Refleksi Nilai Sumpah Pemuda dan Aktualisasi 8 Nilai Utama Mahkamah Agung: Mempersatukan Kekuatan Integritas dan Nurani

Melalui Delapan Nilai Utama Mahkamah Agung, semangat Sumpah Pemuda kini menemukan wujud barunya.
Gedung Mahkamah Agung. Foto dokumentasi Humas MA
Gedung Mahkamah Agung. Foto dokumentasi Humas MA

Setiap kali tanggal 28 Oktober tiba, gema Sumpah Pemuda seolah membangunkan kembali kesadaran kita tentang arti persatuan dan ketulusan hati. Ikrar yang lahir pada tahun 1928 bukan sekadar tentang satu bahasa dan satu tanah air, tetapi juga tentang keberanian menjaga kehormatan diri dan bangsa. 

Kini, hampir satu abad berlalu, semangat itu masih hidup meski wujudnya telah berubah. Api perjuangan para pemuda dulu kini bersemayam di dada para aparatur peradilan. Mereka mungkin tak selalu disorot publik, tetapi memikul tanggung jawab besar untuk menjaga nurani keadilan bagi seluruh rakyat. 

Melalui Delapan Nilai Utama Mahkamah Agung, semangat Sumpah Pemuda kini menemukan wujud barunya. Kemandirian lahir dari hati yang merdeka, integritas tumbuh dari kejujuran, dan tanggung jawab muncul dari kesadaran serta disiplin yang terus diasah. 

Baik di ruang sidang yang hening maupun saat apel Senin pagi yang penuh makna, nilai-nilai itu tidak sekadar diucapkan, tetapi benar-benar dijalani lewat kerja tulus dan pengabdian tanpa pamrih.

8 Nilai Utama MA sebagai aspek Pengabdian

Dalam kehidupan warga peradilan, 8 nilai utama Mahkamah Agung tidak berhenti di dinding ruangan atau naskah kebijakan. Ia menjelma menjadi napas yang menuntun setiap langkah aparatur. 

Kemandirian menjadi perisai saat intervensi datang tanpa diundang. Integritas hadir sebagai cahaya yang menembus kegelapan godaan duniawi, sementara kejujuran menjadi cermin yang menjaga martabat lembaga. 

Di meja pelayanan PTSP, para ASN belajar bahwa keadilan bukan hanya soal putusan, tapi juga tentang bagaimana melayani dengan senyum, salam, dan sapa serta wajah penuh keramahan serta hati yang penuh kesabaran. 

Di kursi hakim, keadilan diuji bukan dengan kekuasaan, melainkan dengan memegang teguh kode etik hakim (KEPPH) sebagai kompas moralnya. Di sinilah nilai Sumpah Pemuda berpadu dengan pengabdian moder tidak lagi dalam pekikan perjuangan, melainkan dalam kerja sunyi yang dilakukan dengan cinta terhadap negeri dan keikhlasan yang mendalam.

Menghidupkan semangat Nurani Keadilan

Para pemuda 1928 bersumpah menyatukan bangsa, sementara generasi aparatur peradilan hari ini bersumpah menjaga 8 Nilai Utama MA di tengah gempuran zaman. Bung Karno pernah mengingatkan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya. 

Maka, bekerja dengan jujur dan menjaga integritas pada Lembaga Peradilan bukan sekadar kewajiban, tetapi bentuk penghormatan pada pengorbanan mereka yang telah mendahului. 

KH. Hasyim Asy’ari menegaskan bahwa “cinta tanah air adalah sebagian dari iman.” Maka bagi aparatur peradilan, bekerja dengan kejujuran dan adil adalah ibadah yang menegakkan iman di ruang publik. 

Filsuf Yunani Aristoteles pun pernah berkata, “Keadilan adalah kebajikan tertinggi dari seluruh kebajikan moral.” Pesan itu menegaskan bahwa hukum sejatinya tak boleh kehilangan sisi kemanusiaannya. 

Di era digital ini, ketika opini publik mudah mengguncang nurani, Delapan Nilai Utama Mahkamah Agung menjadi kompas moral yang menuntun setiap langkah. Dari palu hakim yang diketukkan dengan keyakinan hingga senyuman ramah dan sabar petugas di ruang Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), semuanya merupakan bagian dari ikhtiar menjaga marwah lembaga peradilan. 

Umar bin Khattab pernah mengingatkan, “Keadilan akan tegak selama hati para hakim tidak tergoda oleh dunia.” Dan mungkin, inilah makna sejati sumpah integritas bagi Aparat Peradilan dalam menjaga dan memepertahankan 8 Nilai Utama MA di tengah perubahan zaman.

Delapan Nilai Utama Mahkamah Agung Kompas Moral dan Spirit Pelayanan

Di tengah derasnya arus modernitas dan tekanan publik terhadap transparansi, aparatur peradilan membutuhkan arah yang tak mudah bergeser. Delapan Nilai Utama Mahkamah Agung hadir sebagai penunjuk arah, bukan sekadar dokumen normatif, melainkan pedoman hidup yang menumbuhkan jiwa kemanusiaan dalam setiap aparatur. 

Kemandirian diuji bukan dalam kesendirian, melainkan dalam keberanian menolak intervensi yang halus maupun kasar. 

Integritas bukan hanya hiasan kata, melainkan sikap yang nyata dalam setiap keputusan dan pelayanan. Kejujuran menjadi benteng di tengah godaan, dan akuntabilitas menjadi tali pengikat agar setiap langkah tercatat dalam jejak tanggung jawab moral dan administratif. 

Dalam keseharian, nilai-nilai itu ibarat Guardian of Public Spirit “(GPS) penjaga semangat publik dan nurani keadilan yang menuntun aparatur di tengah kabut kepentingan dan badai opini publik. Tanpanya, hukum akan kehilangan arah, dengannya, hukum menjadi hidup dan berjiwa.

Mempersatukan dan Menguatkan Integritas

Pada akhirnya, semangat Sumpah Pemuda dan Delapan Nilai Utama Mahkamah Agung bertemu dalam satu titik panggilan hati untuk menjaga keadilan sebagai amanah Ilahi. Para pemuda dahulu menyatukan bangsa dengan idealisme, kini aparatur peradilan menyatukan nurani dengan kejujuran dan tanggung jawab. 

Mereka berdiri bukan untuk disorot, tetapi karena yakin bahwa keadilan adalah ibadah, dan kejujuran adalah bentuk tertinggi dari cinta tanah air. 

Umar bin Khattab pernah menasihati, “Janganlah engkau gentar terhadap celaan orang dalam menegakkan kebenaran.” Pesan itu relevan hingga kini, ketika seorang aparatur harus tetap teguh pada 8 nikai Utama MA meski badai kritik datang bertubi-tubi.

“Keadilan sejati tidak hanya tertulis dalam putusan, tetapi hidup dalam perilaku, terpantul dalam pelayanan, dan diwariskan sebagai cahaya bagi generasi penerus. Karena pada akhirnya, yang abadi bukanlah jabatan atau penghargaan, melainkan nurani yang bersih dan pengabdian yang tulus untuk Indonesia yang adil dan bermartabat.”

Penulis: Aman
Editor: Tim MariNews