KHES: Epistemologi Modernisasi Hukum Islam dalam Bingkai Negara Hukum

Sebagai living law, KHES mampu memenuhi tuntutan kepastian hukum, kemanfaatan praktis, dan relevansi zaman dalam pembangunan hukum ekonomi Indonesia.
Ilustrasi hukum ekonomi syariah. Foto indonesialegalnetwork.co.id/
Ilustrasi hukum ekonomi syariah. Foto indonesialegalnetwork.co.id/

Modernisasi Hukum Islam: Pendekatan Epistemologis dan Tantangan Integratif

Modernisasi hukum Islam menempati posisi strategis sebagai suatu keharusan (necessity) dalam kerangka pembaruan sistem hukum nasional Indonesia. Dalam konteks negara dengan komposisi demografis mayoritas Muslim, Indonesia dihadapkan pada tantangan multidimensional yang bersifat konstitusional dan sosiologis dalam proses integrasi prinsip-prinsip syariah ke dalam sistem hukum nasional yang bersifat pluralistik.

Proses modernisasi ini tidak dapat direduksi sekadar sebagai transformasi pada tataran normatif semata, melainkan harus mencakup pula dimensi institusional dan metodologis. Hal ini penting untuk menjamin efektivitas penerimaan dan implementasi hukum Islam dalam kerangka hukum positif yang konstitusional.

Secara teoritis, konstruksi konseptual yang dikembangkan melalui wacana islamisasi ilmu pengetahuan (islamization of knowledge) oleh Institute of Islamic International Thought (1997), serta elaborasi pemikiran Kuntowijoyo (1991) mengenai imperatif operasionalisasi wahyu ke dalam formulasi empiris, memberikan landasan epistemologis yang signifikan bagi proses modernisasi ini.

Kuntowijoyo secara khusus menekankan urgensi reinterpretasi doktrin Islam melalui pendekatan yang lebih objektif, historis, dan normatif. Pendekatan ini dianggap esensial dalam merespons kompleksitas realitas sosial masyarakat modern, sekaligus memastikan relevansi hukum Islam dalam konteks kekinian.

Dalam perspektif ini, modernisasi hukum Islam harus dipahami sebagai proses dinamis yang melibatkan: (1) rekonstruksi epistemologis; (2) reformulasi metodologis; dan (3) reintegrasi institusional dalam sistem hukum nasional yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Eklektisisme Hukum dan Evolusi Transformasi Hukum Islam dalam Sistem Nasional

Sistem hukum nasional Indonesia terbentuk melalui suatu proses sintesis dinamis yang mengakomodasi tiga tradisi hukum utama, yakni: (1) hukum adat sebagai sistem hukum indigenous; (2) hukum Barat (Eropa Kontinental) sebagai warisan kolonial; dan (3) hukum Islam sebagai sistem hukum normatif-religius.

Dalam kerangka teoritis eklektisisme hukum yang dikembangkan oleh A. Qodri Azizy (2004), konstruksi hukum nasional Indonesia merupakan produk dari dialektika dan interaksi dinamis antara ketiga tradisi hukum tersebut melalui mekanisme kompetisi dan sintesis hukum. Azizy menegaskan bahwa hukum Islam menempati posisi strategis dan signifikan dalam pembentukan karakteristik hukum nasional, dengan catatan mampu melakukan rekonstruksi epistemologis melalui pendekatan normatif yang bersifat dialogis dan adaptif terhadap tantangan kontemporer.

Proses transformasi hukum Islam dalam sistem hukum nasional berlangsung melalui suatu mekanisme evolusioner yang meliputi tahapan-tahapan substantif: tahap fikih sebagai produk ijtihad ulama klasik yang bersifat doktrinal; tahap fatwa sebagai transformasi menjadi norma yang diformulasikan oleh otoritas keagamaan; tahap qadha sebagai institusionalisasi melalui putusan-putusan yudisial; dan tahap qanun sebagai positivisasi menjadi peraturan formal yang mengikat.

KHES dan Transformasi Final Hukum Islam dalam Sistem Nasional

Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) merepresentasikan manifestasi konkret dari proses transformasi tersebut, sekaligus menjadi bukti empirik dari kapasitas hukum Islam untuk beradaptasi dalam sistem hukum nasional Indonesia yang pluralistik. Keberadaan KHES tidak hanya menegaskan eksistensi hukum Islam dalam tata hukum nasional, tetapi juga menunjukkan dinamika internal hukum Islam dalam merespons kebutuhan hukum masyarakat modern.

Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) secara substantif merupakan produk kodifikasi hukum ekonomi Islam yang bersumber dari dua landasan utama: (1) corpus fikih muamalah klasik dan (2) fatwa-fatwa syariah kontemporer yang dikeluarkan oleh otoritas yang kompeten. Keberadaannya muncul sebagai respons terhadap kebutuhan sistemik akan instrumen hukum yang komprehensif dalam mengatur berbagai aspek ekonomi syariah di Indonesia, mencakup tetapi tidak terbatas pada: perbankan syariah, asuransi syariah, pegadaian syariah, pasar modal syariah, serta lembaga keuangan mikro syariah.

Secara yurisprudensi, KHES telah memperoleh pengakuan praktis (practical recognition) di lingkungan peradilan agama, dimana para hakim secara konsisten menggunakan kompilasi ini sebagai referensi utama dalam memutus perkara-perkara ekonomi syariah. Namun demikian, dari perspektif hierarki peraturan perundang-undangan, KHES masih memiliki keterbatasan normatif karena belum terlegitimasi sebagai produk legislasi formal yang memiliki kekuatan mengikat (legally binding).

Dalam konteks ini, proses legislasi KHES menjadi suatu keniscayaan hukum (legal necessity) yang didasarkan pada tiga pertimbangan pokok: pertama, aspek kepastian hukum (legal certainty), dimana legislasi akan memberikan dasar hukum yang jelas dan sistematis; kedua, aspek legitimasi normatif (normative legitimacy), yang akan memperkuat posisi hukum ekonomi syariah dalam sistem hukum nasional; ketiga, aspek daya laku regulatif (regulatory enforceability), yang menjamin efektivitas implementasi aturan-aturan ekonomi syariah.
KHES dan Harmonisasi Hukum Perikatan Syariah di Indonesia

Dalam konstruksi sistem hukum perikatan Indonesia, KHES memiliki kedudukan sebagai hukum pelengkap (aanvullend recht) yang berfungsi menyempurnakan ketentuan umum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Meskipun KUHPerdata menganut asas pacta sunt servanda sebagai prinsip fundamental dalam hukum perjanjian, karakteristik khusus perjanjian syariah yang bersumber pada nilai-nilai normatif Islam tidak sepenuhnya dapat diakomodasi oleh asas-asas hukum Barat yang bersifat sekuler.

Secara spesifik, terdapat disparitas mendasar antara sistem hukum konvensional dengan hukum Islam dalam menilai validitas suatu akad. Beberapa elemen fundamental dalam hukum Islam seperti larangan terhadap gharar (ketidakpastian yang berlebihan), maisir (unsur judi), dan riba (bunga yang bersifat eksploitatif), menyebabkan suatu akad yang secara formil sah menurut KUHPerdata dapat dinyatakan batal demi hukum (null and void) dalam perspektif hukum Islam. Ketidaksesuaian paradigmatik ini menciptakan lacuna hukum yang hanya dapat diatasi melalui legislasi KHES sebagai instrumen hukum positif.

Oleh karena itu, positivisasi KHES menjadi kebutuhan mendesak untuk memberikan dasar hukum yang eksplisit bagi transaksi ekonomi syariah, menciptakan keselarasan normatif antara sistem hukum Islam dan sistem hukum nasional, menjamin kepastian hukum (legal certainty) dalam praktik perjanjian syariah, serta melindungi hak-hak para pihak yang terlibat dalam transaksi ekonomi Islami. Legislasi KHES akan mentransformasikan norma-norma fikih muamalah dari sekadar hukum pelengkap menjadi hukum positif yang mengikat (binding law) dalam sistem hukum nasional Indonesia.

Legislasi KHES: Integrasi Strategis antara Transformasi Hukum dan Penguatan SDI

Menurut Jaih Mubarak (2018), transformasi Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) menjadi legislasi formal memerlukan langkah strategis yang meliputi: (1) identifikasi inisiator legislasi, seperti MUI, HISSI, IAEI, Badan Peradilan Agama MA, atau Kementerian Agama; (2) penyusunan naskah akademik yang memuat analisis lacuna legis dan justifikasi normatif; (3) penetapan jalur legislasi, baik melalui DPR maupun pemerintah; serta (4) pembentukan tim advokasi dan monitoring lintas pemangku kepentingan.

Secara epistemologis, legislasi KHES sebagai pendekatan vertikal perlu dilengkapi dengan pendekatan horizontal yang berfokus pada penguatan Sumber Daya Insani (SDI) syariah. Tanpa peningkatan kompetensi hakim, advokat, akademisi, dan regulator, efektivitas implementasi KHES akan menurun. Untuk itu, DSN-MUI telah merancang kerangka pembelajaran hukum muamalah kontemporer, meliputi prinsip akad syariah, teori multi akad, dan klasifikasi transaksi. Internalisasi materi ini dilakukan melalui integrasi kurikulum, pelatihan berkelanjutan, dan sosialisasi regulatif (Jaih Mubarak, 2018:13).

Pendekatan komprehensif ini menegaskan bahwa keberhasilan transformasi hukum Islam ke dalam sistem hukum nasional tidak hanya bergantung pada aspek formal-legislatif, tetapi juga memerlukan pembangunan kapasitas (capacity building) secara simultan di tingkat praktisi dan akademisi.

KHES dan Harmonisasi Prinsip Islam dalam Negara Hukum

Dalam sistem hukum nasional yang pluralistik, legislasi Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) perlu dilakukan melalui pendekatan harmonisasi hukum yang tidak sekadar bersifat formal, tetapi juga sebagai konkretisasi prinsip Islam dalam kerangka rechtsstaat. Landasan konstitusionalnya terdapat dalam Pasal 29 Ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan dasar Ketuhanan, membuka ruang normatif bagi inkorporasi hukum Islam.

Legislasi KHES merupakan langkah strategis modernisasi hukum Islam yang menjawab lacuna legis dalam praktik ekonomi syariah serta mengintegrasikan fikih muamalah ke dalam hukum positif. Dengan memperkuat aspek regulasi, kelembagaan, dan SDI, KHES berpotensi menjadi grundnorm hukum ekonomi syariah yang sah secara yuridis, adil secara substantif, dan konstitusional secara filosofis.

Transformasi ini, membawa KHES dari ranah normatif ke posisi operasional dalam struktur hukum nasional. Ia mencerminkan ijtihad kolektif, respons atas dinamika kontemporer, dan keseimbangan antara nilai ilahiyah dan kebutuhan masyarakat modern. Sebagai living law, KHES mampu memenuhi tuntutan kepastian hukum, kemanfaatan praktis, dan relevansi zaman dalam pembangunan hukum ekonomi Indonesia.
 

Penulis: Rifqi Qowiyul Iman
Editor: Tim MariNews