“The alternative to this substitution of decision for reason is the institutionalization of reason. … Reason requires law in order to become real, and law requires reason in order to be legitimate.” – Robert Alexy (“The Reasonableness of Law” dalam Reasonableness and Law).
Dalam ilmu Logika, sebuah dilema bisa “diselesaikan” dengan tiga cara (Hurley, 2011; Copi, Cohen, & McMahon, 2011). Pertama memilih salah satu “tanduk” (dalam logika formal dilemma diibaratkan seperti seorang matador yang berhadapan dengan sepasang tanduk banteng setajam ujung tombak). Ini berarti pilihan yang satu menegasi yang lain.
Kedua, tidak menerima keduanya, atau menghindari tanduk-tanduk tersebut. Terakhir menerima salah satu tanduk sembari mengakui yang lainnya. Sebagai ilustrasi, dalam pandemi Covid-19 yang terjadi beberapa tahun lalu, pemerintah sebuah negara biasanya mendapati dua opsi dilematis: pembatasan gerak (lockdown) dan ekonomi lumpuh, atau membiarkan aktivitas ekonomi dan wabah menyebar.
Sejalan dengan tawaran teoretik dari Logika, ada tiga jawaban: pertama, pemerintah membatasi gerak dan menganggap kebijakan ini tidak akan berpengaruh secara ekonomi.
Kedua, pemerintah dapat membatasi gerak hanya di pusat-pusat kota saja, atau melakukan karantina total tetapi memberikan kompensasi fiskal dan moneter untuk mengurangi dampak buruk dari penyebaran penyakit menular dalam skala nasional.
Terakhir, pemerintah dapat memberikan pernyataan bahwa pembatasan gerak (lockdown) akan dilakukan, sekalipun dampak ekonominya akan membawa kondisi buruk terhadap sektor usaha. Di pilihan ketiga ini, pemerintah mengakui bahwa negara tidak punya pilihan, karena kedua tuntutan tersebut, pencegahan penularan dan perlindungan terhadap aktivitas ekonomi sama pentingnya.
Pemerintah Jerman, misalnya, di masa pandemi memilih opsi kedua: melakukan pembatasan gerak dan memberikan kompensasi (seperti program Kurzarbeit atau Soforthilfe) pada siapapun yang terdampak secara ekonomi karena kebijakan tersebut (International Monetary Fund, 2020; Bertschek, Block, Kritikos, & Stiel, 2024).
Mementahkan Dilema: Kritik atas Kebijakan Ekonomi sebuah Negara
Metode penyelesaian dilema yang ditawarkan oleh Logika dapat dipergunakan untuk menguji kebijakan ekonomi sebuah negara, tidak terkecuali masalah impor beras. Bila sebuah negara memiliki rasio kecukupan produksi beras dalam negeri sekitar 95,2 persen pada tahun 2023, maka negara tersebut tidak berada dalam kondisi darurat pangan.
Dengan rasio kecukupan seperti itu, stabilisasi harga beras di dalam negeri hanya membutuhkan volume impor sebesar 1 hingga 8 persen dari konsumsi per tahun (FAO, 2025). Karena itu, bila negara produsen beras tersebut menggunakan impor sebagai instrumen ekonomi, mengimpor beras dengan kapasitas setara negara yang tingkat kecukupannya hanya 50 persen tentu tidaklah wajar.
Bila konsumsi tahunan negara tersebut mencapai 35 hingga 37 juta ton, maka volume impor yang wajar berada pada kisaran 0,3 hingga 1,5 juta ton, dan itu pun hanya ketika terjadi fluktuasi permintaan dan penawaran yang disebabkan oleh gagal panen atau persoalan produksi lainnya. Jika negara produsen beras secara konstan mengimpor hingga 2 juta ton per tahun, padahal rasio kecukupan produksinya berada di sekitar 95 persen, berarti terdapat masalah serius dalam pengelolaan impor yang melampaui kebutuhan riil (Otero, Pechlaner, & Gürcan, 2013).
Dengan demikian, negara-negara produsen beras sebenarnya tidak memiliki dilema untuk memilih antara swasembada atau mengimpor beras dari negara lain (Miina Porkka et al, 2017).
Klaim bahwa negara produsen beras tidak memiliki dilema swasembada versus impor dapat dilihat dari olahan data FAO (Food and Agriculture Organization) dan USDA (United States Department of Agriculture).
Korea Selatan, dengan tingkat kecukupan 90 hingga 95 persen, mengimpor sekitar 4 hingga 7 persen dari konsumsi domestik, atau sekitar 200 hingga 300 ribu ton per tahun. Tiongkok, yang produksi dalam negerinya sekitar 146 juta ton, mengonsumsi 143 hingga 146 juta ton, dan tetap melakukan impor untuk stabilisasi harga dan diversifikasi pasokan sebesar 1,6 hingga 2,0 persen dari konsumsi, yakni sekitar 2,4 hingga 2,8 juta ton per tahun. Filipina, dengan tingkat kecukupan 90 hingga 100 persen, meningkatkan impor ketika terjadi gagal panen atau gangguan produksi lainnya, yakni sekitar 4 hingga 8 persen dari konsumsi, atau sekitar 0,5 hingga lebih dari 1 juta ton. Jepang, dengan rasio kecukupan sekitar 95 persen, mengimpor sekitar 770 ribu ton per tahun, atau sekitar 10 persen dari konsumsi domestiknya, karena kewajiban perjanjian dalam kerangka World Trade Organization/WTO (FAO, 2023-2025; USDA, 2023-2025; WTO, 1995).
Dengan kata lain, berbagai posisi yang diklaim dilematis sebenarnya gelinciran dikotomi semu (false dichotomy): seolah-olah ada “ini” versus “itu” yang harus diselesaikan hanya dengan ketiga prinsip yang dijelaskan di bagian awal tulisan ini. Kebijakan impor tidak berdasar yang dikeluarkan oleh sebuah negara produsen beras perlu disikapi sebagai sebuah kerancuan berpikir.
Alternatif Resolusi Dilema: Teori Kewajaran Hukum Robert Alexy
Filsuf hukum Robert Alexy (2009) memperkenalkan sebuah konsep yang ia beri nama “reasonableness” atau kewajaran hukum untuk menghadapi dilemma. Ada dua instrumen penting yang dipergunakan oleh Alexy: balancing (keseimbangan) dan discourse (diskursus).
Dalam garis pemikiran Alexy, dilema tidak diibaratkan sebagai sepasang tanduk yang dihunuskan oleh seekor banteng. Dalam mengkaji sebuah perkara yang dilematis, Alexy seolah tidak ingin terjebak dalam opsi satu dan tiga dari solusi yang diberikan oleh logika formal.
Posisi Alexy lebih dekat ke opsi kedua dari penyelesaian dilema, dengan memberi penekanan pada proporsionalitas dan kompleksitas sebuah keputusan.
Menurut Alexy, keseimbangan didasarkan pada tiga prinsip penting: intensitas interferensi, beban abstrak, dan reliabilitas asumsi empirik; sementara diskursus diletakkan di atas prinsip pertukaran peran, pengikutsertaan multi-perspektif, dan pencarian titik-titik kemungkinan versus ketidakmungkinan diskursif.
Sebagai ilustrasi, untuk menyelesaikan persoalan daerah bebas kendaraan bermotor di pusat kota, pendekatan dilemma dalam logika formal dapat memerangkap argumen dalam dikotomi semu: (a) melarang kendaraan bermotor menghancurkan sendi dunia usaha, dan (b) membiarkan polusi kendaraan bermotor di pusat kota berarti dengan sengaja membahayakan kesehatan warga kota.
Alexy menawarkan solusi berikut ini terhadap kasus tersebut: untuk mencari titik seimbang, pemerintah kota mesti memilih wilayah tertentu dengan tingkat aktivitas ekonomi dan polusi udara tinggi (prinsip intensitas inferensi), mengalokasikan skala prioritas kesehatan dan pertumbuhan ekonomi (prinsip beban abstrak), dan mencari asumsi empirik yang dapat dipertanggungjawabkan, seperti data-data saintifik tentang pencemaran gas buang kendaraan bermotor dan ketersediaan prasarana kendaraan umum (prinsip reliabilitas asumsi empirik).
Dalam aspek diskursus, pemerintah kota mesti menempatkan diri dalam posisi pebisnis dan warga kota di wilayah yang akan terdampak (prinsip pertukaran peran), mengundang mereka dalam forum (prinsip pengikutsertaan multi-perspektif), dan memberi ketegasan bahwa hanya pembatasan kendaraan bermotor di wilayah tertentu yang mungkin, bukan di semua sudut kota (prinsip kemungkinan-ketidakmungkinan diskursif).
Seperti yang ditegaskan Alexy, prinsip kewajaran (reasonableness) hukum dapat menjadi opsi deliberatif yang dapat dipertanggungjawabkan. Alexy mengatakan: “The idea of reasonableness requires, first, that all factors that might be relevant in answering a practical question be considered and, second, that they be assembled in a correct relation to each other in order to justify the judgment that provides the answer” (Gagasan tentang kewajaran mengharuskan, pertama, bahwa semua faktor yang mungkin relevan dalam menjawab suatu pertanyaan praktis dipertimbangkan; dan kedua, bahwa faktor-faktor tersebut disusun dalam hubungan yang tepat satu sama lain agar dapat membenarkan penilaian yang memberikan jawabannya) (Alexy, 2009:7).
Menakar Sisi Dikotomis Kebijakan Pemerintah
Negara produsen beras bisa dihinggapi urgensi impor yang sebenarnya semu, dan bahkan negara pengekspor beras seperti Thailand mengalami kasus politisasi beras, sekalipun negara itu tidak berhadapan dengan dilema impor versus swasembada.
Dalam skandal rice-pledging scheme, perdana menteri Thailand pada waktu itu, Yingluck Shinawatra, diputus bersalah oleh pengadilan (kasus Aor Chor 1/2558). Shinawatra dinilai lalai dalam mengawasi implementasi kebijakan pembelian gabah petani jauh di atas harga pasar, dan membuka peluang kolusi, manipulasi stok, suap, serta kerugian fiskal besar.
Meskipun Thailand adalah eksportir beras besar dan tidak menghadapi krisis pasokan domestik, kebijakan ini dimanfaatkan sebagai instrumen patronase politik, bukan mekanisme stabilisasi pangan.
Pada 2017, pengadilan menjatuhkan vonis in absentia terhadap Shinawatra setelah ia melarikan diri dari Thailand (Supreme Court of Thailand, 2017). Pada putusan-putusan administratif serta perdata selanjutnya, Mahkamah Agung memerintahkan Shinawatra untuk mengembalikan kerugian negara sebesar 10 miliar bath atau setara dengan Rp4,7 triliun.
Pada akhirnya, penyelesaian terhadap berbagai persoalan kebijakan publik yang tampak dilematis menuntut kemampuan untuk membaca ulang struktur masalah secara lebih jernih.
Banyak keputusan pemerintah yang tampak terjepit di antara dua pilihan ekstrem justru lahir dari kesalahan memahami konteks, ketidaktepatan menilai bukti empiris, atau kegagalan merumuskan prioritas kebijakan secara berimbang.
Dengan menata ulang faktor-faktor relevan, mempertimbangkan proporsi kepentingannya, serta menelaah ruang kemungkinan yang tersedia, sebuah dilema sering kali berubah menjadi persoalan teknis yang dapat diolah secara rasional.
Pendekatan ini memungkinkan pemerintah menghindari jebakan dikotomi semu, memperjelas dasar pengambilan keputusan, dan menegaskan bahwa berbagai kebijakan ekonomi maupun sosial dapat dirancang tanpa harus terperangkap dalam pilihan yang saling meniadakan.
Melalui cara pandang semacam ini, penyelesaian dilema bukan lagi soal memilih satu dari dua keburukan, tetapi tentang merumuskan keputusan yang paling selaras dengan bukti, kebutuhan nyata, serta tujuan publik yang lebih luas.





