sejak filsuf Yunani kuno menetapkan keadilan sebagai keseimbangan fundamental, baik dalam kesamaan numerik (perlakuan sama) maupun kesamaan proporsional (perlakuan sebanding dengan kontribusi) tujuan utama hukum tidak pernah bergeser yakni mewujudkan rasa adil.
Di Indonesia, tokoh hukum seperti Bismar Siregar bahkan dengan tegas menyatakan bahwa tujuan mulia hukum tidak boleh dikorbankan demi formalitas, sebab hukum hanyalah alat, sementara keadilan adalah tujuan yang sesungguhnya.
Dinamika ini mencapai puncaknya di Pengadilan Agama (PA), khususnya dalam kasus perceraian.
Peran hakim menjadi sangat krusial ketika harus memutuskan hak finansial mantan istri, yaitu nafkah iddah dan mut’ah. Dilema muncul ketika tuntutan istri, yang secara hukum (Perma No. 3 Tahun 2017) berhak dilindungi, berbenturan keras dengan realitas ekonomi suami yang terbatas.
Ini adalah pertarungan antara hak ideal (Das Sollen) dan kenyataan empiris (Das Sein), yang menantang hakim untuk menemukan "titik adil" yang melampaui kepastian hukum formal.
Patokan yang Tidak Baku: Keadilan yang Temporer dan Subjektif
Landasan hukum mengenai nafkah telah jelas: Al-Qur'an (QS. At-Talaq: 6-7) dan Kompilasi Hukum Islam (KHI Pasal 160) sama-sama mengamanatkan bahwa nafkah harus diberikan secara patut (ma'ruf), sesuai kebutuhan istri, dan disesuaikan dengan kemampuan suami. Ironisnya, di sinilah akar permasalahannya yaitu tidak ada patokan nominal yang baku.
Keadilan, menurut Amran Suadi, bersifat temporer, subjektif, dan individual. Ia tidak statis, melainkan berevolusi seiring ruang, waktu, dan dinamika sosial.
Inilah yang menjelaskan mengapa tidak ada dua kasus yang diadili dengan cara yang persis sama. Tantangan bagi hakim adalah menyusun pertimbangan yang benar-benar adil bagi kedua belah pihak, terutama ketika tuntutan istri yang tinggi berhadapan dengan keterbatasan ekonomi suami.
Jurimetri: Mengukur Epistemologi Pertimbangan Hakim
Untuk menganalisis bagaimana hakim menimbang berbagai faktor yang saling tarik-menarik, kita dapat menggunakan lensa Jurimetri.
Dalam konteks ini, Jurimetri tidak hanya berfungsi sebagai alat prediksi, tetapi sebagai metode untuk membongkar epistemology, landasan pengetahuan hakim saat mengambil keputusan.
Sebuah studi yang mengamati praktik penetapan nafkah mengidentifikasi setidaknya tujuh faktor yang menjadi pertimbangan hakim, antara lain: kesepakatan damai, kemampuan finansial suami, kesanggupan suami, biaya hidup sehari-hari, tuntutan istri, lamanya perkawinan, dan pendapat ahli hukum. Pertanyaan krusialnya: faktor mana yang didahulukan?
Menurut analisis Jurimetri terhadap prioritas pertimbangan, proses pengambilan keputusan hakim terbagi dalam tiga dimensi:
- Dimensi Normatif (Das Sollen): Kepatuhan pada dasar hukum tertulis (KHI dan UU Perkawinan).
- Dimensi Empiris (Das Sein): Fakta di persidangan (penghasilan nyata suami, tuntutan istri).
- Dimensi Filosofis/Etis (Rasa Keadilan): Nurani dan keberanian hakim.
Prioritas utama hakim terletak pada Kemampuan Finansial Suami (Das Sein). Secara Jurimetri, kemampuan ini adalah faktor pembatas (limiting factor) yang paling kuat.
Nominal nafkah yang di luar batas penghasilan suami akan menciptakan putusan non-executable (tidak dapat dilaksanakan), yang justru melanggar prinsip kepastian hukum.
Namun, setelah batas minimal ditentukan, hakim beralih ke Prioritas Kedua (Filosofis): Lamanya Pengabdian Istri. Faktor ini menjadi faktor penguat (reinforcing factor) untuk menaikkan nominal mut'ah.
Di sinilah hakim mengaktifkan prinsip Ius Curia Novit (hakim dianggap tahu hukum) untuk mencari keadilan proporsional ala Aristoteles.
Keadilan Biologis (Biological Justice), Keadilan Melalui Kacamata Kemanusiaan Prof. Amran Suadi
Pada tahap pengambilan keputusan filosofis inilah, pandangan Prof. Dr. Amran Suadi mengenai filsafat keadilan menjadi sangat relevan. Filosofi ini menekankan bahwa dalam mengambil keputusan, hakim harus mengaktifkan kecerdasan spiritual dan emosional untuk berpihak pada kemanusiaan, terutama bagi kelompok yang rentan.
Amran Suadi berpendapat bahwa putusan yang adil tidak bisa hanya didasarkan pada kecerdasan intelektual dan kepatuhan pada prosedur (rule of law), melainkan harus dialiri "darah keadilan" yang bersumber dari nurani.
Hal ini menuntut hakim untuk melihat para pihak bukan sekadar justitiabelen (pihak berperkara), tetapi sebagai manusia dengan konteks sosial dan penderitaan yang nyata.
Dalam konteks mut'ah, lamanya pengabdian istri mencerminkan kontribusi seumur hidupnya terhadap kelangsungan keturunan, stabilitas emosi, dan manajemen rumah tangga, kontribusi yang seringkali tidak ternilai dengan uang.
Meningkatkan mut'ah karena masa pernikahan yang panjang adalah manifestasi dari Keadilan Proporsional yaitu perlakuan yang diterima istri (kompensasi) harus sebanding dengan kontribusi biologis dan sosiologisnya.
Hakim yang menaikkan mut'ah secara signifikan, meskipun sedikit melampaui kemampuan finansial suami, sejatinya sedang mengorbankan sedikit kepastian angka yang kaku demi menjamin keadilan yang lebih dalam dan humanis.
Titik Puncak Pergulatan: Keadilan Proporsional Melawan Kepastian Angka
Pada suatu kasus dimana ada putusan hakim di tingkat kasasi yang berani menaikkan nominal mut'ah membuktikan bahwa hukum hanyalah sebuah alat, sementara keadilan adalah tujuan yang harus dicapai.
Keputusan ini menunjukkan bahwa dalam Jurimetri, ketika dimensi normatif dan empiris telah dipenuhi, dimensi etis/filosofis yang menekankan hak yang selayaknya dan kebaikan kolektif akan menjadi penentu akhir.
Hakim pada tingkat kasasi menggunakan kewenangan mereka untuk menjadi penyempurna keadilan, menegaskan bahwa hukum hanyalah alat dan keadilan adalah ruh yang harus dihembuskan.
Mereka secara sadar memilih menaikkan nominal, menganggap bahwa keadilan substantif, memberi penghargaan yang layak atas pengabdian istri lebih utama daripada kepastian angka yang kaku berdasarkan penghasilan tunai suami saat putusan.
Pada akhirnya, penetapan nominal nafkah iddah dan mut'ah bukanlah sekadar perhitungan aritmatika. Ini adalah produk dari pertimbangan yang matang, yang memadukan tujuh faktor empiris dengan panduan normatif, dan disaring melalui hati nurani progresif seorang hakim.
Keberanian hakim dalam menyesuaikan nominal demi menjamin keadilan proporsional yang diperkaya oleh prinsip Keadilan Biologis adalah kunci untuk memastikan peradilan agama Indonesia menjadi institusi yang benar-benar modern, profesional, dan mampu menegakkan keadilan secara sungguh-sungguh. Hakim adalah pilar keadilan yang dituntut untuk tidak hanya memahami teks, tetapi juga "mengalirkan darah keadilan" dalam setiap putusannya.