Dualisme Kewenangan APIP dan APH dalam Menangani Kerugian Negara Pada Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

sering terjadi irisan kewenangan antara Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) dan Aparat Penegak Hukum (APH).
Ilustrasi pengawasan keuangan negara. Foto pixabay.com
Ilustrasi pengawasan keuangan negara. Foto pixabay.com

Aparatur Sipil Negara (ASN) merupakan profesi yang mencakup Pegawai Negeri Sipil (PNS) maupun Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang bertugas di berbagai instansi pemerintah. 

ASN memiliki fungsi strategis, yakni melaksanakan kebijakan publik, memberikan pelayanan kepada masyarakat, sekaligus menjadi perekat dan pemersatu bangsa. Ketentuan dimaksud, diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.

Seiring perkembangan regulasi, lahirlah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara sebagai bentuk pembaruan dan penguatan. Regulasi terbaru memberikan pengaturan lebih komprehensif mengenai manajemen ASN, mulai dari proses pengangkatan, kedudukan, hak dan kewajiban, hingga pola pengembangan karier.

Namun, dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan daerah, tidak sedikit oknum ASN yang menyalahgunakan kedudukan maupun kewenangannya. Pelanggaran tersebut dapat berupa maladministrasi, pelanggaran disiplin, bahkan tindak pidana korupsi. 

Kondisi demikian tidak hanya mencederai kepercayaan publik, tetapi juga berpotensi menimbulkan kerugian bagi keuangan negara maupun daerah.

Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, keuangan negara mencakup seluruh hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik dalam bentuk uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara sehubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

Sementara itu, Pasal 1 angka 76 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah memberikan definisi mengenai keuangan daerah. 

Keuangan daerah diartikan sebagai seluruh hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang, termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang dapat dijadikan milik daerah, sehubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

Terkait perbuatan Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang berpotensi menimbulkan kerugian negara maupun daerah, muncul persoalan penting mengenai kewenangan penanganannya. 

Pertanyaan yang kerap mengemuka adalah lembaga manakah yang memiliki otoritas untuk memproses dugaan pelanggaran tersebut? 

Hal ini menjadi relevan, karena sering terjadi irisan kewenangan antara Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) dan Aparat Penegak Hukum (APH).

Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) merupakan unit organisasi dalam instansi pemerintah yang memiliki fungsi utama melakukan pengawasan internal melalui mekanisme audit, reviu, evaluasi, pemantauan, serta bentuk kegiatan pengawasan lainnya. 

Kewenangan APIP diatur Pasal 48 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP), yang menegaskan bahwa pengawasan internal atas penyelenggaraan tugas dan fungsi instansi pemerintah dilaksanakan oleh APIP.

Lembaga yang termasuk dalam APIP antara lain Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat Jenderal (Itjen) pada kementerian, Inspektorat Utama pada lembaga pemerintah non-kementerian, serta Inspektorat Daerah (provinsi, kabupaten/kota) di lingkungan pemerintahan daerah.

Adapun bentuk pengawasan APIP diatur lebih rinci dalam Pasal 48 ayat (2) PP No. 60 Tahun 2008, yang meliputi audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lain. Teknis pelaksanaan diatur lebih lanjut dalam Pasal 49 ayat (2) sampai ayat (6), serta Pasal 57 PP No. 60 Tahun 2008. 

Selain itu, Pasal 54 ayat (1) PP No. 60 Tahun 2008, mengharuskan APIP menyusun laporan hasil pengawasan dan menyampaikannya kepada pimpinan instansi yang diawasi. 

Rekomendasi tersebut, kemudian diteruskan kepada unit pemerintah terkait untuk dilakukan perbaikan maupun pengembalian kerugian keuangan negara/daerah, sebagaimana diatur pula dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Apabila langkah-langkah tersebut tidak ditindaklanjuti, barulah kepala instansi terkait, berkewajiban melaporkan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Aparat Penegak Hukum (APH), guna dilakukan penyelidikan dan penyidikan atas dugaan kerugian negara/daerah. 

Dengan demikian, mekanisme hukum yang berlaku menempatkan APIP sebagai pihak yang memiliki kewenangan awal dalam menangani dugaan perbuatan ASN menimbulkan kerugian negara, sebelum kewenangan tersebut beralih ke APH.

Aparat Penegak Hukum (APH) merupakan institusi yang memiliki kewenangan dalam melaksanakan proses penegakan hukum, mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga pemeriksaan di pengadilan serta pelaksanaan putusan. 

Dalam konteks tindak pidana korupsi, masing-masing APH menjalankan perannya sesuai dengan kewenangan yang diberikan undang-undang. 

Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI. Kejaksaan memiliki kewenangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. 

Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga khusus diberikan kewenangan yang lebih luas, meliputi penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi, sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019.

Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut, apabila ditemukan indikasi tindak pidana korupsi, yang menimbulkan kerugian keuangan negara atau daerah, APH berwenang untuk segera memproses hukum pihak-pihak yang bertanggung jawab, termasuk apabila pelakunya adalah Aparatur Sipil Negara (ASN).

Kewenangan antara Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) dan Aparat Penegak Hukum (APH) kerap menjadi bahan perdebatan, baik di kalangan akademisi maupun praktisi hukum. Tidak jarang pula isu ini, mengemuka dalam praktik peradilan, bahkan dijadikan sebagai materi dalam permohonan praperadilan.

Menyadari dinamika tersebut, lembaga yang menaungi APIP maupun APH memberikan perhatian serius. 

Sebagai bentuk respons, Kementerian Dalam Negeri, Kejaksaan RI, dan Kepolisian Negara RI menjalin sinergi melalui Nota Kesepahaman Nomor 100.4.7/437/SJ, Nomor 1 Tahun 2023, dan Nomor NK/1/I/2023 tentang Koordinasi Aparat Pengawasan Internal Pemerintah dan Aparat Penegak Hukum dalam Penanganan Laporan atau Pengaduan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, yang ditandatangani 25 Januari 2023.

Nota Kesepahaman ini, dimaksudkan sebagai pedoman kerja sama yang saling mendukung dalam ruang lingkup kewenangan masing-masing pihak, sekaligus memberikan kepastian mengenai tata cara koordinasi antara APIP dan APH. 

Tujuannya adalah memastikan sinergi, tanpa menegasikan atau mengesampingkan tugas, fungsi, dan kewenangan yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Secara khusus, Bab III Nota Kesepahaman tersebut menguraikan secara rinci teknis pelaksanaan koordinasi antara kedua lembaga.

Pada hakikatnya, Nota Kesepahaman ini tidak mengurangi kewenangan APIP maupun APH. Masing-masing tetap dapat menjalankan fungsi sesuai mandat undang-undang.

Hanya saja, apabila terdapat dugaan kerugian keuangan negara atau daerah yang disebabkan oleh ASN dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, maka sebelum menjalankan kewenangannya masing-masing, APIP dan APH diwajibkan melakukan koordinasi terlebih dahulu, sesuai mekanisme yang telah ditentukan.

Dengan hadirnya Nota Kesepahaman dimaksud, APIP dan APH memperoleh titik temu sekaligus pencerahan di tengah dinamika kewenangan masing-masing dalam menangani dugaan perbuatan ASN, yang berimplikasi pada kerugian keuangan negara maupun daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Lebih dari itu, Nota Kesepahaman tersebut juga berfungsi sebagai sarana penyamaan persepsi, baik bagi masyarakat luas maupun kalangan akademisi dan praktisi hukum, terkait mekanisme penegakan hukum terhadap ASN yang diduga merugikan keuangan negara/daerah.

Pada akhirnya Nota Kesepahaman tersebut, diharapkan membawa dampak positif, antara lain dengan mencegah timbulnya kegaduhan hukum dan perbedaan sudut pandang publik, mengenai tata cara penanganan perkara serupa. 

Selain itu, keberadaannya juga diharapkan dapat menghindarkan terjadinya tumpang tindih kewenangan maupun potensi gesekan antar-institusi. 

Dengan demikian, proses penegakan hukum dapat berjalan secara kondusif, saling melengkapi, dan tetap menghormati kewenangan masing-masing, baik APIP maupun APH, dalam menangani  kerugian negara/daerah akibat perbuatan ASN di lingkup pemerintahan daerah.

Penulis: Murdian
Editor: Tim MariNews