Setiap tanggal 28 Oktober, kita memperingati Hari Sumpah Pemuda. Sebuah momentum bersejarah yang menegaskan tekad pemuda Indonesia untuk bersatu: bertumpah darah yang satu, berbangsa yang satu, dan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Tapi, bagaimana semangat ini berkelindan dengan tugas Mahkamah Agung (MA)?
Sumpah Pemuda bukan hanya tentang nasionalisme, tapi juga tentang keberanian menyuarakan keadilan. Pemuda kala itu berani menembus sekat-sekat suku dan daerah demi satu cita: Indonesia merdeka.
Kini, semangat itu bisa kita maknai sebagai panggilan untuk menjadikan hukum sebagai alat pemersatu dan pelindung semua golongan.
Dalam konteks hukum, MA sebagai lembaga yudikatif tertinggi memegang peran vital untuk menjaga marwah keadilan.
Dalam setiap putusannya, MA diharapkan tidak hanya teguh pada teks hukum, tetapi juga mempertimbangkan nilai-nilai keadilan sosial dan semangat kebangsaan.
MA juga menjadi panutan bagi aparat peradilan di seluruh Indonesia. Ketika pemuda dulu berjuang agar bangsa ini tidak terpecah, maka tugas MA sekarang adalah memastikan hukum tidak menjadi alat perpecahan.
Misalnya, melalui pembinaan terhadap hakim muda yang kini banyak mengisi ruang pengadilan, MA bisa menanamkan nilai integritas dan empati dalam setiap proses mengadili.
Peran pemuda dalam dunia hukum pun tidak bisa dikesampingkan. Banyak anak muda hari ini aktif sebagai advokat, akademisi, bahkan hakim. Mereka adalah wajah masa depan hukum Indonesia.
Oleh karena itu, penting bagi lembaga peradilan membuka ruang partisipasi, mendengar suara mereka, dan menjadikan semangat Sumpah Pemuda sebagai inspirasi reformasi hukum yang inklusif.
Harapannya, peringatan Sumpah Pemuda tidak hanya menjadi seremonial tahunan, tetapi menjadi pengingat bahwa perjuangan menegakkan keadilan adalah tugas kolektif.
Dan Mahkamah Agung, bersama seluruh elemen bangsa, memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga agar hukum tetap menjadi tali pengikat, bukan pemecah belah.





