Di antara riuh ruang sidang dan tumpukan berkas perkara, ada satu suara yang tenggelam dalam kesibukan birokrasi keadilan. Suara itu lembut bahkan nyaris tak terdengar. Suara itulah yang paling tulus memohon agar hukum tidak hanya berpihak pada teks, melainkan juga pada hati.
Suara itu adalah tangis anak yang menunggu haknya dipulihkan. Ia bukan tangis karena kalah atau menang, melainkan karena kehilangan.
Kehilangan kasih sayang dan tempat berpulang, setelah dua orang terdekatnya, yang dulu saling mencinta berubah menjadi pihak yang saling berseberangan di hadapan meja hijau.
Dalam suasana seperti itu, pembahasan Rancangan Peraturan Mahkamah Agung (RANPERMA) tentang Eksekusi Anak hadir bagaikan payung baru di tengah hujan panjang konflik keluarga.
Kehadirannya diharapkan mampu meneduhkan air mata yang jatuh di antara sengketa hadhanah, dan memberikan perlindungan bagi mereka yang paling rentan.
RANPERMA ini bukan sekadar dokumen hukum yang menata prosedur, melainkan manifesto kemanusiaan yang berusaha mengembalikan wajah lembut keadilan di tengah kerasnya praktik penegakan hukum.
Di ruang sidang hakim berusaha menegakkan keadilan. Tetapi di ruang hati anak sering kali yang tersisa hanyalah pertanyaan tanpa jawaban, mengapa ia harus terpisah dari salah satu orang tuanya?
Selama ini banyak putusan tentang hak asuh anak yang telah berkekuatan hukum tetap namun gagal dieksekusi karena benturan ego, luka masa lalu, dan penolakan emosional.
Maka dari itu, hadirnya RANPERMA ini adalah ikhtiar moral Mahkamah Agung untuk memastikan, bahwa hukum tidak lagi menjadi alat kekuasaan melainkan pelindung bagi yang lemah dan penyembuh bagi yang terluka.
Sebagaimana dikatakan Nelson Mandela, “There can be no keener revelation of a society’s soul than the way in which it treats its children.” Cara kita memperlakukan anak-anak, terutama ketika mereka menjadi korban dalam perkara orang dewasa, adalah cermin jiwa bangsa ini. Di situlah makna terdalam RANPERMA ini menghadirkan keadilan, yang bukan sekadar ditegakkan oleh palu tetapi dihidupkan oleh nurani.
Analisis dan Konteks Hukum
Selama ini eksekusi anak (hadhanah) menjadi persoalan klasik di pengadilan agama. Sebuah dilema hukum yang berulang dari masa ke masa. Tidak sedikit putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), tetapi berakhir tanpa pelaksanaan.
Bukan karena kelemahan hukum, tetapi karena resistensi emosional, kekerasan psikis, dan konflik antar keluarga.
Dalam situasi seperti itu, hukum sering kali berhenti di atas kertas. Sementara di dunia nyata anak justru menjadi korban tersembunyi. Anak harus menanggung beban pertikaian yang seharusnya tidak menjadi miliknya.
Dalam perspektif teori keadilan, kondisi ini menggambarkan jurang antara law in books dan law in action. Di sinilah relevansi pemikiran Gustav Radbruch, yang menegaskan bahwa hukum sejati harus berpijak pada tiga nilai dasar yakni keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.
Putusan tanpa eksekusi berarti kehilangan makna kemanfaatan dan gagal menghadirkan keadilan yang hidup. Kehadiran Rancangan Peraturan Mahkamah Agung (RANPERMA) tentang Eksekusi Anak ini diharapkan mampu menjadi jawaban atas ruang kosong hukum tersebut, yang tidak sekadar menata mekanisme prosedural formal, tetapi juga menyusun jembatan antara norma dan nurani.
RANPERMA ini mengusung paradigma baru peradilan anak yang berkeadilan restoratif (restorative justice).
Pelaksanaan eksekusi tidak lagi dimaknai sebagai kemenangan salah satu pihak, tetapi harus menjadi bagian dari proses pemulihan hubungan dan pemenuhan hak anak.
Perspektif ini sejalan dengan gagasan John Rawls dalam A Theory of Justice (1971), bahwa keadilan yang sejati adalah “keadilan bagi mereka yang paling lemah.” Dalam konteks hadhanah, yang paling lemah itu adalah anak. Mereka tidak punya suara dalam proses hukum, tetapi menanggung seluruh akibatnya.
Pendekatan ini juga berakar dalam teori Paul Scholten tentang vrijheid van de rechter (kebebasan hakim) untuk menafsirkan hukum secara manusiawi. Hakim tidak hanya corong undang-undang (la bouche de la loi), tetapi juga penyambung nurani masyarakat.
Dengan dasar itu, pelaksanaan eksekusi anak seyogianya memberi ruang bagi hakim untuk mengambil keputusan dengan kepekaan moral dan sosial, tanpa kehilangan pijakan yuridisnya.
Karena itu pengadilan agama akan didorong untuk mengedepankan pendekatan psikologis dan sosial, antara lain dengan cara menghadirkan psikolog anak, pekerja sosial, konselor keluarga, hingga tokoh masyarakat yang netral.
Pendekatan kolaboratif ini mencerminkan penerapan prinsip restorative justice sebagaimana dirumuskan oleh John Braithwaite (2015), yaitu bahwa keadilan tidak bertujuan menghukum melainkan memulihkan hubungan dan mengembalikan martabat manusia.
Dalam pada tahap pra-eksekusi, hakim dapat menempuh langkah mediasi lanjutan yang bukan sebagai formalitas, melainkan sebagai ruang penyembuhan emosional bagi anak dan orang tua.
Proses ini menjadi oase bagi peradilan keluarga yang humanis, yang menghadirkan wajah lembut negara di hadapan warganya yang terluka. RANPERMA Eksekusi Anak bukan sekadar aturan pelaksanaan, tetapi manifestasi kepedulian Mahkamah Agung terhadap dimensi kemanusiaan hukum keluarga.
RANPERMA Eksekusi Anak menandai pergeseran penting dari paradigma “menegakkan hukum” menuju “menumbuhkan keadilan”, yang sejalan dengan pandangan Imam Al-Ghazali bahwa “hukum tanpa keadilan adalah kedzaliman yang dilegalkan”.
RANPERMA ini juga menegaskan bahwa hukum harus berjalan beriringan dengan kasih, agar palu hakim tidak hanya mengetuk meja, tetapi juga mengetuk hati nurani.
Refleksi Moral dan Spiritualitas
Keadilan yang sejati bukan hanya hadir dalam teks hukum, tetapi juga dalam tatapan mata anak yang merasa aman di pelukan orang tuanya.
Dari tatapan itu, kita belajar bahwa hukum sejatinya bukan sekadar kumpulan pasal, melainkan janji untuk menjaga kehidupan dan kasih sayang. Itulah esensi terdalam dari maqāṣid al-syarī‘ah menjaga jiwa (ḥifẓ al-nafs) dan keturunan (ḥifẓ al-nasl).
Dua tujuan agung ini adalah napas moral dari setiap hukum Islam, agar peradilan tidak hanya menegakkan keadilan formal, tetapi juga menumbuhkan kemaslahatan dan kedamaian batin.
Melalui RANPERMA Eksekusi Anak, pengadilan diharapkan menjadi ruang yang tidak menambah luka, melainkan menyembuhkan dan menumbuhkan harapan baru. Hakim dalam konteks ini bukan sekadar pelaksana hukum (the mouthpiece of the law), tetapi juga penjaga nurani publik.
Sebagaimana pesan klasik Umar bin Khattab kepada Qadhi Abu Musa al-Asy’ari, “Hendaklah engkau tidak menegakkan hukum kecuali dengan hati yang lembut dan niat yang tulus.” Pesan itu mengandung makna universal, bahwa keadilan tanpa kasih adalah kekerasan yang dibungkus prosedur.
Imam Al-Ghazali pun pernah menulis, “Kekuasaan dan agama adalah saudara kembar; kekuasaan tanpa keadilan akan binasa, dan agama tanpa kasih akan kehilangan makna.” Maka setiap palu hakim sejatinya adalah doa agar hukum tetap berpihak pada kemanusiaan.
Dalam lintasan sejarah modern, Mahatma Gandhi mengingatkan, “The true measure of any society can be found in how it treats its most vulnerable members.” Pernyataan ini sejalan dengan prinsip keadilan dalam islam untuk mengangkat yang lemah, memeluk yang rapuh, dan menegakkan hak mereka yang tak mampu bersuara.
Begitu pula Kofi Annan, Sekretaris Jenderal PBB, pernah menegaskan bahwa, “Tidak ada misi yang lebih mulia bagi umat manusia selain melindungi anak-anaknya.” Maka kehadiran RANPERMA Eksekusi Anak menjadi bukti bahwa Mahkamah Agung Republik Indonesia bergerak seirama dengan nurani global, bahwa perlindungan anak bukan hanya urusan hukum tetapi amanat kemanusiaan.
Sebagaimana Nelson Mandela mengajarkan, “Our children are our greatest treasure. They are our future.” Melalui pandangan ini, setiap regulasi tentang anak menjadi bagian dari warisan moral bangsa. Bukan hanya untuk melindungi masa kini, tetapi untuk menyiapkan masa depan yang lebih adil dan penuh kasih.
Oleh karena itu, RANPERMA Eksekusi Anak bukan semata aturan teknis, melainkan simbol kelembutan hukum yang berjiwa kasih. Ia sebagai payung baru untuk air mata anak- anak, yang mungkin tak bersuara namun doanya menembus langit keadilan.
Sebab dalam setiap air mata anak yang jatuh, terselip panggilan agar hukum menjadi lebih manusiawi. Dan di sanalah, keadilan menemukan wajah sejatinya.
Penutup
Mungkin hukum tak bisa menghapus semua air mata, tetapi ia bisa menjadi payung kecil yang meneduhkan hati anak bangsa. Sebab keadilan sejati tidak selalu hadir dalam bentuk kemenangan, melainkan dalam keberanian untuk melindungi yang paling lemah.
Jika setiap palu hakim diayunkan dengan kasih, maka keadilan bukan sekadar diputus melainkan dihidupkan dalam nurani dan dimuliakan oleh kemanusiaan. Di bawah ketukan palu itu hukum menemukan makna terdalamnya: bukan sekadar aturan yang kaku, tetapi napas kasih yang menghidupkan harapan.
Keadilan yang sejati selalu berakar pada empati. Ia tumbuh dari kesadaran bahwa di balik setiap perkara ada wajah-wajah yang menanggung akibatnya, terutama anak-anak yang tak sempat memahami mengapa cinta orang tuanya berubah menjadi sengketa.
Di sinilah peradilan ditantang untuk menghadirkan keadilan yang berperasaan, sebagaimana ditegaskan Albert Einstein, “It is not enough to teach a man a specialty. Through it, he may become a useful machine, but not a harmoniously developed personality. It is essential that he acquire a sense of what is beautiful and morally good.”
Begitu pula dalam hukum, keadilan tanpa keindahan moral hanyalah mesin prosedural yang kehilangan jiwanya. RANPERMA Eksekusi Anak memberi ruang bagi hukum untuk memandang dengan mata kasih dan bertindak dengan hati nurani.
Ia mengajarkan bahwa menegakkan hukum tidak berarti menumpulkan rasa. Menegakkan keadilan tidak harus mengorbankan cinta.
Sebagaimana Aristoteles pernah mengingatkan, “Hukum adalah akal yang bebas dari hawa nafsu.” Tetapi dalam konteks peradilan keluarga, hukum juga perlu sentuhan kasih yang bebas dari amarah.
Di situlah titik keseimbangan antara rasionalitas dan spiritualitas hukum, ketika logika keadilan berpadu dengan kepekaan nurani.
Dan ketika suatu hari, seorang anak yang pernah menangis di ruang sidang tersenyum kembali dalam damai. Maka di sanalah keadilan benar-benar ditegakkan, bukan hanya di atas kertas tetapi juga di dalam hati manusia.
Sebab, hukum betapapun keras wujudnya sejatinya diciptakan untuk melindungi yang rapuh, menenangkan yang gelisah, dan menjadi payung baru untuk air mata anak-anak yang berjuang menemukan cahaya di tengah badai kehidupan.
“mungkin hukum tak bisa menghapus semua air mata, tapi ia bisa menjadi payung kecil yang meneduhkan hati anak bangsa.Jika setiap palu hakim diayunkan dengan kasih,maka keadilan bukan sekadar diputus, melainkan dihidupkan dalam nurani.
Catatan:
Tulisan ini disusun di tengah proses pembahasan Rancangan Peraturan Mahkamah Agung (RANPERMA) tentang Eksekusi Anak (Hadhanah) yang saat ini sedang digodok melalui serangkaian Focus Group Discussion (FGD) di lingkungan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Semoga regulasi ini kelak menjadi payung lembut bagi setiap air mata anak yang menanti keadilan.
Sumber Bacaan dan Inspirasi
instein, A. (1954). Ideas and Opinions. New York: Crown Publishers. (DOI: tidak tersedia)
Aristotle. (350 B.C.). Politics, Book III. Translated by Benjamin Jowett. (DOI: 10.1017/CBO9781107280748)
Gandhi, M. (1947). The Mind of Mahatma Gandhi. Navajivan Publishing House. (DOI: tidak tersedia)
Mandela, N. (1994). Long Walk to Freedom. Little, Brown and Company.
(DOI: tidak tersedia) Annan, K. (2001). “UN Address on Children and Armed Conflict.” United Nations. (DOI: tidak tersedia)
Al-Ghazali, A. H. (2004). Ihya’ ‘Ulum al-Din. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah. (DOI: tidak tersedia)
Umar bin Khattab. (n.d.). Risalah kepada Qadhi Abu Musa al-Asy’ari, dalam Nahj al- Balaghah (edisi sejarah pemerintahan klasik Islam). (DOI: tidak tersedia)





