Ritualisasi Istiqamah Doktrin Yudisial Penguat Keyakinan Insan Agung MA

Dibutuhkan sebuah metode yang melampaui kepatuhan administratif menuju transformasi keyakinan internal yang mendalam.
Suasana apel di PN Merauke. dok. PN Merauke
Suasana apel di PN Merauke. dok. PN Merauke

Mengutip petuah bijak, struktur kokoh sebuah bangunan tidak hanya ditentukan oleh kualitas material dasarnya, melainkan oleh mortar pengikat yang diberikan secara berulang, memastikan setiap batu menyatu sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan. 

Mengingat supremasi peran Mahkamah Agung (MA) sebagai benteng penentu kedaulatan hukum dan penegak keadilan substantif, institusi ini menyadari bahwa kekuatan lembaga tidak cukup hanya terletak pada keindahan naskah legislatif atau standar operasional prosedur. 

Dibutuhkan sebuah metode yang melampaui kepatuhan administratif menuju transformasi keyakinan internal yang mendalam. 

Inilah kelahiran Doktrin Istiqamah Yudisial, sebuah kerangka kerja filosofis yang berupaya mematri Delapan Nilai Inti Kinerja MA, yaitu Kemandirian, Integritas, Kejujuran, Akuntabilitas, Responsibilitas, Keterbukaan, Ketidakberpihakan, dan Perlakuan yang Sama di Hadapan Hukum. 

Hal itu, sebagai Belief System kolektif yang hidup dan bergejolak dalam setiap insan peradilan.

Doktrin Istiqamah ini berlandaskan pada filosofi bahwa keyakinan sejati tidak terbentuk sekadar melalui pemahaman intelektual, melainkan melalui ritualisasi penegasan yang konsisten dan berulang. 

Istiqamah, yang berarti keteguhan tak beralih pada prinsip-prinsip tersebut, harus diterapkan bahkan ketika menghadapi tekanan eksternal dalam arena praktik yudisial. 

Untuk menginternalisasi semangat ini, MA menggarisbawahi tiga titik krusial ritual penegasan wajib. 

Pertama, Apel Senin Pagi berfungsi sebagai permulaan spiritual dan profesional minggu kerja, dimana fokus awal dialihkan kepada Kemandirian (Al−Istiqlal) dan Kejujuran (Al−Shidq). 

Deklarasi ini secara aktif mengondisikan pikiran aparatur, setiap sesi persidangan dan pengambilan keputusan harus dimulai dari posisi bebas intervensi dan kejujuran hati nurani—sebuah proses tazkiyatun-nafs profesional sebelum berhadapan dengan realitas hukum. 

Kedua, Apel Jumat Sore menjelang Long Weekend, diposisikan sebagai ritual refleksi wajib. Saat energi pekan kerja mereda, penekanan diletakkan pada Integritas (Al−Amanah) dan Akuntabilitas (Al−Mas’uliyah Al-Kulliyah$), memaksa aparatur melakukan evaluasi diri intensif terhadap standar keteladanan selama lima hari sebelum memasuki periode istirahat. 

Ketiga, dalam setiap forum Rapat Pembinaan dan Pengembangan Kapasitas, pembacaan kolektif Doktrin Istiqamah harus menjadi pembuka yang tak terhindarkan. 

Ini memastikan bahwa setiap peningkatan kemampuan teknis selalu dibingkai oleh etika fundamental, menjadikan Ketidakberpihakan (Al−Tawsit) dan Perlakuan yang Sama (Al−Tashabuh) sebagai lensa wajib sebelum menganalisis perkara. 

Melalui serangkaian ritualisasi yang metodis dan tanpa kompromi ini, MA berupaya keras mengatasi kerapuhan norma di lanskap publik. 

Pengulangan yang terstruktur ini bertujuan mengikis jurang pemisah antara mengetahui apa itu integritas dan menghidupi integritas tersebut sebagai keyakinan mendasar yang menopang setiap aktivitas. 

Ketika nilai-nilai ini benar-benar menyatu menjadi Belief System kolektif, maka Mahkamah Agung akan terjamin kontinuitas integritasnya, menjadikannya institusi yang benar-benar agung dalam membumikan keadilan.

Penulis: Unggul Senoadji
Editor: Tim MariNews