Revolusi Hukum Pidana! Mengupas Tuntas Pengakuan Hukum Adat di KUHP Baru

KUHP baru mensyaratkan bahwa hukum adat hanya berlaku setempat dan harus diatur lebih lanjut, idealnya melalui Peraturan Daerah (Perda).
Ilustrasi hukum adat. Foto : Freepik
Ilustrasi hukum adat. Foto : Freepik

Reformasi hukum pidana melalui Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional yang baru, khususnya pengakuan terhadap Hukum yang Hidup dalam Masyarakat (living law) termasuk hukum pidana adat, merupakan langkah maju dalam menjunjung tinggi nilai-nilai budaya dan kearifan lokal. 

Namun, upaya mengintegrasikan hukum adat ini, yang sering kali didasarkan pada Peraturan Daerah (Perda) setempat, menghadapi serangkaian tantangan implementasi yang kompleks dan mendasar.

Ketidakpastian dan Keragaman Hukum Adat

Salah satu tantangan terbesar adalah keragaman dan ketidakpastian norma hukum adat di seluruh nusantara. 

Hukum adat bersifat tidak tertulis, dinamis, dan sangat spesifik di setiap masyarakat hukum adat. KUHP baru mensyaratkan bahwa hukum adat hanya berlaku setempat dan harus diatur lebih lanjut, idealnya melalui Peraturan Daerah (Perda).

Keterbatasan Regulasi Pendukung

KUHP baru, dalam Pasal 2, mensyaratkan bahwa delik adat harus diatur oleh Peraturan Pemerintah (PP) dan kemudian diperkuat melalui Perda Tindak Pidana Adat di tingkat kabupaten/kota atau provinsi. 

Ketiadaan PP dan Perda yang segera dan komprehensif ini menciptakan kekosongan hukum (rechtvacuum) atau setidaknya ketidakpastian hukum. 

Perda menjadi kunci untuk mengidentifikasi secara resmi:

  1. Nama dan batas wilayah masyarakat hukum adat yang diakui.
  2. Perbuatan (delik adat) yang diakui dan dapat dipidana menurut hukum adat tersebut.
  3. Tata cara penegakan dan sanksi adat yang dapat dijatuhkan, yang harus berupa pemenuhan kewajiban adat setempat dan mengutamakan keadilan restoratif.

Proses identifikasi dan perumusan Perda ini membutuhkan pelibatan aktif lembaga adat yang memakan waktu dan rentan terhadap perbedaan interpretasi, bahkan antar-lembaga adat yang berdekatan. 

Jika Perda terlambat atau tidak seragam, penerapannya oleh aparat penegak hukum dan hakim akan menjadi sulit dan berpotensi diskriminatif.

Sinkronisasi dan Batasan Normatif

Integrasi hukum adat ke dalam sistem hukum pidana formal juga menghadapi tantangan sinkronisasi dan batasan normatif. KUHP baru menetapkan beberapa batasan penting yang memfilter penerapan delik adat:

  • Delik adat tidak boleh bertentangan dengan Pancasila, UUD NRI 1945, Hak Asasi Manusia (HAM), serta asas-asas hukum umum yang diakui bangsa-bangsa beradab.
  • Delik adat hanya dapat diterapkan pada perbuatan yang belum diatur dalam KUHP itu sendiri. Jika suatu perbuatan sudah diatur, maka ketentuan KUHP yang berlaku.

Konflik dengan Prinsip HAM dan Asas Legalitas

Batasan-batasan ini menimbulkan kekhawatiran, terutama dari aktivis masyarakat adat, bahwa pengakuan living law berpotensi menjadi pembatasan bahkan penghapusan terhadap hukum adat itu sendiri. 

Penetapan kriteria HAM menjadi pedang bermata dua, di satu sisi melindungi masyarakat adat dari praktik yang melanggar nilai-nilai universal, namun di sisi lain berpotensi membatasi atau meniadakan delik adat yang dianggap bertentangan, meskipun telah hidup berabad-abad.

Selain itu, pengakuan delik adat sebagai pengecualian terhadap asas legalitas formal (nulla poena sine praevia lege poenali tidak ada pidana tanpa undang-undang pidana sebelumnya) memerlukan kejelasan yang ketat. 

Harus dipastikan bahwa keberadaan delik adat (terutama yang tidak tertulis) tidak melanggar hak warga negara untuk mengetahui secara pasti perbuatan apa yang dilarang dan sanksi apa yang akan diterima. Perda menjadi solusi untuk memberikan kepastian hukum material ini.

Kesiapan Aparat Penegak Hukum dan Keadilan Restoratif

Tantangan praktis terletak pada kesiapan aparat penegak hukum (APH), termasuk Kepolisian, Jaksa, dan Hakim. Mereka harus dibekali pemahaman dan pelatihan mendalam mengenai hukum adat setempat.

Pelatihan dan Pemahaman Hakim

Hakim, sebagai gerbang terakhir penerapan hukum, perlu memiliki pengetahuan yang cukup untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat. 

Tanpa bekal ini, potensi salah penerapan atau pengabaian hukum adat yang diakui dalam Perda sangat besar, yang pada akhirnya akan merusak tujuan dari reformasi ini.

Implementasi Keadilan Restoratif

KUHP baru mendorong keadilan restoratif dalam penyelesaian tindak pidana adat, yang mengutamakan pemulihan hubungan sosial ketimbang pembalasan.

Meskipun hukum adat secara inheren sering bersifat restoratif (seperti tradisi bakar batu di Papua), mekanisme formal untuk mengakui dan menetapkan hasil penyelesaian adat di pengadilan memerlukan hukum acara khusus dan koordinasi yang jelas antara lembaga adat dan APH.

Kesimpulan

Pengakuan hukum adat dan peran Perda dalam KUHP baru adalah terobosan historis yang berupaya mengakomodasi pluralisme hukum Indonesia. Namun, tantangan yang dihadapi sangat besar, mulai dari penyusunan regulasi pendukung (PP dan Perda) yang mendesak, mengatasi ketegangan antara hukum adat, HAM, dan kepastian hukum formal, hingga peningkatan kapasitas APH. 

Keberhasilan implementasi living law ini akan sangat bergantung pada komitmen pemerintah daerah dan pusat dalam memastikan bahwa Perda yang disusun benar-benar mencerminkan kearifan lokal tanpa mengorbankan prinsip-prinsip fundamental negara hukum dan HAM. Hanya dengan harmonisasi yang cermat, tujuan untuk mencapai keadilan yang lebih substantif dan berbasis budaya dapat terwujud.

Penulis: Fuadil Umam
Editor: Tim MariNews