Dalam dialektika filsafat hukum yang panjang, ketegangan antara kepastian hukum (rechtssicherheit), keadilan hukum (gerechtigkeit), dan kemanfaatan hukum (zweckmäßigkeit) merupakan problem klasik dalam filsafat hukum yang tak kunjung usai.
Gustav Radbruch, menyadari bahwa ketiga nilai dasar ini idealnya berjalan beriringan, namun dalam praktiknya nilai-nilai tersebut justru saling menegasikan satu sama lain.
Hegemoni positivisme hukum kerap memperparah ketegangan ini. Dengan menekankan legalitas formal, positivisme meletakkan keabsahan hukum semata-mata pada prosedur pembentukannya, sering kali tanpa membedah nilai moral yang terkandung di dalamnya.
Meskipun pendekatan ini tawarkan ketertiban, stabilitas, dan prediktabilitas, ia menyimpan potensi bahaya laten, munculnya ketidakadilan yang nyata ketika teks hukum yang sah secara formal, ternyata bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Di sinilah pemikiran Gustav Radbruch, seorang filsuf hukum Jerman terkemuka, menemukan relevansinya. Ia hadir menawarkan perspektif untuk menjembatani jurang pemisah antara legalitas formal dan tuntutan moralitas.
Pemikiran hukum Radbruch tidaklah statis, ia mengalami transformasi fundamental yang dipicu oleh sejarah kelam Eropa.
Pengalaman tragis di bawah rezim Nazi Jerman, yang secara efektif memanipulasi peraturan perundang-undangan untuk melegitimasi tindakan tidak bermoral dan kejahatan kemanusiaan, menjadi titik balik bagi Radbruch.
Trauma sejarah dimaksud, menyadarkan Radbruch bahwa hukum tidak boleh dilepaskan dari esensi keadilan. Pergeseran paradigma ini kemudian melahirkan apa yang dikenal sebagai Formula Radbruch, yang terdiri dari dua prinsip utama:
- Tesis Ketidaktahanan (the intolerability thesis). Radbruch memandang bahwa hukum positif harus dipatuhi demi kepastian hukum. Namun terdapat batas moral yang tidak boleh dilampaui. Apabila isi undang-undang bertentangan dengan keadilan hingga mencapai tingkat yang tidak dapat ditoleransi (unerträglich), maka hukum positif tersebut harus dikesampingkan. Pada titik itu, menurut Radbruch, undang-undang tidak lagi layak disebut hukum.
- Tesis Penyangkalan (the disavowal thesis). Tesis kedua ini, menyasar aspek subjektif pembentuk hukum. Wujudnya berlaku pada situasi di mana proses pembentukan hukum dilakukan, dengan kesadaran penuh untuk menolak prinsip kesetaraan atau sengaja menciptakan norma yang diskriminatif. Jika pembentuk undang-undang secara sadar meniadakan nilai keadilan dalam proses legislasi, maka produk hukum tersebut kehilangan sifat hakikinya sebagai hukum secara substantif.
Kedua tesis ini, menjadi pilar yang menegaskan keberlakuan hukum tidak cukup hanya didasarkan pada keabsahan formal (prosedural), melainkan harus tunduk pada nilai moral fundamental.
Dalam konteks hukum Indonesia, peradilan tidak hanya bertugas menegakkan kepastian hukum (corong undang-undang), tetapi juga keadilan substantif sebagaimana tercermin dalam asas Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Hal ini menempatkan hakim sebagai aktor sentral dalam memastikan bahwa penerapan hukum tidak berhenti pada tataran tekstual, melainkan dapat memastikan:
- Kepastian Hukum dan keadilan substantif, yakni kepastian hukum merupakan nilai penting untuk menjaga ketertiban sosial, namun apabila diterapkan secara mekanis dapat mengabaikan aspek kemanusiaan. Formula Radbruch memberikan ruang bagi hakim untuk menafsirkan hukum secara kontekstual, bukan sekadar menjalankan teks undang-undang secara kaku.
- Penemuan hukum (Rechtsvinding) dan peran Hakim, di mana Radbruch memberikan legitimasi filosofis bagi hakim untuk melakukan penemuan hukum yang berorientasi pada keadilan substantif. Penafsiran progresif tersebut, bukanlah bentuk pelanggaran terhadap legalitas, melainkan upaya menjaga agar hukum tetap hidup dan berfungsi bagi manusia. Dengan demikian, hakim tidak dapat berlindung di balik dalih bahwa ia sekadar menjadi corong undang-undang, ketika penerapan harfiah suatu norma justru mencederai nilai moral yang lebih tinggi.
- Judicial Activism yang berimbang, meskipun memberi ruang bagi hakim untuk mengutamakan keadilan, Formula Radbruch tidak serta merta mendorong aktivisme yudisial tanpa batas. Penalaran hukum tetap harus dilakukan secara metodologis, rasional, dan dapat dipertanggungjawabkan. Hakim dituntut untuk menilai dengan cermat apakah suatu pertentangan antara undang-undang dan keadilan telah mencapai tingkat ketidaktahanan sebagaimana dijelaskan pada tesis Radbruch.
Meskipun Formula Radbruch memberi ruang bagi hakim untuk mengutamakan keadilan di atas teks undang-undang, hal ini tidak serta merta melegitimasi judicial activism tanpa batas. Maka, penerapan Formula Radbruch menuntut standar penalaran hukum (legal reasoning). Hakim harus mampu menilai dan menguraikan secara metodologis, rasional, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Sebagai penutup, pemikiran Gustav Radbruch menawarkan prinsip dasar yang menegaskan bahwa hukum tidak boleh dilepaskan dari nilai keadilan. Kepastian hukum penting bagi stabilitas sosial, namun tidak dapat berdiri sendiri tanpa kontrol moral.
Dalam konteks peradilan Indonesia, internalisasi formula Radbruch memberikan landasan filosofis dan metodologis bagi hakim, untuk menegakkan keadilan substantif tanpa mengabaikan peran hukum positif.
Melalui keseimbangan yang proporsional antara legalitas dan moralitas, peradilan dapat memastikan bahwa hukum tetap berfungsi sebagai instrumen yang melindungi martabat manusia dan menciptakan tatanan yang adil.
Referensi
Alexy, R. (2002). The Argument from Injustice: A Reply to Legal Positivism. Oxford University Press.
Friedmann, W. (1990). Teori & Filsafat Hukum: Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum (Susunan I). Rajawali Pers.
Radbruch, G. (2006). Statutory Lawlessness and Supra-Statutory Law (1946). Oxford Journal of Legal Studies, 26(1), 1–11. https://doi.org/10.1093/ojls/gqi041
Rahardjo, S. (2010). Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis. Genta Publishing.
Sidharta, B. A. (2013). Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum. Mandar Maju.





