Perlindungan Yuridis Perempuan dan Anak Pascaperceraian

Perlindungan pascaperceraian bagi perempuan dan anak menjadi pilar penting sistem hukum yang menjunjung kesetaraan, keadilan, dan kemanfaatan hukum.
Ilustrasi perlindungan perempuan dan anak. Foto istimewa
Ilustrasi perlindungan perempuan dan anak. Foto istimewa

Aspek Hukum Pascaperceraian

Perceraian merupakan peristiwa hukum yang membawa dampak yuridis yang substansial bagi para pihak yang terlibat, khususnya perempuan dan anak. Sebagai bentuk pemutusan ikatan perkawinan yang sah menurut hukum, perceraian tidak hanya menandai berakhirnya hubungan hukum antara suami dan istri, tetapi juga menimbulkan berbagai konsekuensi hukum yang harus diantisipasi dan diselesaikan secara adil. Dalam konteks ini, perempuan dan anak sebagai pihak yang rentan memerlukan perlindungan hukum yang memadai guna menjamin terpenuhinya hak-hak dasar mereka pascaperceraian.

Sistem hukum Indonesia telah mengatur perlindungan tersebut secara komprehensif melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang telah mengalami perubahan melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019, serta didukung oleh instrumen normatif lainnya seperti Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Peraturan Mahkamah Agung RI (PERMA).

Seluruh regulasi ini membentuk kerangka hukum yang integral dalam mengatur akibat-akibat hukum perceraian, termasuk pengaturan mengenai hak-hak istri, pemenuhan hak anak, serta tanggung jawab yudisial pengadilan dalam menjamin keadilan substantif bagi para pihak yang terdampak.

Aspek Yuridis Perlindungan Hak Pascaperceraian

Untuk memastikan terpenuhinya hak-hak pascaperceraian, penggugat (istri) seyogianya mengambil peran aktif dalam proses beracara, antara lain dengan memperoleh informasi hukum yang relevan, mengajukan pertanyaan yang bersifat substantif, serta memeriksa kelengkapan dokumen gugatan baik secara materiil maupun formil. Dalam konteks ini, kesadaran hukum yang memadai, dipadukan dengan kemampuan litigasi yang proporsional, merupakan conditio sine qua non atau syarat mutlak bagi terwujudnya keadilan substantif dalam implementasi putusan pengadilan.

Negara berkewajiban secara aktif melindungi, memenuhi, dan menghormati hak warga negara tanpa diskriminasi, termasuk perempuan dalam proses peradilan. Meskipun sebagian perempuan enggan atau khawatir menuntut haknya, asas kesetaraan di hadapan hukum sebagaimana diatur Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menjadi landasan normatif penguatan perlindungan hukum.

Sejalan dengan itu, lembaga peradilan memiliki kewenangan untuk menerapkan protokol keamanan yang komprehensif, guna memfasilitasi perempuan dalam menyampaikan pendapat hukum (opinio juris), tuntutan hukum (petitum), maupun kesaksian (testimonium) di persidangan secara mandiri, tanpa adanya unsur paksaan atau pemaksaan dalam bentuk apa pun.

Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur konsekuensi yuridis dari perceraian, yang mencakup kewajiban hukum para pihak terhadap anak maupun mantan pasangan sebagai tanggung jawab yang tetap melekat pascaperceraian, sebagaimana uraian berikut:

1. Ayah dan ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anak mereka, dengan pelaksanaan yang didasarkan semata-mata pada kepentingan yang terbaik bagi anak.

2. Ayah bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan oleh anak.

3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban tertentu bagi bekas istri.

Ketentuan Pasal 41 menegaskan tanggung jawab hukum pascaperceraian sebagai wujud perlindungan terhadap hak anak dan mantan istri dalam struktur hukum keluarga. Norma ini mengafirmasi keberlanjutan kewajiban orang tua berdasarkan asas the best interest of the child, menetapkan tanggung jawab finansial ayah sesuai prinsip ḥaḍānah, serta membuka ruang bagi intervensi yudisial guna menjamin livelihood allowance bagi mantan istri. Dengan demikian, Pasal 41 berfungsi sebagai instrumen keadilan distributif, tidak semata sebagai aturan prosedural.

Ketentuan mengenai hak anak atas nafkah secara eksplisit diatur dalam Pasal 105 huruf c Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang menyatakan bahwa biaya pemeliharaan anak menjadi kewajiban ayah. Bahwa tanggung jawab finansial terhadap anak tetap melekat pada ayah, terlepas dari siapa yang memperoleh hak asuh (ḥaḍānah), baik ibu maupun pihak lain. 

Dalam konteks perceraian yang terjadi karena talak, Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam (KHI) secara normatif mengatur hak-hak yang melekat pada istri sebagai akibat hukum dari perceraian tersebut. Ketentuan ini memberikan dasar yuridis bagi perlindungan hak-hak perempuan pascaperceraian, sebagaimana uraian berikut:

1. Istri berhak memperoleh mut’ah, yaitu pemberian dari suami sebagai bentuk penghormatan dan kompensasi moral atas perceraian, yang diberikan di luar kewajiban nafkah dan mahar.

2. Istri berhak menerima nafkah, maskan (tempat tinggal), dan kiswah (pakaian) yang layak selama menjalani masa iddah, atau sesuai dengan amar putusan pengadilan.

3. Istri berhak menuntut dan menerima mahar (mas kawin) yang belum dilunasi oleh suami.

4. Apabila hak asuh anak (ḥaḍānah) diberikan kepada istri, maka ia berhak memperoleh biaya pemeliharaan anak dari pihak suami sebagai bentuk kewajiban finansial yang tetap melekat.

PERMA Nomor 3 Tahun 2017 dan Keadilan Gender di Pengadilan

Perempuan dan anak tergolong vulnerable groups atau kelompok rentan yang berisiko tinggi mengalami kerugian dan diskriminasi, sehingga memerlukan perlindungan khusus negara, terutama dalam perkara perceraian. Berdasarkan temuan empiris, perempuan kerap menjadi pihak yang paling terdampak secara sosial, ekonomi, dan psikologis pascaperceraian.

Oleh karena itu, lembaga peradilan memiliki kewajiban hukum untuk menjamin akses informasi yang memadai terkait hak-hak pascaperceraian, khususnya bagi perempuan selaku penggugat. Diseminasi hukum melalui media cetak, platform digital, media elektronik, dan media luar ruang diharapkan dapat meningkatkan literasi hukum dan pemahaman hukum, sehingga perempuan mampu menuntut haknya secara proporsional dan efektif (Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama MA RI, 2021).

Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung RI (PERMA) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum, pengadilan memiliki enam kewajiban utama yang harus dipedomani oleh hakim dalam pemeriksaan perkara:

1. Hakim wajib mengadili perkara perempuan dengan berlandaskan asas nondiskriminasi, persamaan di hadapan hukum, serta menjamin tercapainya keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.

2. Hakim wajib mengidentifikasi kondisi dan situasi perlakuan yang tidak setara yang berpotensi menimbulkan tindakan diskriminatif terhadap perempuan.

3. Hakim wajib menjamin terpenuhinya akses yang setara bagi perempuan dalam memperoleh keadilan, tanpa hambatan struktural maupun kultural.

4. Setiap putusan harus mempertimbangkan perspektif kesetaraan gender guna menjamin keadilan substantif bagi pihak perempuan.

5. Hakim wajib menghindari segala bentuk perkataan, sikap, maupun perlakuan yang merendahkan harkat dan martabat perempuan selama proses peradilan berlangsung.

6. Pengadilan wajib memfasilitasi partisipasi perempuan yang mengalami hambatan fisik dan/atau psikis agar tetap dapat berperan aktif dalam proses peradilan.

Prinsip-prinsip tersebut berfungsi sebagai kerangka normatif untuk membentuk sistem peradilan yang mengadopsi pendekatan sensitif gender dan berorientasi pada pemulihan.

Dengan demikian, fungsi pengadilan tidak lagi terbatas pada aspek legal-formalistik semata, tetapi juga berkembang menjadi ruang publik yang menjamin perlindungan hak-hak fundamental, khususnya bagi subjek hukum perempuan. Jaminan perlindungan hukum ini diharapkan mampu membangun pemberdayaan hukum bagi perempuan dalam sengketa perceraian, meningkatkan kapasitas hukum  dalam mengakses mekanisme peradilan, serta memperkuat kepercayaan diri hukum bagi perempuan dalam menuntut hak-haknya.

Sebagai institusi penegak hukum, pengadilan memikul beban konstitusional untuk memastikan seluruh proses peradilan dilaksanakan berdasarkan prinsip peradilan yang adil dengan menjamin keadilan prosedural, mengimplementasikan pendekatan berbasis gender, dan selaras dengan instrumen hak asasi manusia internasional.

Perlindungan Hukum Substantif Pascaperceraian

Perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak pascaperceraian harus diwujudkan melalui mekanisme implementatif yang efektif, tidak hanya berhenti pada tataran normatif. Hal ini memerlukan sinergi antara regulasi, konsistensi putusan hakim, dukungan kelembagaan, dan peningkatan kesadaran hukum masyarakat.

Meskipun kerangka hukum positif-seperti Undang-Undang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, dan Peraturan Mahkamah Agung-telah memberikan landasan yuridis yang kuat, efektivitasnya bergantung pada literasi hukum, akses terhadap keadilan, dan keberpihakan substantif peradilan.

Dalam perspektif yurisprudensi Islam, perlindungan ini sejalan dengan prinsip keadilan substantif dan perlindungan terhadap pihak yang lemah (mustaḍ‘afīn). Ketentuan mut’ah, nafkah iddah, dan pelunasan mahar merupakan bentuk pemulihan etis dan sosiologis bagi perempuan, sedangkan pemenuhan hak anak-termasuk nafkah, pendidikan, dan pengasuhan-merupakan kewajiban hukum yang bersifat imperatif, selaras dengan prinsip ḥifẓ al-nasl dalam maqāṣid al-syarī‘ah.

Dengan demikian, perlindungan pascaperceraian bagi perempuan dan anak menjadi pilar penting sistem hukum yang menjunjung kesetaraan, keadilan, dan kemanfaatan hukum. Pencapaiannya memerlukan peningkatan kesadaran hukum, partisipasi aktif perempuan dalam memperjuangkan haknya, serta konsistensi penegakan hukum oleh peradilan, sehingga perceraian tidak menjadi akhir yang menindas, melainkan menjadi awal restorasi hak secara adil dan proporsional.
 

Penulis: Rifqi Qowiyul Iman
Editor: Tim MariNews