PERMA Nomor 2 Tahun 2025: Langkah Nyata Menuju Keadilan Inklusif

Selama ini, penyandang disabilitas masih menghadapi berbagai hambatan ketika berhadapan dengan hukum;
Gedung Mahkamah Agung. Foto dokumentasi Humas MA
Gedung Mahkamah Agung. Foto dokumentasi Humas MA

Paradigma peradilan yang inklusif dan humanis, tentunya tidak semata-mata hanya diukur dari kebenaran putusan yang dihasilkan, tetapi juga dari kemampuan sistem peradilan untuk menjamin setiap individu dapat memperoleh kesempatan yang setara dalam mengakses dan menjalani proses hukum. 

Selama ini, penyandang disabilitas masih menghadapi berbagai hambatan ketika berhadapan dengan hukum; mulai dari keterbatasan fasilitas fisik di pengadilan, kurangnya pendamping hukum yang memahami kebutuhan mereka, hingga belum adanya standarisasi akomodasi yang layak.

Dalam konteks inilah, lahirnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2025 tentang Pedoman Mengadili Perkara bagi Penyandang Disabilitas Berhadapan dengan Hukum di Pengadilan, menjadi tonggak penting dalam perjalanan sistem peradilan modern di Indonesia menuju keadilan yang benar-benar inklusif.

Latar Belakang Keadilan Inklusif

Penyandang disabilitas sering kali tidak mendapatkan perlakuan yang setara dalam proses hukum. 

Beberapa kasus menunjukkan, mereka kesulitan memahami jalannya persidangan, tidak mendapat penerjemah bahasa isyarat, atau bahkan tidak dapat mengakses ruang sidang dengan kursi roda. 

Hal-hal ini menimbulkan kesenjangan antara prinsip “semua orang sama di hadapan hukum” dengan realitas di lapangan.

Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2025 hadir sebagai bentuk implementasi dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Hal ini, sekaligus memperkuat komitmen Indonesia terhadap prinsip access to justice for all. 

Melalui regulasi ini, Mahkamah Agung menegaskan, keadilan tidak boleh hanya diukur dari hasil putusan, tetapi juga dari sejauh mana prosesnya dapat diakses dan dipahami oleh setiap warga negara, termasuk mereka yang memiliki keterbatasan fisik, sensorik, intelektual, maupun mental.

Isi Pokok dan Prinsip Pengaturan

Peraturan ini memberikan landasan yang tegas, jelas dan terstruktur bagi seluruh pihak yang terlibat dalam proses peradilan termasuk hakim, panitera, aparatur pengadilan, advokat, dan pihak terkait lainnya dalam menangani perkara yang melibatkan penyandang disabilitas. 

Substansi pengaturannya mencakup sejumlah aspek penting, antara lain:

  1. Hak penyandang disabilitas untuk memperoleh akomodasi yang layak, seperti penerjemah bahasa isyarat, pendamping psikologis, dan fasilitas aksesibilitas di lingkungan pengadilan.
  2. Kewajiban pengadilan untuk memastikan komunikasi yang efektif, termasuk penggunaan media atau teknologi bantu.
  3. Prinsip non-diskriminasi dan perlakuan yang setara dalam setiap tahap pemeriksaan perkara.

Kewajiban bagi hakim untuk mempertimbangkan kondisi dan kebutuhan khusus penyandang disabilitas dalam proses persidangan.

Dengan pedoman ini, Mahkamah Agung tidak hanya mengatur teknis peradilan, tetapi juga menanamkan nilai-nilai kemanusiaan dan penghormatan terhadap martabat manusia dalam praktik hukum khususnya di lembaga peradilan.

Makna Strategis bagi Sistem Peradilan

Terbitnya PERMA ini memiliki arti strategis dalam reformasi peradilan. Hal ini menandai pergeseran paradigma dari sekadar menegakkan hukum (rule of law) menjadi menegakkan keadilan yang berkeadaban (justice with humanity).
 
Mahkamah Agung menunjukkan hukum harus mampu merangkul keragaman manusia dan menjamin bahwa setiap individu memiliki ruang yang sama di hadapan hukum.

Selain itu, kebijakan ini sejalan dengan komitmen global terhadap Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya poin 16 yang menekankan “Peace (Perdamaian), Justice (Keadilan), and Strong Institutions (Kelembagaan yang Kuat).”

Dengan menerapkan prinsip inklusivitas, pengadilan Indonesia turut memperkuat legitimasi moral dan sosialnya sebagai lembaga pelindung hak asasi setiap warga negara.

Tantangan Implementasi

Meski progresif, penerapan PERMA Nomor 2 Tahun 2025 tentu saja hadir bukan tanpa tantangan.

Pertama, masih terbatasnya pemahaman aparat peradilan terhadap isu-isu disabilitas. Diperlukan pelatihan berkelanjutan agar hakim dan petugas pengadilan mampu berinteraksi secara empatik dan profesional dengan penyandang disabilitas. 

Kedua, masih ada kendala sarana dan prasarana di banyak satuan kerja pengadilan, seperti aksesibilitas fisik dan teknologi pendukung. 

Ketiga, sinergi lintas lembaga menjadi kunci penting baik antara Mahkamah Agung, Kementerian Sosial, lembaga bantuan hukum, maupun organisasi masyarakat sipil.

Penutup

Keadilan sejati tidak boleh membedakan manusia berdasarkan kemampuan fisik atau kondisi mentalnya. 

Dengan terbitnya PERMA Nomor 2 Tahun 2025, Mahkamah Agung telah menegaskan komitmennya, pengadilan harus menjadi ruang yang ramah, setara, dan menghargai martabat setiap individu.

Namun, regulasi ini baru akan bermakna apabila diiringi dengan pelaksanaan yang konsisten dan penuh empati.

Keadilan inklusif bukan sekadar jargon hukum, melainkan cerminan dari kemanusiaan itu sendiri, karena pada hakikatnya, hukum ada untuk melindungi yang lemah bukan menyingkirkan mereka dari ruang keadilan.

Penulis: Al Fitri
Editor: Tim MariNews