KHES: Dari Vakum Hukum ke Legitimasi Yudisial dalam Ekonomi Syariah Indonesia

Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) telah memainkan peran strategis sebagai instrumen transformatif yang menjembatani norma hukum Islam dengan sistem hukum nasional.
ilustrasi hukum ekonomi syariah. Foto fasya.uinsaizu.ac.id/
ilustrasi hukum ekonomi syariah. Foto fasya.uinsaizu.ac.id/

Latar Sejarah dan Lahirnya KHES

Pengesahan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) pada 2008 menandai sebuah milestone historis dalam perkembangan hukum Islam di Indonesia, khususnya dalam ranah ekonomi syariah.

Amandemen Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 telah memperluas kewenangan peradilan agama untuk mengadili perkara ekonomi syariah sebagaimana diatur dalam Pasal 49. Namun demikian, saat itu terjadi vakum hukum yang signifikan karena belum tersedia instrumen hukum materiil maupun formil yang secara khusus mengatur mekanisme penyelesaian sengketa ekonomi syariah, padahal kebutuhan akan pedoman hukum bagi para hakim bersifat imperatif.

Menanggapi kekosongan hukum dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah pasca perluasan kewenangan peradilan agama melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia saat itu, Prof. Dr. Bagir Manan, mengambil langkah strategis dengan membentuk Tim Penyusun Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor KMA/097/SK/X/2006 tanggal 20 Oktober 2006.

Tim tersebut diketuai oleh Prof. Dr. H. Abdul Manan, S.H., S.IP., M.Hum., dan diberikan mandat untuk menghimpun dan mengolah bahan hukum, menyusun draf KHES, serta mengkaji substansi melalui diskusi, seminar, dan konsultasi dengan para ulama, akademisi, dan pakar ekonomi syariah (Sa’diyah, dkk, 2021: 104).

Proses formulasi KHES berlangsung selama tiga tahun (2006-2008) melalui pendekatan akademik yang komprehensif dan studi komparatif ke beberapa yurisdiksi, seperti Malaysia, Pakistan, dan Inggris, guna memperkaya perspektif normatif dan sistemik. Hasil penyusunan tersebut kemudian disahkan melalui Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2008 sebagai pedoman hukum resmi dalam penyelesaian perkara ekonomi syariah di lingkungan peradilan agama.

Kolaborasi Multisektor dan Basis Referensi KHES\

Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) merupakan produk hukum yang terbentuk melalui sinergi tripartit antara institusi peradilan (yakni para Hakim Agung di lingkungan peradilan agama), kalangan akademisi (pakar hukum Islam dari IAIN dan perguruan tinggi Islam terkemuka), serta praktisi industri (pelaku sektor keuangan syariah termasuk perwakilan dari Bank Indonesia dan industri perbankan syariah).

Selain itu, proses penyusunan KHES juga melibatkan sejumlah komponen strategis lainnya seperti para ulama dan ahli fiqih muamalah, pemerhati ekonomi syariah nasional, serta pakar regulasi perbankan syariah.

Dari aspek sumber hukum, KHES disusun dengan berpedoman pada tiga fondasi utama. Pertama, fatwa-fatwa DSN-MUI periode 2000--2002, khususnya tujuh fatwa pokok yang mengatur tentang pembiayaan musyarakah, akad ijarah, prinsip wakalah, mekanisme kafalah, transaksi hawalah, serta sistem asuransi syariah. Kedua, regulasi sektor keuangan yang terdiri dari Peraturan Bank Indonesia terkait perbankan syariah serta ketentuan dari Otoritas Jasa Keuangan. Ketiga, referensi historis berupa Majallah al-Ahkam al-‘Adliyah dari Kesultanan Utsmaniyah yang menjadi model kodifikasi hukum Islam modern pada abad ke-19 (NI Elhas, 2020: 64).

KHES: Legitimasi & Fungsi dalam Hukum Nasional

Secara empiris, sejak diberlakukan pada 2008, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) telah berfungsi sebagai instrumentum yurisprudensial utama bagi para hakim peradilan agama dalam menyelesaikan perkara-perkara ekonomi syariah. Meskipun status normatifnya belum mencapai tingkat undang-undang, KHES memiliki legitimasi hukum yang kuat karena diberlakukan melalui Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2008.

Dasar hukum keberlakuan PERMA ini bertumpu pada Pasal 79 Undang-Undang Mahkamah Agung (UU No. 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2009) yang memberikan kewenangan konstitusional kepada Mahkamah Agung untuk mengatur hal-hal yang belum diatur secara komprehensif dalam peraturan perundang-undangan serta melakukan rechtvulling atau pengisian kekosongan hukum.

Selain itu, menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, PERMA secara eksplisit diakui sebagai bagian dari sistem hukum nasional dan termasuk dalam tata urutan peraturan perundang-undangan.

Secara konseptual, kedudukan KHES mencerminkan fungsi kreatif peradilan (judge made law) dalam membentuk norma hukum, sekaligus sebagai mekanisme pengisian lacuna legis dalam sistem hukum ekonomi syariah. Hal ini juga menunjukkan harmonisasi antara prinsip-prinsip hukum Islam dengan sistem peradilan nasional serta responsivitas lembaga peradilan terhadap kebutuhan praktik hukum.

Dengan demikian, meskipun KHES belum memiliki status legislatif setingkat undang-undang, keberadaannya telah memenuhi kriteria sebagai sumber hukum formal dalam sistem peradilan agama, pedoman normatif yang mengikat secara fungsional, serta instrumen hukum yang sah dalam kerangka hierarki peraturan perundang-undangan. Keberadaan KHES sekaligus menegaskan dinamika perkembangan hukum Islam di Indonesia yang mampu beradaptasi secara progresif melalui mekanisme yudisial dalam sistem hukum nasional.

Secara operasional, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) berfungsi sebagai sumber hukum komplementer dalam praktik peradilan agama, yang secara paralel dirujuk bersama berbagai instrumen hukum lainnya dalam membentuk sistem referensi hukum yang holistik.

Dalam konstruksi yurisprudensial, KHES menempati posisi yang setara dan saling melengkapi dengan KUHPerdata (melalui asas lex specialis derogat legi generali), undang-undang sektoral (seperti UU Perbankan Syariah dan UU Perlindungan Konsumen), fatwa DSN-MUI sebagai soft law, regulasi teknis Bank Indonesia dan OJK sebagai lex technica, serta yurisprudensi sebagai preseden normatif.

Evaluasi 17 Tahun KHES: Problematika dan Tantangan

Setelah hampir dua dekade implementasi, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) menghadapi sejumlah tantangan strategis yang bersifat kritis dan multidimensional. Pertama, keterbatasan cakupan normatif yang belum sepenuhnya mengakomodasi perkembangan ekonomi syariah modern, instrumen keuangan kontemporer, dan model bisnis digital. Kedua, menurunnya relevansi substansi hukum akibat ketidaksesuaian dengan dinamika industri serta keterlambatan merespons inovasi.

Ketiga, hambatan harmonisasi hukum berupa regulatory overlap (tumpang tindih pengaturan antarregulasi), normative inconsistency (ketidaksesuaian norma antarperaturan), dan asynchrony (ketidaksejajaran temporal dan substansial) dengan regulasi sektoral dan sistem hukum nasional yang lebih adaptif. Keempat, lemahnya implementasi dan sosialisasi KHES, ditandai dengan diseminasi terbatas, edukasi hukum yang tidak merata, serta minimnya internalisasi nilai-nilai KHES di kalangan aparat peradilan dan pelaku industri syariah (Hasan, 2018).

Tantangan tersebut menegaskan urgensi reformulasi substansi KHES, harmonisasi dengan regulasi nasional, penguatan kapasitas pemangku kepentingan, serta pengembangan strategi sosialisasi hukum yang adaptif. Secara konseptual, hal ini mencerminkan adanya gap normatif, percepatan dinamika ekonomi yang melampaui respons legislasi, serta kompleksitas integrasi hukum Islam dalam sistem hukum nasional yang pluralistik dan modern.

Arah Strategis Pengembangan KHES: Antara Reformulasi dan Legislasi Sektoral

Dalam pengembangan hukum ekonomi syariah, terdapat tiga opsi strategis untuk masa depan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES): (1) mempertahankan status quo normatif, (2) mereformulasi substansi secara komprehensif, dan (3) melakukan positivisasi legislatif melalui pengesahan KHES dalam Prolegnas. Namun, kodifikasi KHES sebagai lex generalis dinilai kurang realistis karena kompleksitas legislasi, percepatan dinamika ekonomi syariah, dan kebutuhan regulasi sektoral yang beragam.

Sebagai alternatif, pendekatan lex specialis melalui legislasi sektoral dipandang lebih efektif. Strategi ini telah terbukti melalui keberhasilan regulasi seperti UU Perbankan Syariah dan UU SBSN. Secara yuridis, pendekatan ini mempercepat proses legislasi, mempermudah konsensus politik, dan memberikan kepastian hukum sektoral yang lebih konkret. Dari sisi teknis dan sistemik, ia memungkinkan pengaturan yang lebih fleksibel dan responsif terhadap perkembangan sektoral, sekaligus memperkuat spesialisasi hukum ekonomi syariah secara bertahap dan berkelanjutan (Hasan, 2018).

Quo Vadis KHES? Menakar Arah Pembaruan dalam Sistem Hukum Nasional

Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) telah memainkan peran strategis sebagai instrumen transformatif yang menjembatani norma hukum Islam dengan sistem hukum nasional. Selama 17 tahun keberlakuannya, KHES telah berfungsi sebagai mekanisme adaptif dalam merespons kebutuhan integrasi syariah dalam praktik ekonomi.

Namun, seiring perkembangan hukum kontemporer, muncul kebutuhan untuk mengevaluasi tiga aspek mendasar: daya jangkau normatif, kesesuaian regulasi, dan efektivitas implementasi. Ketiganya mencerminkan adanya kesenjangan antara norma yang tersedia dan kompleksitas praktik ekonomi syariah mutakhir.

Quo Vadis KHES? Pertanyaan ini menuntut jawaban berbasis analisis yuridis dan kebijakan legislatif yang komprehensif. Apakah KHES dipertahankan dalam bentuk status quo, direformulasi secara substansial, atau ditransformasikan menjadi legislasi formal melalui positivisasi? Jawaban terhadap pertanyaan tersebut mensyaratkan kajian komparatif, evaluasi empiris, serta proyeksi kebutuhan sistem hukum nasional yang terus berkembang.
 

Penulis: Rifqi Qowiyul Iman
Editor: Tim MariNews