Ketika Pasal Tak Lagi Menjawab: Bagaimana Hakim Menemukan Keadilan di Balik Hukum yang Kadang Membisu

Dalam tradisi sistem peradilan di Indonesia, jawabannya tegas hakim harus melakukan penemuan hukum (Rechtsvinding).
Ilustrasi hukum. Foto : Freepik
Ilustrasi hukum. Foto : Freepik

Ketika Pasal Tak Lagi Menjadi Jawaban

Ada satu pertanyaan sederhana namun sangat mendasar, apa yang terjadi ketika pasal dalam undang-undang tidak mampu menjawab persoalan yang sedang dihadapi manusia? 

Dalam tradisi sistem peradilan di Indonesia, jawabannya tegas hakim harus melakukan penemuan hukum (Rechtsvinding). 

Seorang hakim tidak sekadar duduk membaca pasal demi pasal seperti membaca katalog aturan. Tanggung jawabnya jauh lebih luas dari sekedar membaca teks yang tertulis. 

Hakim harus berpikir dengan nalar hukum, menimbang dengan hati nurani, menafsir dengan kecermatan ilmiah, dan dalam banyak situasi menggali nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. 

Ketika hukum tertulis tidak lagi memadai, hakimlah yang memastikan agar keadilan tidak berhenti hanya karena pasal kehilangan daya jawabnya. 

Di titik inilah konsep penemuan hukum (Rechtsvinding) menjadi nadi penting dalam sistem peradilan modern.

Hakim dan Ruang Penalaran di Tengah Kekosongan Norma

Gagasan klasik Paul Scholten menggambarkan dengan kuat peran seorang hakim. 

Ia menegaskan bahwa setiap putusan hakim selalu memadukan “unsur rasional” dan “unsur intuitif”. 

Hukum memang membutuhkan logika, tetapi ia juga memerlukan kepekaan akan rasa keadilan. 

Banyak hal yang tidak ditulis dalam undang-undang akhirnya harus dilengkapi melalui intuisi keadilan hakim. 

Scholten menyebutnya sebagai judge-made law ruang kosong dalam undang-undang yang harus diisi oleh hakim demi menjaga kelangsungan keadilan. 

Sudikno Mertokusumo mengembangkan gagasan itu dalam konteks Indonesia. Ia menekankan penemuan hukum (Rechtsvinding) bukan sekadar menerapkan aturan, tetapi juga membentuk hukum melalui interpretasi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. 

Dalam pandangan Sudikno, hukum yang baik adalah hukum yang “hidup”, yang mampu menyesuaikan diri dengan dinamika masyarakat, bukan yang membelenggu dengan kekakuan norma.

Realitas Sosial Bergerak Jauh Lebih Cepat daripada Undang-Undang

Undang-undang disusun pada momen tertentu dengan asumsi sosial tertentu. 

Namun kenyataan di lapangan dunia bergerak jauh lebih cepat. 

Teknologi digital berkembang pesat, bentuk interaksi berubah, kejahatan bermetamorfosis mengikuti ruang digital, dan pola hidup masyarakat terus berevolusi.

Tidak mungkin undang-undang yang dibuat satu dekade bahkan puluhan tahun yang lalu selalu mampu memberi jawaban untuk persoalan hari ini. 

Sebagaimana dikatakan Utrecht, hakim bukan hanya corong undang-undang, tetapi penyelaras antara teks hukum dan kebutuhan sosial. 

Hukum harus relevan, bukan sekadar benar secara formal. Di tangan hakim, hukum disesuaikan dengan denyut kehidupan masyarakat, bukan dibiarkan membatu dan membisu.

Hakim sebagai Penerjemah Makna di Balik Teks Undang-Undang    

Hermeneutika hukum yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran Hans-Georg Gadamer memberikan landasan filosofis bagi tugas hakim dalam menafsirkan hukum. 

Gadamer mengajarkan bahwa teks hukum tidak hidup di ruang hampa. 

Ia hanya menemukan makna ketika bertemu konteks sosial, sejarah, dan pengalaman manusia yang menjadi objek pengaturannya. 

Inilah sebabnya seorang hakim bukan penghafal kalimat pasal, melainkan penerjemah makna. Hakim membaca teks hukum dengan ilmu, tetapi juga dengan kesadaran akan realitas sosial di belakangnya. 

Ia membangun jembatan antara huruf yang tertulis dari undang-undang dan kehidupan nyata masyarakat di ruang sidang. 

Gadamer menyebut proses ini sebagai fusion of horizons pertemuan horizon teks dan horizon penafsir. 

Dalam peradilan, horizon teks adalah undang-undang, horizon penafsir adalah pemahaman hakim tentang konteks sosial, moralitas, nilai budaya, dan dinamika masyarakat. 

Ketika keduanya bertemu, lahirlah makna hukum yang hidup. Di titik itulah hakim menjalankan peran mulianya sebagai penjaga keadilan, bukan sekadar pembaca aturan. 

Ketika undang-undang tidak cukup jelas atau ketinggalan zaman, hakimlah yang membaca apa yang tidak tertulis. 

Hakim tidak hanya menafsir kata, tetapi menangkap semangat keadilan yang dikehendaki oleh pembuat undang-undang, bahkan ketika mereka tidak pernah membayangkan persoalan yang kini dihadapi. 

Inilah peran yang sering tidak terlihat oleh publik, tetapi memiliki dampak terbesar, hakim memastikan hukum tetap berbahasa kemanusiaan.

Dari CCTV hingga WhatsApp: Ruang Baru Penemuan Hukum

Contoh paling jelas tentang perlunya penemuan hukum dapat dilihat pada perkembangan bukti elektronik. 

Tidak seorang pun dulu membayangkan bahwa tangkapan layar WhatsApp, rekaman CCTV, atau metadata digital dapat menjadi alat bukti sah. Pada awalnya, undang-undang tertinggal cukup jauh dari kenyataan. 

Namun hakim tidak menutup mata. Mereka menafsirkan ulang aturan pembuktian, mengambil langkah progresif, dan menerima bukti elektronik demi menegakkan keadilan. 

Langkah ini bahkan terjadi sebelum undang-undang diperbarui. Dengan kata lain, hakimlah yang membuka jalan bagi modernisasi sistem pembuktian. 

Pemikiran ini sejalan dengan gagasan Roscoe Pound bahwa hukum harus menjadi a tool of social engineering alat untuk mengarahkan masyarakat pada ketertiban dan keadilan.

Ketika Interpretasi Menjadi Senjata Menjaga Keadilan

Dalam menghadapi norma yang tidak lengkap, hakim menggunakan berbagai metode interpretasi baik itu menggunakan metode gramatikal, sistematis, historis, hingga teleologis. 

Bahkan ketika aturan tidak mengatur suatu kasus secara eksplisit, hakim menggunakan analogi untuk memperluas makna, atau argumentum a contrario untuk mempersempit makna demi mencegah ketidakadilan. 

Semua metode ini bukan sekadar teori, melainkan alat hidup yang dipakai hakim setiap hari. Melalui alat itu, hakim memastikan bahwa teks tidak membelenggu, tetapi justru melayani keadilan.

Menjaga Tiga Nilai: Keadilan, Kemanfaatan, dan Kepastian

Gustav Radbruch melalui teori nilai hukumnya menyebut bahwa hukum memiliki tiga tujuan yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian. 

Ketiganya penting, tetapi ketika saling bertabrakan, Radbruch menegaskan bahwa keadilan harus berada di posisi tertinggi. Hakimlah yang memegang kompas moral itu. 

Hakimlah yang menjaga agar hukum tidak menjadi alat yang kaku, tetapi tetap berpihak pada manusia.

Pada akhirnya, masyarakat tidak akan mengingat pasal apa yang digunakan hakim. 

Mereka tidak peduli apakah putusan itu hasil interpretasi teleologis, historis, atau sistematis. Yang mereka rasakan hanya satu hal, apakah putusan itu adil? 

Karena itu hakim tidak boleh hanya menjadi “mesin pembaca undang-undang”. Ia harus menjadi wakil nurani hukum penjaga agar kepastian hukum tetap berjalan seiring rasa keadilan. 

Kalau pasal tertinggal, hakim harus maju. Kalau norma membisu, hakim harus bicara. 

Di sanalah inti adagium kuno yang selalu relevan Hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.

Penutup

Hukum bukan sekadar kumpulan aturan. Hukum adalah tentang manusia. 

Dan selama manusia hidup, keadilan tidak boleh berhenti hanya karena undang-undang tidak sempat mengejar perubahan zaman. 

Hakimlah menjadi garda terdepan menjaga agar keadilan tetap menyala, meski teks kadang kehilangan suara. 

Hakim bukan sekadar penegak hukum, tetapi penerjemah makna, pelindung keadilan, dan penjaga harapan masyarakat.