Perbankan Syariah dan Peradilan Agama: Sebuah Catatan Kritis

Sengketa dalam perbankan syariah umumnya berakar dari perbedaan pemahaman terhadap akad-akad syariah yang digunakan
Gedung Pengadilan Agama Banjarmasin. Foto : Dokumentasi PA Banjarmasin
Gedung Pengadilan Agama Banjarmasin. Foto : Dokumentasi PA Banjarmasin

Sejak diundangkannya UU Nomor 3 Tahun 2006 yang kemudian ditindaklanjuti oleh Mahkamah Agung dengan menerbitkan Surat Keputusan Ketua MA Nomor 08/KMA/SK/I/2008, yang mempertegas kewenangan peradilan agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah, perkara-perkara terkait perbankan syariah mulai mengalir ke lembaga ini. 

Ironisnya, pada saat yang sama, nyaris tidak pernah terdengar adanya perkara perbankan konvensional masuk ke pengadilan umum. Fenomena ini menarik untuk dikaji, setidaknya dari sudut pandang hukum dan budaya masyarakat.

Pertama, perlu disadari bahwa sengketa dalam perbankan syariah umumnya berakar dari perbedaan pemahaman terhadap akad-akad syariah yang digunakan. Akad murabahah, musyarakah, mudharabah, ijarah, dan lainnya, kerap kali tidak dipahami secara utuh oleh nasabah maupun sebagian pengelola bank sendiri. 

Ketika terjadi wanprestasi atau ketidaksesuaian pelaksanaan akad, sengketa pun sulit dihindari. Hal ini diperparah oleh masih terbatasnya literasi ekonomi syariah, bahkan di kalangan praktisi hukum sendiri.

Di sisi lain, perbankan konvensional tampaknya memiliki strategi penyelesaian sengketa yang berbeda. 

Dalam banyak kasus, bank konvensional lebih memilih jalur non-litigasi seperti negosiasi internal, mediasi, atau arbitrase. Hal ini menjadikan sengketa jarang berakhir di pengadilan. 

Budaya penyelesaian internal yang kuat ini tidak sepenuhnya berkembang dalam sistem perbankan syariah, yang justru lebih terbuka untuk membawa sengketa ke pengadilan. 

Memang belum terdata secara statistik perbandingan antara sengketa perbankan konvensional di Peradilan Umum dengan sengkata perbankan syari’ah di Peradilan Agama, akan tetapi secara empiris, dapat kita saksikan bahwa Pengadilan Agama di banyak titik lebih sering memeriksa sengketa perbankan dibanding Pengadilan Negeri terhadap kasus-kasus perbankan konvensional.

Pada awal-awal ketika kewenangan menangani sengketa ekonomi syariah, para pelaku perbankan tampaknya ‘sering kecewa’ saat kasus sengketa perbankan syariah masuk ke Pengadilan Agama. 

Pihak perbankan sering kalah saat harus ‘beradu argumen’ dengan nasabah. Ada suara sumbang menyikapi fenomena itu. Suara itu kurang lebih: Jika hal ini terus berlangsung, akibat sering kalah di pengadilan, maka prospek perbankan syari’ah akan suram. 

Usut punya usut, ternyata akar masalah utamanya karena cara pandang para hakim terhadap bank syariah. Setidaknya, hal ini pernah dikemukakan oleh Dr.H. Rum Nessa, S.H.,M.H. (KPTA Surabaya) saat memberikan pembinaan para Hakim Agama dalam suatu acara. 

Menurutnya, para hakim (waktu itu) tampaknya belum mampu melihat kasus perbankan syariah secara simultan. Hakim lupa bahwa di atas semuanya, kegiatan perbankan syariah tetaplah sebuah kegiatan bisnis. 

Aspek bisnis inilah yang konon belum banyak dikuasai oleh para hakim agama yang nota bene karena basis keilmuannya, memang kurang menguasai hukum bisnis (Islam).

Fenomena banyaknya perkara perbankan syariah di Pengadilan Agama dapat diartikan bahwa masyarakat muslim memiliki kepercayaan yang cukup tinggi terhadap lembaga ini dalam menegakkan keadilan berbasis nilai-nilai Islam. 

Namun, kepercayaan ini harus dibarengi dengan kesiapan para hakim dalam menguasai fikih muamalah dan instrumen keuangan syariah modern, agar putusan yang dihasilkan tidak hanya adil secara hukum positif, tetapi juga mencerminkan maqashid syariah.

Pertanyaannya kemudian: apakah banyaknya sengketa di sektor syariah menandakan kelemahan sistemnya? Tidak selalu. Bisa jadi ini justru bukti bahwa sistem syariah lebih transparan dan terbuka terhadap proses hukum.

Namun hal ini, tetap menjadi pengingat bahwa sistem keuangan syariah tidak cukup hanya berlabel ‘syariah’, tapi harus dibangun di atas pondasi edukasi, profesionalisme, dan etika muamalah yang kokoh. 

Perbankan syariah adalah amanah besar umat Islam. Jika ingin benar-benar menjadi alternatif yang unggul, maka setiap elemen dalam sistemnya—dari akad hingga penyelesaian sengketa—harus sesuai dengan nilai keadilan yang dijunjung tinggi dalam syariah Islam.

Ke depan perbankan Islam harus benar-benar menjadi representasi ajaran Islam yang “rahmatan lil ‘alamin”. 

Dalam konteks ini, penerimaan nasabah seharusnya tidak lagi didasarkan pada keberpihakan berbasis sekat-sekat primordial, melainkan murni pada pertimbangan nilai ekonomi dan kemanfaatan. 

Dengan demikian, orang memilih menjadi nasabah bank syariah bukan semata-mata karena identitas keislaman, tetapi karena bank tersebut menawarkan manfaat ekonomi yang nyata dan kompetitif. Para hakim Peradilan Agama ikut punya tanggung jawab moral membuktikannya.