Hibah (Inter Vivos Gift) dan Batas Sepertiga: Harmonisasi KHI, Fikih, dan Yurisprudensi

Pemberian hibah atas seluruh harta pewaris kepada salah satu ahli waris dinilai tidak sah secara syar’i, apabila menimbulkan ketimpangan distribusi intrakeluarga.
Ilustrasi kompilasi hukum Islam. Foto deepublishstore.com
Ilustrasi kompilasi hukum Islam. Foto deepublishstore.com

Pembatasan Hibah dalam Bingkai Keadilan Distributif dan Hukum Waris Islam

Dalam konstruksi hukum Islam, pemberian hibah oleh pewaris kepada salah satu ahli waris dengan nilai melebihi sepertiga (1/3) total harta warisan menimbulkan problematika yuridis yang berkaitan dengan penerapan prinsip keadilan dalam distribusi warisan (tawzī‘ al-tarikah).

Pembatasan proporsional ini, secara doktrinal merupakan lex specialis, yang berfungsi sebagai mekanisme perlindungan terhadap hak-hak para ahli waris yang memiliki kedudukan legal sebagai subjek pewarisan. Pasal 211 Kompilasi Hukum Islam (KHI), sebagai norma positif menegaskan bahwa hibah inter vivos dari orang tua kepada anak wajib diperhitungkan dalam kalkulasi warisan, bagian dari warisan yang didahulukan (advance inheritance).

Pelanggaran terhadap batas sepertiga tersebut, dapat menimbulkan konsekuensi hukum berupa sengketa antar ahli waris akibat ketidakseimbangan dalam pembagian harta warisan. Oleh karena itu, demi menjamin keadilan distributif dan konsistensi dengan prinsip faraidh hukum waris Islam, integrasi nilai hibah ke dalam perhitungan warisan secara menyeluruh jadi suatu keharusan hukum. 

Hibah Maksimal Sepertiga: Perspektif Pasal 210 KHI, Putusan MA, dan Ikhtilaf Mazhab

Pasal 210 ayat (1) KHI, mensyaratkan subjek hukum yang melakukan hibah harus memenuhi kriteria subjektif, berupa usia minimal 21 tahun, berakal sehat, dan bebas dari paksaan. Secara objektif, hibah dibatasi maksimal sepertiga (1/3), dari total harta dan wajib dilaksanakan di hadapan dua saksi yang sah, sebagai bentuk proteksi hukum terhadap hak para ahli waris.

Konstruksi normatif dalam hukum positif, memperoleh penguatan yuridis lewat konsistensi preseden Mahkamah Agung RI, antara lain melalui Putusan No.562 K/Sip/1979, yang menegaskan hibah dari suami kepada istri atas harta asal, tidak dapat dibenarkan apabila mengakibatkan penghapusan hak waris ahli waris suami. 

Putusan No.75 K/Ag/1992 menyatakan, hibah yang melampaui batas sepertiga dari harta pewaris, bertentangan dengan prinsip proporsionalitas dalam hukum waris Islam, serta Putusan No.3428 K/Sip/1985 membatalkan hibah atas lebih dari sepertiga luas objek sengketa, karena bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku. 

Dalam konstruksi fikih Islam, jumhūr al-fuqahāʼ (mayoritas ulama fikih) berpendapat, hibah yang bersifat diskriminatif terhadap sebagian anak tergolong makruh, tetapi tetap sah dan menimbulkan akibat hukum penuh. Validitas pendapat ini, didasarkan qiyās (analogi) terhadap kebolehan pemberian hibah secara mutlak kepada pihak luar keluarga (ajnabī), sebagaimana dicontohkan oleh Abu Bakar ra. yang memberikan 20 wasāq (satuan volume kurma) kepada Aisyah ra., sebagaimana tercantum dalam hadis sahih riwayat al-Bukhārī. Oleh karena itu, hibah diskriminatif  tetap berlaku erga omnes (mengikat semua pihak) dan dapat diwariskan secara sah kepada penerima.

Sebaliknya, mazhab Ẓāhirī secara tegas melarang segala bentuk hibah, bersifat tidak proporsional di antara anak-anak, dengan merujuk pada hadis Nu‘mān bin Basyīr yang menyatakan, Rasulullah SAW memerintahkan ayah Nu‘mān, menarik kembali hibah yang diberikan secara tidak merata kepada anak-anaknya. 

Dalam perspektif hukum, perkataan Nabi SAW “fartaji‘hu” (tarik kembali)  ditafsirkan sebagai bentuk ibtāl (pembatalan hukum terhadap perbuatan tersebut), dan istilah jawr (kezaliman) dipahami sebagai unlawful act. Oleh karena itu, hibah semacam ini dinyatakan void ab initio (batal sejak awal tanpa memerlukan pembatalan formal).

Adapun mazhab Mālikī menempuh posisi moderat, membolehkan adanya diskriminasi terbatas (pemberian hibah yang melebihkan salah satu anak), namun tetap melarang penghibahan seluruh harta kepada satu anak secara eksklusif. 

Pandangan ini berpijak pada penafsiran teleologis terhadap hadis, yang dipahami sebagai larangan terhadap tindakan deplesi (pengosongan harta secara tidak adil). Dengan demikian, hanya hibah sebagian yang tetap mempertimbangkan proporsionalitas antaranak dapat dibenarkan. Seluruh pandangan tersebut, dihimpun secara sistematis oleh Ibn Rusyd (w. 595 H/1198 M) dalam karyanya Bidayat al-Mujtahid, lengkap dengan konsekuensi yuridis (implikasi hukum) dari masing-masing mazhab.

Pemberian hibah atas seluruh harta pewaris kepada salah satu ahli waris dinilai tidak sah secara syar’i, apabila menimbulkan ketimpangan distribusi intrakeluarga. Menurut pendapat Muhammad Ibnul Hasan dan sebagian pentahkik mazhab Hanafiyah, sebagaimana dikutip Abdul Manan (2006:137). 

Tindakan semacam itu, mencerminkan ketidakcakapan hukum (safīh) dan patut dikenai pembatasan kewenangan bertindak. Sejalan dengan hal tersebut, Imam Ahmad, Ishaq, Ats-Tsauri, serta para pakar hukum Islam lainnya menegaskan, bahwa hibah yang bersifat diskriminatif terhadap sebagian anak batal demi hukum dan wajib dicabut demi menjamin prinsip keadilan antar ahli waris (ash-Shan’ani, 2006).

Senada konstruksi fikih tersebut, KHI menetapkan batas maksimal hibah sebesar sepertiga (1/3) dari total harta, serta memperkenankan hibah orang tua kepada anak diperhitungkan sebagai bagian dari warisan (advance inheritance). 

Ketentuan ini tidak hanya bertujuan menjaga keseimbangan hak antar ahli waris, tetapi juga selaras dengan maqāṣid al-syarī‘ah dalam menjaga kemaslahatan dan mencegah kemudaratan keluarga. Apabila hibah yang dilakukan mengakibatkan ketimpangan, yang merugikan atau bahkan menyebabkan disintegrasi keluarga, maka secara normatif perbuatan tersebut, dipandang pelanggaran terhadap tanggung jawab moral dan hukum pewaris, serta dapat dianalogikan sebagai tindakan menyeret keluarga ke dalam kerentanan sosial dan ekonomi (Abdul Manan, 2006:138).

Optimalisasi Pasal 211 KHI sebagai lex specialis dalam Sengketa Hibah Antar Ahli Waris
Pasal 211 KHI merupakan norma fakultatif, yang berfungsi sebagai instrumen alternatif dalam penyelesaian sengketa waris akibat hibah inter vivos kepada salah satu ahli waris. Ketentuan ini tidak berlaku secara imperatif, apabila tidak terdapat keberatan dari ahli waris lain dan distribusi harta masih mengikuti prinsip faraidh

Namun, dalam hal timbul legal detriment (kerugian hukum) yang menyebabkan sengketa kewarisan, Pasal 211 dapat diberlakukan sebagai lex specialis untuk menjamin keadilan distribusi warisan. Dalam konteks demikian, hibah yang nilainya melebihi bagian waris penerima dapat dikoreksi dengan menarik kelebihannya dan mengalihkannya kepada ahli waris lain yang dirugikan, sedangkan nilai hibah lebih rendah dari hak warisnya, maka kekurangannya dapat ditambahkan dari harta warisan (Rahim, 2022:53–55; Rusydi, 2017:160).

Pemberian bagian sepertiga (1/3) harta kepada salah satu ahli waris yang dikualifikasikan secara simultan sebagai hibah, sekaligus bagian warisan tidak dapat dibenarkan secara yuridis, karena menimbulkan ambiguitas normatif antara konsep hibah dan wasiat, serta tidak sejalan dengan ketentuan Pasal 211 KHI. 

Praktik semacam ini, berpotensi mengabaikan prinsip keadilan dalam distribusi warisan dan bertentangan dengan sistem hukum kewarisan Islam (fara’idh), yang menekankan kesetaraan hak antarahli waris. 

Apabila hibah tersebut dibatalkan, maka objek yang dihibahkan secara hukum harus dikembalikan ke dalam kategori harta waris dan dibagi kembali menurut prinsip fara’idh. Pandangan dimaksud, sejalan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia, antara lain Putusan No. 391 K/Sip/1969, yang menyatakan hibah dari pewaris yang merugikan ahli waris lain, tidak sah dan harus dibatalkan demi keadilan. 

Demikian pula dalam Putusan No. 990 K/Sip/1974, ditegaskan hibah wasiat yang mengakibatkan kerugian bagi ahli waris, wajib dibatalkan dan dilakukan redistribusi untuk mengembalikan keseimbangan hak-hak keperdataan seluruh ahli waris.

Dengan demikian, pembatasan hibah dalam hukum Islam, khususnya melalui pengaturan normatif dalam Pasal 210 dan 211 Kompilasi Hukum Islam, serta diperkuat oleh yurisprudensi Mahkamah Agung dan pandangan para fuqaha lintas mazhab, mencerminkan orientasi sistem hukum Islam terhadap perlindungan hak-hak ahli waris dan penegakan prinsip keadilan distributif. 

Hibah melampaui batas proporsional sepertiga harta atau dilakukan secara diskriminatif terhadap salah satu ahli waris, berpotensi menimbulkan ketidakadilan hukum (legal inequity), dan dalam situasi demikian, Pasal 211 KHI dapat diberlakukan sebagai lex specialis gunamengoreksi ketimpangan tersebut.

Maka, kehati-hatian pelaksanaan hibah inter vivos, integrasi nilai-nilai faraidh, serta penguatan mekanisme penyelesaian sengketa berbasis keadilan substantif, menjadi landasan penting dalam menjaga keseimbangan antara kehendak individual pewaris dan hak keperdataan para ahli waris secara proporsional dan sah menurut syariat. 

Penulis: Rifqi Qowiyul Iman
Editor: Tim MariNews