Gangguan kepribadian narsistik (NPD) bukan hanya sekadar sifat egois biasa. Lebih dari itu, ia adalah kondisi mental kompleks yang membuat seseorang terperangkap dalam kebutuhan tak berujung akan kekaguman.
Mereka memandang diri sendiri lebih superior, sering melebih-lebihkan pencapaian, dan sulit merasakan empati terhadap orang lain.
Di era modern, fenomena ini semakin subur, terutama di media sosial, di mana validasi instan dan pengakuan publik menjadi mata uang sosial.
Berbagai platform digital seolah menjadi panggung bagi mereka untuk memamerkan kehidupan yang dilebih-lebihkan, mencari pujian, dan membangun citra diri yang sempurna.
Dari kacamata psikologi, narsisme memiliki berbagai wajah.
Ada narsisme terbuka, yang paling mudah dikenali. Mereka adalah sosok yang jelas-jelas arogan, haus kekuasaan, dan sangat sensitif terhadap kritik.
Perilaku ini sering terlihat pada figur publik atau bahkan rekan kerja yang selalu membanggakan diri, tetapi tak bisa menerima masukan sekecil apa pun.
Lalu ada narsisme terselubung, yang lebih sulit dideteksi. Mereka tidak akan secara terang-terangan mencari pujian, melainkan menggunakan taktik manipulatif.
Mereka sering menampilkan diri sebagai korban, membuat orang lain merasa bersalah, atau memanipulasi situasi untuk mendapatkan perhatian tanpa terlihat sombong.
Ini sering terjadi dalam hubungan personal, di mana salah satu pihak selalu merasa paling menderita.
Selain itu, ada narsisme antagonis yang bersifat kompetitif dan suka merendahkan orang lain untuk menegaskan dominasinya.
Di lingkungan kerja, mereka mungkin adalah sosok yang selalu ingin terlihat lebih baik dan tidak ragu menjatuhkan rekan kerja lain.
Sementara itu, narsisme komunal adalah fenomena yang sangat relevan saat ini, di mana seseorang melakukan kegiatan amal atau kebaikan hanya untuk mendapatkan pujian, bukan karena empati tulus.
Mereka mungkin terlihat sangat dermawan di media sosial, namun motifnya adalah membangun citra diri yang baik. Terakhir, ada narsisme ganas, bentuk paling parah yang dapat memicu perilaku antisosial dan kekerasan.
Para ahli meyakini bahwa kondisi ini dapat dipicu oleh pola asuh, faktor genetik, dan kondisi neurobiologis.
Apapun penyebabnya, dampaknya sangat destruktif, baik bagi penderitanya maupun bagi orang-orang di sekitarnya.
Analisis Perspektif Hukum Islam: Narsisme sebagai Penyakit Hati
Hukum Islam tidak mengenal istilah "gangguan kepribadian narsistik" secara harfiah. Namun, Islam memiliki konsep yang sangat jelas tentang perilaku yang serupa, yaitu penyakit hati (amradh al-qulub).
Alih-alih melihatnya sebagai gangguan kejiwaan murni, Islam memandang narsisme sebagai manifestasi dari sifat-sifat tercela yang merusak jiwa dan merusak hubungan dengan sesama dan dengan Tuhan.
Al-Kibr (Kesombongan): Ini adalah akar utama dari narsisme dalam pandangan Islam. Kesombongan berarti menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.
Rasulullah SAW dengan tegas bersabda bahwa orang yang memiliki kesombongan seberat biji atom tidak akan masuk surga.
Sifat narsisme yang merasa diri istimewa dan merendahkan orang lain adalah cerminan langsung dari al-kibr.
Dalam Islam, kesombongan dianggap dosa besar karena hanya Allah SWT yang berhak memiliki keagungan mutlak.
Ujub (Berbangga Diri): Sifat ini berhubungan erat dengan narsisme yang ditandai dengan melebih-lebihkan prestasi dan kemampuan.
Ujub adalah perasaan kagum terhadap diri sendiri, yang membuat seseorang lupa bahwa semua kelebihan yang ia miliki adalah anugerah dari Allah.
Fenomena yang sering kita lihat di media sosial, seseorang yang terus-menerus memamerkan kekayaan, kecerdasan, atau kebaikan, berakar dari ujub.
Ghibah dan Hasad (Gunjingan dan Iri Hati): Perilaku narsistik sering menggunakan ghibah (menggunjing) sebagai alat untuk merendahkan orang lain demi menonjolkan diri sendiri. Mereka merasa lebih baik dengan membicarakan keburukan orang lain.
Sementara itu, hasad (iri hati) adalah sifat yang sangat melekat pada narsistik, di mana mereka melihat kesuksesan orang lain sebagai ancaman pribadi.
Islam melarang keras kedua sifat ini karena merusak moral dan keharmonisan sosial.
Islam menawarkan pendekatan holistik untuk menghadapi narsisme, yaitu dengan menggabungkan pengobatan batin dan spiritual dengan penanganan medis modern.
Pertama, Terapi Batin: Solusi spiritual paling utama adalah tawadhu' (kerendahan hati), yang merupakan lawan dari kesombongan.
Rasulullah SAW mengajarkan bahwa dengan merendahkan diri, seseorang akan diangkat derajatnya oleh Allah. Islam juga mendorong muhasabah (introspeksi diri), di mana seseorang diajak untuk terus mengoreksi diri, menyadari kekurangan dan dosa-dosanya, sehingga perasaan superioritas akan terkikis.
Selain itu, empati dan silaturahmi ditekankan sebagai cara untuk membangun kembali hubungan yang sehat dan mengikis ego.
Kedua, Penanganan Medis: Solusi spiritual ini tidak menafikan pentingnya terapi psikologis modern. Terapi seperti Terapi Perilaku Kognitif (CBT), yang membantu seseorang mengenali dan mengubah pola pikir negatif, sangat selaras dengan konsep muhasabah.
Begitu pula dengan Terapi Perilaku Dialektika (DBT) yang melatih regulasi emosi, mirip dengan anjuran Islam untuk mengendalikan amarah dan bersabar.
Jika diperlukan, obat-obatan dapat membantu mengatasi gejala seperti depresi atau kecemasan, sehingga proses terapi psikologis bisa berjalan lebih efektif.
Dengan demikian, narsisme bukanlah sekadar gangguan kejiwaan, tetapi juga penyakit hati yang memerlukan pengobatan komprehensif.
Ilmu psikologi modern dapat mengelola perilakunya, sementara ajaran Islam dapat menyembuhkan akar masalahnya, yaitu kesombongan dan kebanggaan diri.
Dengan menggabungkan keduanya, kita bisa membantu individu yang terperangkap dalam ego berlebihan untuk kembali pada fitrahnya sebagai hamba yang rendah hati dan berserah diri kepada Allah SWT.