Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika Melalui Pendekatan Rehabilitatif

Peredaran gelap narkotika setidaknya melibatkan beberapa rantai peran di dalamnya yaitu, produsen, distributor, pengguna.
Ilustrasi Pendekatan Rehabilitatif | Foto : Freepik
Ilustrasi Pendekatan Rehabilitatif | Foto : Freepik

Narapidana Tindak pidana narkotika masih menjadi kelompok narapidana yang paling banyak menghuni Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia. 

Menurut data statistik yang diambil dari website resmi sdppublik.ditjenpas.go.id (diakses pada 12/122025), kejahatan narkotika menempati urutan pertama terbanyak berdasarkan klasifikasi jenis tindak pidana khusus yaitu, sejumlah 94,37% (2025), 94,71% (2024), dan 99,45% (2023). 

Persentase narapidana kejahatan narkotika dari seluruh narapidana penghuni lapas dari berbagai jenis tindak pidana yaitu, 41,16% (2025), 41,71% (2024), dan 57,92% (2023). 

Keadaan Lembaga pemasyarakatan yang sampai dengan 2025 masih mengalami over kapasitas, dengan kuantitas penghuni narapidana kejahatan narkotika relatif lebih dari 40%, maka menjadi penting untuk merekonstruksi pencegahan penyalahgunaan narkotika di Indonesia. 

Selain narkotika memiliki dampak yang serius terhadap masa depan generasi bangsa, ternyata narkotika telah menjadi salah satu faktor signifikan terhadap over kapasitas Lembaga pemasyarakatan.

Pidana Penjara pada Perkara Penyalahgunaan Narkotika, Apakah Efektif?

Pemidanaan terhadap pelaku kejahatan narkotika masih didominasi jenis pidana penjara, padahal dalam konteks penyalahgunaan narkotika, tujuan dibentuknya undang-undang tentang narkotika adalah untuk mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan Narkotika.

Selain itu, untuk memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika, menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi Penyalahguna dan pecandu Narkotika. 

Peredaran gelap narkotika setidaknya melibatkan beberapa rantai peran di dalamnya yaitu, produsen, distributor, pengguna. 

Dari rantai peran tersebut pemberantasan peredaran gelap narkotika sebenarnya dapat dilakukan dari hilir, yaitu memutus rantai pasar pengguna, karenanya didalam Undang-Undang tentang narkotika mengatur secara eksplisit mengenai upaya-upaya pencegahan, dan rehabilitasi baik medis maupun sosial. 

Menurut hemat Penulis, Pidana penjara hanya tepat diterapkan terhadap pelaku produsen dan distributor/pengedar yang bukan pengguna, karena biasanya seseorang menjadi pengedar karena ia membutuhkan akses cepat dan murah untuk bisa mengkonsumsi narkotika, sehingga apabila pencegahan dimulai dengan meminimalisir pengguna, maka secara simultan pengedar yang juga merupakan pengguna akan berkurang juga kuantitasnya. 

Dalam beberapa kasus, pidana penjara kurang memberikan efek jera terhadap para pelaku penyalahgunaan narkotika, baik pengguna maupun pengedar. 

Terlebih, pembinaan oleh Lembaga pemasyarakatan terhadap narapidana narkotika dikumpulkan menjadi satu tempat yang tentu akan membentuk lingkungan sosial baru dimana satu lingkungan tersebut semuanya adalah para penyalahguna narkotika. 

Kelompok sosial dengan latar belakang yang sama, lebih cenderung akan berdampak pada sharing pengalaman yang pernah dilakukan, sebagaimana behavioural theory yang pada pokoknya teori tersebut menyoroti bahwa lingkungan sosial bukan hanya sebagai tempat manusia hidup, tetapi sebagai kekuatan dinamis yang secara aktif membentuk dan dipengaruhi oleh perilaku manusia dalam suatu sistem interaksi yang berkelanjutan. 

Hal tersebut akan menjadi hambatan bagi pembinaan yang dilakukan oleh Lembaga pemasyarakatan, terlebih dengan kurangnya petugas jaga di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), yang notabene sekaligus sebagai pengawas perilaku para warga binaan.

Keadaan tersebut setidaknya dapat dilihat dari beberapa sampel kasus peredaran narkotika yang justru dikendalikan oleh narapidana yang sedang menjalani masa pidana di dalam lapas. 

Kasus yang terjadi di Lapas Teminabuan, sorong selatan, Lapas Polewali, Sulawesi Barat, dan Lapas Langkat pada 2024, seorang narapidana narkotika masih bisa juga mengendalikan pengedaran narkotika dari dalam lapas (Tempo, 2024). 

Selain sampel beberapa kasus tersebut, di beberapa perkara pidana narkotika masih banyak subjek pelaku yang merupakan pengulangan/residiv. 

Seseorang yang sudah pernah dihukum karena penyalahgunaan narkotika begitu selesai menjalani hukuman, kembali melakukan penyalahgunaan narkotika. 

Berdasarkan sampel jumlah residivis pelaku kejahatan narkotika di Lapas Narkotika Kelas II Pamekasan, menunjukan terdapat 58 residivis dari total 171 Narapidana (33,9%). 

Hal tersebut, sudah cukup memperlihatkan, filosofi pemidanaan dengan pendekatan retributif, deterrence, dan resosialisasi, kurang efektif diterapkan pada pelaku kejahatan narkotika. 

Untuk memutus rantai pengguna, harus dilakukan pemidanaan dengan pendekatan rehabilitatif, sehingga narapidana tidak lagi memiliki kebutuhan terhadap penggunaan narkotika secara ilegal.

Hasil Asesmen Tim Terpadu BNN sebagai Preferensi Pertimbangan Hakim dalam Penjatuhan Pidana terhadap Penyalahguna Narkotika

Hakim di badan peradilan umum, adalah pejabat yang diberikan kewenangan untuk menentukan apakah seorang penyalahguna narkotika perlu dihukum menjalani rehabilitasi medis, sosial, atau dihukum pidana penjara. 

Apabila dilihat dari beberapa putusan pengadilan terkait pidana narkotika, Hakim sering menggunakan preferensi hukum Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) hal mana ketentuan tersebut pada pokoknya memberikan batasan, apabila kuantitas barang bukti yang ditemukan pada saat penangkapan di bawah satu gram, dapat dinyatakan sebagai pengguna/penyalahguna untuk diri sendiri. 

Namun, Hakim tidak menjatuhkan hukuman rehabilitasi melainkan menjatuhkan hukuman pidana penjara, dalam konteks karakteristik perkara tertentu hukuman pidana penjara dijatuhkan dengan menyimpangi batas minimum. 

Dalam SEMA yang sering dijadikan referensi hukum oleh Hakim menentukan, untuk dapat menentukan hukuman rehabilitasi, maka dalam suatu perkara narkotika harus dilengkapi dengan surat hasil asesmen terpadu dari BNN, yang berisi rekomendasi apakah pelaku perlu dilakukan rehabilitasi atau tidak. 

Hal itu menjadi penting, karena Hakim memerlukan analisa dari pejabat yang memiliki kompetensi untuk menentukan kebutuhan rehabilitasi seorang pelaku penyalahgunaan narkotika, oleh karenanya ia membutuhkan keterangan ahli setidaknya melalui hasil asesmen terpadu dari BNN. 

Persoalannya adalah, tidak semua perkara penyalahgunaan narkotika dilengkapi dengan hasil asesmen terpadu BNN oleh Penyidik maupun Penuntut Umum. 

Sehingga, hukuman penjara hampir selalu menjadi jenis hukuman yang diberikan kepada pelaku kejahatan narkotika.

Dalam penanganan penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan narkotika, berdasarkan analisa tersebut, maka keberadaan laporan hasil asesmen oleh tim terpadu BNN, menjadi berkas yang penting untuk menjadi dasar analisa Hakim pemeriksa perkara dalam menentukan hukuman yang tepat bagi pelaku kejahatan narkotika, apakah ia patut dijatuhi hukuman pidana penjara, atau cukup untuk dijatuhi hukuman rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial. 

Mengingat betapa perlunya laporan hasil asesmen tersebut, maka solusi yang dapat diajukan dalam penulisan artikel ini, adalah dokumen berkas berita acara pemeriksaan oleh penyidik Polri dan juga berkas penuntutan oleh Penuntut Umum harus dilengkapi dengan laporan hasil asesmen dari tim terpadu BNN. 

Sejauh ini, berdasarkan yang Penulis amati, dokumen laporan hasil asesmen dari tim terpadu BNN menjadi alternatif pilihan yang inisiasinya diberikan kepada penyidik, dan Penuntut, dan bukan menjadi dokumen yang wajib ada dalam berkas berita acara pemeriksaan di penyidikan dan penuntutan. 

Hal yang menjadi persoalan lain adalah pembiayaan proses asesmen oleh tim terpadu BNN yang harus ditentukan secara rigid dalam norma peraturan perundang-undangan baik di level peraturan Menteri atau peraturan Kapolri, sehingga alokasi penganggaran untuk pelaksanaan asesmen tersebut tidak menjadi hambatan bagi institusi yang diberikan kewajiban untuk menginisiasi pelaksanaan asesmen tersebut.

Penulis berharap, dengan diberlakukannya kewajiban berita acara pemeriksaan di tingkat penyidikan dan berkas penuntutan di tingkat penuntutan yang harus dilengkapi dengan laporan hasil asesmen terpadu dari BNN, maka Hakim pemeriksa perkara akan lebih tepat dalam menentukan jenis hukuman bagi pelaku penyalaguna narkotika. 

Pencegahan penyalahgunaan narkotika melalui pendekatan rehabilitatif tentu memerlukan dukungan dari beberapa aspek termasuk kesiapan sarana Lembaga rehabilitasi medis dan sosial. 

Dalam konteks ini, negara harus hadir untuk mempersiapkan segala hal yang diperlukan sebagai manifestasi dari keseriusan sikap negara dalam melakukan pencegahan penyalahgunaan narkotika di Indonesia, juga sebagai wujud keseriusan negara dalam melindungi warga negaranya dari dampak serius penyalahgunaan narkotika.

 

Sumber Referensi:

Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika;

SEMA Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban penyalahgunaan Dan Pecandu Narkotika Ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis Dan Rehabilitasi Sosial;

Peraturan Bersama MA No. 01/PB/MA/III/2014 tentang Penanganan Pecandu Dan Korban Penyalahgunaan Narkotika;

Maulana Pratama, D., dan Hamzah, I.(2025).Perbandingan Moral Disengagement dan Lokus OF Control Pada Narapidana Residivis dan Nonresidivis di Lapas Narkotika Kelas IIA Pamekasan.Al-Zayn: Jurnal Ilmu Sosial & Hukum.volume 3 Nomor 5, Hal. 5874. https://ejournal.yayasanpendidikandzurriyatulquran.id/index.php/AlZayn;

Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, (2025), sdppublik.ditjenpas.go.id (diolah), diakses tanggal 12 Desember 2025;

Tempo, (2024). https://www.tempo.co/hukum/sejumlah-kasus-peredaran-narkoba-dikendalikan-dari-lapas-terbaru-produksi-ekstasi-dan-pil-koplo-di-sukolilo-surabaya-56956. Diakses tanggal 12 Desember 2025;

Penulis: Restu Permadi
Editor: Tim MariNews