Nomenklatur Keadilan dalam Al-Qur’an dan Relevansinya terhadap Teori Hukum Modern

Dalam perspektif Islam, keadilan bukan hanya konsep etis, melainkan merupakan perintah teologis yang bersumber langsung dari Allah SWT.
Ilustrasi keadilan hukum. Foto depositphotos.com/
Ilustrasi keadilan hukum. Foto depositphotos.com/

Keadilan (al-‘adl) merupakan nilai universal yang menjadi orientasi utama dalam setiap sistem hukum di dunia ini. 

Dalam perspektif Islam, keadilan bukan hanya konsep etis, melainkan merupakan perintah teologis yang bersumber langsung dari Allah SWT. sebagaimana firman-Nya dalam QS. An-Nahl [16]: 90: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan...”. 

Ayat ini menegaskan keadilan adalah prinsip normatif yang wajib diwujudkan dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam praktik berhukum dan bermasyarakat.

Selain itu, konsep atau teori keadilan telah lama menjadi pembahasan penting dalam sejarah peradaban manusia, terutama sejak manusia mulai mengenal dan membangun kebudayaannya. 

Dalam teori hukum modern, keadilan menempati posisi sentral, Aristoteles membagi keadilan menjadi dua bentuk yaitu keadilan distributif dan komutatif. 

Sementara John Rawls memandang keadilan sebagai fairness, demikian juga Hans Kelsen menempatkan keadilan sebagai nilai ideal yang menjadi orientasi sistem hukum positif.

Berdasarkan hal tersebut, penting untuk mengkaji nomenklatur keadilan dalam Al-Qur’an, guna memahami bagaimana prinsip-prinsip keadilan Qur’ani dapat berelasi, melengkapi, bahkan memperkaya teori hukum modern.

Makna Etimologis dan Terminologis “Adil”

Secara etimologis, kata ‘adl (عَدْل) berarti lurus, seimbang, dan tidak berat sebelah, dalam pengertian ini, adil memiliki kesamaan makna dengan kata wasth, yang darinya terbentuk kata pelaku (isim fā‘il) wasith. 

Kata wasith kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi “wasit”, yang berarti “penengah” atau “orang yang berdiri di tengah-tengah”, yang dengan sendirinya menuntut adanya sikap keadilan. Selain itu, kata al-wasith juga memiliki arti “penengah”, “pengantara”, “pemimpin pertandingan”, “pemisah”, dan makna-makna lain yang serupa.

Dalam konteks Al-Qur’an, keadilan tidak sekadar berarti memberikan hak kepada yang berhak, melainkan juga menempatkan segala sesuatu pada tempatnya secara proporsional. 

Menurut Al-Rāghib al-Aṣfahānī dalam al-Mufradāt fī Gharīb al-Qur’ān, ‘adl diartikan sebagai “menyamakan sesuatu dengan yang sepadan, baik dalam nilai maupun hukum.” Dengan demikian, keadilan Qur’ani mencakup keseimbangan moral, sosial, dan hukum yang menjadi fondasi tatanan masyarakat Islami.

Nomenklatur Keadilan dalam Al-Qur’an

Al-Qur’an menggunakan berbagai istilah untuk menggambarkan konsep keadilan. Ragam istilah ini menunjukkan keadilan Qur’ani bersifat holistik dan multidimensi, meliputi aspek teologis, moral, sosial, dan yuridis. 

Masalah keadilan ini banyak dibicarakan dalam Al-Qur’an dalam berbagai konteks. Kata ‘adl (adil) disebutkan sebanyak 28 kali, sedangkan al-qisth disebutkan 25 kali, baik dalam bentuk kata kerja (fi‘il) maupun kata benda (isim). 

Adapun kata al-wazn, dalam bentuk kata kerja dan kata benda, disebutkan sebanyak 20 kali. Sementara itu, kata al-hukm dengan berbagai derivasinya muncul sekitar 150 kali dalam Al-Qur’an. 

Nomenklatur keadilan digunakan oleh Al-Qur’an, dengan istilah:

Pertama; ‘Adl (العدل)

Istilah ini berasal dari akar kata ‘adala-ya‘dilu-‘adlan, yang berarti lurus dan seimbang. Secara terminologis, ‘adl mengacu pada tindakan menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan hak kepada yang berhak tanpa memihak. Prinsip ini ditegaskan dalam QS. An-Nahl [16]: 90, yang memerintahkan manusia untuk berlaku adil sebagai perwujudan ketaatan kepada Allah.

Kedua; Qisṭ (القسط)

Berakar dari kata qasaṭa, istilah ini bermakna keseimbangan dan proporsionalitas dalam hubungan sosial. Qisṭ digunakan dalam konteks keadilan distributif, yaitu pembagian hak dan kewajiban secara seimbang di antara manusia. 

Dalam QS. Al-Hujurāt [49]: 9 menegaskan: “Damaikanlah antara keduanya dengan adil (bil-qisṭ) dan berlaku adillah (a-qsiṭū).” Dengan demikian, qisṭ menekankan keadilan sosial yang memelihara harmoni dalam masyarakat.

Ketiga; Mīzān (الميزان)

Secara harfiah berarti “timbangan” atau “neraca”, mīzān melambangkan keseimbangan universal dalam ciptaan Allah sekaligus simbol keteraturan hukum dan moral. QS. Ar-Rahmān [55]: 7-9 menjelaskan Allah menegakkan mīzān agar manusia tidak merusak keseimbangan tersebut. Maka, mīzān menandakan keadilan kosmis yang menjadi prinsip keteraturan dunia dan perilaku manusia.

Keempat; Wasath (وسط)

Berarti ‘pertengahan” atau “moderat”, istilah ini terdapat dalam QS. Al-Baqarah [2]: 143: “Dan demikianlah Kami jadikan kamu umat yang wasath (adil dan seimbang).” Wasathiyyah mencerminkan keadilan dalam bentuk moderasi, menolak ekstremitas, dan menegaskan keseimbangan dalam berpikir, bersikap, dan bertindak.

Keempat istilah tersebut menunjukkan bahwa keadilan dalam Al-Qur’an bukan hanya persoalan hukum positif, melainkan mencakup keseimbangan spiritual, moral, dan sosial yang membentuk tatanan kehidupan yang harmonis.

Keadilan Qur’ani dalam Perspektif Teori Hukum Modern

Konsep keadilan dalam Al-Qur’an memiliki relevansi yang kuat dengan teori hukum modern. Meskipun berasal dari konteks historis dan epistemologis yang berbeda, keduanya memiliki tujuan sama yaitu mewujudkan keseimbangan, kesetaraan, dan keteraturan sosial melalui hukum.

Pertama; Qisṭ dan Keadilan Distributif (Aristoteles)

Dalam filsafat hukum Aristoteles, keadilan distributif berorientasi pada pembagian hak dan kewajiban secara proporsional. Hal ini sejalan dengan konsep qist Qur’ani, yang menekankan keseimbangan sosial dan proporsionalitas dalam memberikan hak kepada setiap individu. 

QS. Al-Hujurāt [49]: 9 menegaskan perintah untuk menegakkan keadilan sosial, yang identik dengan prinsip keadilan distributif.

Kedua; ‘Adl dan Keadilan Komutatif

Keadilan komutatif menuntut kesetaraan dalam hubungan timbal balik antarindividu, seperti kontrak dan transaksi. Prinsip ini sejalan dengan konsep ‘adl dalam QS. Al-Mā’idah [5]: 8: “Berlaku adillah; karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” ‘Adl Qur’ani menegaskan perlakuan setara di hadapan hukum (equality before the law) serta menuntut objektivitas dan integritas moral dalam hubungan sosial.

Ketiga; Prinsip Syahādah bil-‘Adl dan Keadilan Prosedural

Keadilan prosedural menekankan pentingnya proses hukum yang jujur dan transparan. Prinsip ini dijelaskan dalam QS. An-Nisā’ [4]: 135, yang memerintahkan umat Islam menjadi saksi yang adil meskipun terhadap diri sendiri. 

Dengan demikian, syahādah bil-‘adl menegaskan nilai integritas dan netralitas sebagai bagian dari keadilan prosedural dalam hukum Islam.

Keempat; Maqāṣid al-Syarī‘ah dan Keadilan Substantif

Teori hukum modern mengenal keadilan substantif, yaitu keadilan yang berorientasi pada hasil akhir yang adil (outcome-based justice). 

Dalam hukum Islam, konsep ini sejalan dengan maqāsid al-syarī‘ah yang bertujuan mewujudkan kemaslahatan (maslahah) dan mencegah kerusakan (mafsadah). Lima tujuan utama syariat yaitu; melindungi agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta, yang menunjukkan orientasi keadilan Qur’ani terhadap kesejahteraan universal.

Dengan demikian, sistem keadilan Qur’ani menunjukkan keselarasan dengan kerangka teori hukum modern, karena mencakup keadilan normatif, prosedural, dan substantif yang menyatu dalam satu kerangka etis dan spiritual.

Relevansi Nomenklatur Qur’ani terhadap Prinsip Teori Hukum

Analisis terhadap istilah ‘adl, qist, mīzān, dan wasath menunjukkan bahwa keadilan Qur’ani memiliki cakupan yang luas, melampaui pengertian legalistic, mencakup dimensi moral, sosial, dan kosmologis yang berorientasi pada keseimbangan dan kemaslahatan. 

‘Adl berkorespondensi dengan keadilan komutatif, menekankan kesetaraan di hadapan hukum. Qisṭ paralel dengan keadilan distributif, yang menekankan keseimbangan sosial. 

Mīzān berelasi dengan keadilan substantif, menegaskan pentingnya keseimbangan dan kemaslahatan sebagai tujuan hukum. Sementara itu wasath merepresentasikan keadilan etis, yang menekankan moderasi dan kepatutan moral.

Dengan demikian, nomenklatur keadilan dalam Al-Qur’an tidak hanya relevan secara normatif, tetapi juga filosofis dan metodologis terhadap teori hukum modern. 

Nilai-nilai Qur’ani menunjukkan bahwa keadilan Islam bersifat komprehensif, integratif, dan universal, meliputi seluruh aspek kehidupan manusia tanpa batas ruang dan waktu.

Konklusi

Nomenklatur keadilan dalam Al-Qur’an meliputi ‘adl, qisṭ, mīzān, dan wasath yang merepresentasikan beragam dimensi keadilan yang saling melengkapi yaitu moral, sosial, dan hukum. 

Keempat istilah tersebut menunjukkan kesetaraan substansial dengan prinsip keadilan dalam teori hukum modern, seperti keadilan distributif, komutatif, prosedural, dan substantif. 

Dengan demikian, nilai-nilai Qur’ani memiliki relevansi yang mendalam tidak hanya secara teologis, tetapi juga filosofis dan teoretis dalam pengembangan hukum modern. Integrasi konsep keadilan Qur’ani dengan teori hukum kontemporer dapat memperkaya pemahaman terhadap hukum yang berkeadilan secara universal dan berlandaskan nilai-nilai ilahiah.

Penulis: Al Fitri
Editor: Tim MariNews