Perempuan, Perkawinan, dan Kerentanan di Ruang Pengadilan

Kerentanan perempuan dalam perkawinan bukan sekadar soal isi dompet, namun pada tingkat struktural. Hukum masih menobatkan suami sebagai kepala keluarga
Ilustrasi perceraian. Foto : Pexels.com
Ilustrasi perceraian. Foto : Pexels.com

Kasus tragis seorang ibu di Bandung, yang memilih mengakhiri hidup bersama dua anaknya pada 5 September 2025 masih menempel di kepala banyak orang, sakit sekali membayangkannya. 

Hal ini menunjukkan seberapa getir posisi perempuan dalam rumah tangga, apabila suami mengambil suatu keputusan, istri pula yang dapat menanggung akibatnya.

Kasus ini menyentuh nurani kita, bahwa perempuan dalam perkawinan sering kali berada di posisi yang rentan. Mereka yang harus menanggung dampak langsung ketika suami mengambil suatu keputusan yang keliru dan gagal menjalankan kewajiban : dari penelantaran nafkah, hutang yang tiba-tiba nongol macam hantu, sampai tekanan psikis yang diderita. 

Kerentanan Struktural Perempuan

Kerentanan perempuan dalam perkawinan bukan sekadar soal isi dompet, namun pada tingkat struktural. Hukum masih menobatkan suami sebagai kepala keluarga, sementara istri cukup dengan gelar “ibu rumah tangga”, gelar seumur hidup yang tak pernah ada wisudanya. 

Konsekuensinya? Beberapa suami mengambil keputusan besar tanpa perlu bermusyawarah dengan istrinya, seolah merasa berhak mengambil keputusan sendiri.

Apabila seorang istri tak punya kuasa menolak utang yang dibuat suami. Secara teoritis, utang pribadi suami tidak otomatis membebani istri. Utang suami tetap jadi uutang suami sendiri, kecuali telah disetujui istri. 

Akan tetapi praktiknya? Seringkali yang disalahkan tetap istri, karena suami tak kunjung bayar, istri yang didatangi penagih utang.

Lapisannya makin tebal: stigma perceraian, ketergantungan ekonomi, dan minimnya akses bantuan hukum. Alhasil, terkadang perempuan terjebak dalam lingkaran rapuh—tak bisa melawan, tak bisa lari, dan tak punya suara.

Perceraian dan Jalan Berliku ke Keadilan

Ketika kondisi sudah tak tertahankan, perceraian bisa jadi pilihan bagi istri. Terkadang lebih baik mengalami kemudharatan yang kecil, daripada harus bertahan dalam rumah tangga dengan tekanan psikis yang lebih besar. Mempertahankan rumah tangga yang sudah retak bisa lebih berbahaya daripada melepaskannya.

Pengadilan dianggap mampu menyelesaikan masalah dengan putusan perceraiannya. Amanah tersebut harus ditunaikan dengan penuh empati dari seluruh aparaturnya. 

Empati tidak berarti mengorbankan objektivitas hukum, justru dengan empati, membuat aparatur pengadilan lebih utuh membaca konteks: bahwa gugatan perceraian bukan sekadar soal “ingin berpisah”, tetapi terkadang suatu jeritan panjang yang mungkin tak terdengar.

Ketika suami berbuat semena-mena, perempuan dapat menanggung dampak berlapis: ekonomi, sosial, dan psikologis. Dan ketika perkara masuk ke pengadilan, kerentanan itu masih membayang kemudian dapat mempengaruhi kondisi psikologisnya.

Perlindungan Khusus untuk Perempuan

Itulah mengapa penting memahami kerentanan struktural perempuan dalam pemeriksaan perkara. Tepat sekali Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama MA RI (Dirjen Badilag MA RI) mengadakan bimbingan teknis bertemakan kelompok rentan berhadapan dengan hukum. 

Menurut Prof. Amran Suadi, setidaknya ada 2 (dua) alasan kenapa perempuan perlu perlindungan khusus. Kesulitan akses dan jaminan hak serta keadilan mereka. Maka, dalam perkara perceraian, hakim tidak mewajarkan adanya kekerasan dalam rumah tangga. 

Begitu juga dalam pembuktian, jangan pula terpaku pada bukti saksi, kalau ada assessment ahli, gunakan sebagai bukti tertulis. Kalau ada bukti permulaan, hakim bisa memerintahkan penggugat melengkapinya dengan sumpah. 

Intinya sederhana, beri ruang yang adil bagi perempuan yang mengajukan perceraian di pengadilan. Terlebih lagi, jika perceraian didasarkan pada adanya kekerasan dalam rumah tangga. 

Secara normatif, perempuan memang berada pada posisi rentan, dalam masyarakat pun ia sering tersisihkan. Maka di pengadilan, ia harus mendapatkan perhatian khusus.

Hukum keluarga mesti dibaca ulang, bukan sekadar teks kaku tentang peran suami-istri, melainkan instrumen untuk melindungi yang lemah. 

Dan di ruang pengadilan, empati seharusnya menjadi bahasa resmi kedua setelah bahasa hukum. Sebab di balik setiap berkas perceraian, ada manusia yang sedang berjuang untuk tetap hidup.