Peran Peradilan Agama dalam Sengketa Ekonomi Syariah

Dengan memperhatikan dinamika ekonomi syariah dan kompleksitas transaksionalnya, penyelesaian sengketa ekonomi syariah mensyaratkan kerangka hukum yang bersifat komprehensif dan integratif
ilustrasi hukum ekonomi syariah. Foto fasya.uinsaizu.ac.id/
ilustrasi hukum ekonomi syariah. Foto fasya.uinsaizu.ac.id/

Dinamika Ekonomi Syariah dan Sengketa Transaksional

Dalam konteks kontemporer, praktik ekonomi syariah mengalami perkembangan yang signifikan. Secara empiris, perkembangan tersebut termanifestasi melalui kemunculan berbagai institusi keuangan yang mengusung label "syariah" sebagai bentuk afirmasi identitas dalam menerapkan produk serta transaksi yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam. 

Gagasan pendirian bank syariah pertama kali muncul pada dekade 1970-an. Di Indonesia, inisiasi kelembagaan perbankan syariah secara formal dimulai dengan penandatanganan akta pendirian Bank Muamalat pada 1 November 1991, yang kemudian secara resmi memulai operasionalnya pada 1 Mei 1992.

Seiring dengan perjalanan waktu, perkembangan lembaga keuangan syariah mengalami pertumbuhan yang signifikan, diikuti dengan diversifikasi instrumen transaksi yang semakin beragam. Namun, dalam pelaksanaan transaksi-transaksi tersebut, tidak jarang timbul sengketa sebagai konsekuensi dari dinamika operasional yang kompleks. 

Secara yuridis, munculnya sengketa dalam transaksi syariah dapat bersumber pada beberapa faktor kausatif. Pertama, adanya disharmoni antara implementasi operasional dengan prosedur birokratif yang tidak termuat secara eksplisit dalam klausula akad. Kedua, timbulnya keberatan terkait inefisiensi dalam mekanisme pelaksanaan transaksi (Ansori, 2007:158). Lebih lanjut, sengketa dapat pula bersumber pada tindakan wanprestasi (default in obligation) atau pelanggaran janji (breach of promise) yang dilakukan oleh salah satu atau seluruh pihak yang terikat dalam perikatan. 

Litigasi dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam Ekonomi Syariah

Dalam konteks penyelesaian sengketa yang muncul, terdapat dua mekanisme penyelesaian yang secara yuridis dapat ditempuh, yaitu melalui jalur litigasi dan nonlitigasi. Secara substantif, penyelesaian secara litigasi mengacu pada proses peradilan formal melalui lembaga peradilan yang berwenang, sementara penyelesaian non-litigasi merujuk pada alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan (alternative dispute resolution). 

Dalam konteks penyelesaian sengketa nonlitigasi, mekanisme yang lazim digunakan dalam praktik hukum mencakup negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan arbitrase. Secara yuridis, arbitrase memperoleh legitimasi melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang memberikan kewenangan kepada lembaga arbitrase untuk menyelesaikan sengketa perdata berdasarkan kesepakatan tertulis para pihak (pacta de compromittendo).

Secara normatif, yurisdiksi arbitrase meliputi sengketa perdagangan dan hak-hak yang dapat diadili (justiciable rights). Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang tersebut juga mengakui berbagai bentuk alternatif penyelesaian sengketa lainnya, seperti konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian oleh ahli. 

Dalam konteks penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi, pasca pengundangan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, kewenangan institusional untuk menangani perkara ekonomi syariah berada dalam lingkup kompetensi absolut Peradilan Agama.

Konfigurasi yuridis ini, merupakan konsekuensi logis mengingat Peradilan Agama secara substantif merupakan forum peradilan khusus (specialis rechtspraak) yang jurisdiksinya berlaku bagi subjek hukum beragama Islam, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Secara yuridis normatif, keberlakuan pengaturan tersebut mencerminkan bentuk hukum yang ideal (good law), karena memiliki validitas yuridis serta mampu menjamin kepastian hukum. Dalam kerangka teori penegakan hukum ala Friedman, aspek kultural-khususnya peran aktor hukum (human agency)-memegang peranan penting dalam aktualisasi keadilan.

Asimilasi mekanisme penyelesaian sengketa perbankan syariah ke dalam sistem konvensional, berpotensi menimbulkan disharmoni hukum, mengingat yurisdiksi absolut atas sengketa tersebut berada pada Peradilan Agama yang memiliki kerangka nilai dan asas tersendiri. Implementasi hukum yang tidak adaptif terhadap karakteristik sosial masyarakat dapat menimbulkan ketegangan antara norma sistemik dan living law.

Oleh karena itu, penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui peradilan agama memenuhi pendekatan hukum integratif yang meliputi dimensi yuridis, sosiologis, dan antropologis. 

Kerangka Regulasi Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah

Sebagai implementasi strategis dalam membangun sistem penyelesaian sengketa yang akuntabel dan berorientasi pada prinsip kepastian hukum, mekanisme penyelesaian sengketa di lingkungan peradilan agama didasarkan pada seperangkat regulasi hukum ekonomi syariah. Regulasi dimaksud meliputi: (1) Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES); (2) Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah; serta (3) berbagai peraturan perundang-undangan sektoral yang mengatur perbankan syariah dan aspek-aspek terkait.

Lebih lanjut, kerangka hukum tersebut diperkuat oleh instrumen pendukung seperti regulasi di bawah Bank Indonesia, undang-undang sektoral mengenai zakat, infaq, sedekah, dan wakaf (ZISWAF), fidusia, pasar modal, pertanahan, serta fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Hingga saat ini, DSN-MUI telah menerbitkan kurang lebih 160 fatwa yang menjadi rujukan hukum dalam aktivitas ekonomi syariah.

Asas al-Muwāzanah dan Keadilan Kontraktual dalam Hukum Ekonomi Syariah

Salah satu prinsip fundamental dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah di lingkungan peradilan agama adalah prinsip keseimbangan (al-muwāzanah). Dalam konstruksi epistemologi ekonomi syariah, konsep keseimbangan ini bersifat multidimensional, mencakup bukan hanya harmonisasi antara dimensi duniawi dan ukhrawi, melainkan juga keseimbangan antara kepentingan individual dan kepentingan kolektif (Abu Saud, 1996:31).

Secara yuridis, dalam konteks hukum perjanjian, asas keseimbangan meniscayakan adanya equilibrium dalam relasi hukum antarpara pihak, dimana harus tercipta: (1) kesetaraan kedudukan hukum (legal equality); (2) tidak adanya dominasi salah satu pihak; dan (3) keseimbangan daya tawar (bargaining power) baik dalam hal kedudukan, kepentingan, maupun hak dan kewajiban para pihak. Dalam konstruksi kontraktual, prinsip ini menjamin sinkronisasi antara kepentingan privat dan kepentingan publik melalui mekanisme hukum objektif.

Secara filosofis, asas keseimbangan bertujuan untuk mewujudkan keadaan equilibrium dalam hubungan hukum. Adanya ketidakseimbangan dalam kontrak tidak hanya bersifat deskriptif semata, melainkan memiliki implikasi yuridis terhadap validitas dan kekuatan mengikat (binding force) perjanjian tersebut. Secara kausal, ketidakseimbangan dalam kontrak dapat bersumber pada: (1) perilaku para pihak (subjective element); atau (2) substansi klausul kontrak atau implementasinya (objective element) (Subekti, 2010:34).

Dalam kerangka hukum perjanjian, prinsip kesetaraan kedudukan para pihak (equality of contracting parties) merupakan prasyarat mendasar untuk menjamin terwujudnya keadilan substantif. Asas keseimbangan dalam kontrak memiliki sifat imperatif guna memastikan keadilan kontraktual (contractual justice) secara menyeluruh.

Secara normatif, hukum mengedepankan asumsi kesetaraan posisi hukum antarpihak (presumption of equality) yang seharusnya mewujudkan kontrak yang adil dan seimbang. Namun secara empiris, masih banyak ditemukan praktik kontrak standar dengan klausula sepihak (one-sided clauses) yang mencederai prinsip keadilan kontraktual.

Prinsip kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law) merupakan salah satu pilar fundamental dalam syariat Islam, baik dalam ranah ibadah maupun muamalah. Secara normatif, prinsip ini memperoleh legitimasi teologis dalam Al-Qur’an surah An-Nisa' ayat 58 yang secara eksplisit memerintahkan:

"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil".

Dalam perspektif Sistem Ekonomi Syariah, implementasi prinsip keadilan (al-'adalah) dan keseimbangan (at-tawazun) bersifat imperatif bagi seluruh pelaku ekonomi. Kedua prinsip ini memperoleh penekanan berulang dalam berbagai ayat Al-Qur'an, mengingat keduanya merupakan prasyarat fundamental bagi terwujudnya kesejahteraan masyarakat (maslahah 'ammah).

Aplikasi keadilan dan keseimbangan harus terwujud secara konkret dalam relasi ekonomi antar anggota masyarakat, tidak hanya pada level normatif-teoritis tetapi juga pada level implementatif-praktis. Hal ini tercermin dalam mekanisme penyelesaian sengketa ekonomi, dimana prinsip-prinsip tersebut harus menjadi paradigma dasar dalam menyelesaikan pertikaian antara pihak-pihak yang terlibat dalam hubungan ekonomi (Norcholis, 2021:26).

Dengan memperhatikan dinamika ekonomi syariah dan kompleksitas transaksionalnya, penyelesaian sengketa ekonomi syariah mensyaratkan kerangka hukum yang bersifat komprehensif dan integratif. Peradilan agama, sebagai lembaga yang memiliki kompetensi absolut, memainkan peran strategis dalam menjamin kepastian dan perlindungan hukum.

Sinergi antara regulasi positif, fatwa syar‘iyah, serta asas keadilan dan keseimbangan menjadi fondasi dalam mewujudkan keadilan substantif yang sejalan dengan maqāṣid al-syarī‘ah (tujuan-tujuan syariat). Dalam konteks ini, penguatan kelembagaan, peningkatan kapasitas sumber daya hukum, serta adaptasi regulatif menjadi prasyarat normatif guna membangun sistem peradilan yang responsif, berkeadilan, dan berorientasi pada kemaslahatan.

Penulis: Rifqi Qowiyul Iman
Editor: Tim MariNews