Satu Atap Keadilan: Menimbang Integrasi Fisik Empat Lingkungan Peradilan

Integrasi fisik kantor dari empat badan peradilan ini, meskipun radikal, didasari oleh tujuan utama untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas layanan publik.
Ilustrasi ruang pengadilan. Foto pixabay.com
Ilustrasi ruang pengadilan. Foto pixabay.com

Indonesia, sebagai negara hukum, memegang teguh prinsip Kekuasaan Kehakiman yang merdeka. Prinsip ini diwujudkan melalui sistem peradilan yang terbagi dalam empat lingkungan utama di bawah Mahkamah Agung (MA): Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara (TUN). Masing-masing memiliki yurisdiksi dan hukum acara yang spesifik.

Meskipun secara administrasi, organisasi, dan finansial keempat lingkungan peradilan ini telah berada di bawah MA melalui kebijakan "Sistem Peradilan Satu Atap" (One-Roof System) sejak 2004, pembagian kantor fisik di tingkat pertama (Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, Pengadilan Militer, dan Pengadilan TUN) masih terpisah. 

Sebuah ide progresif kini muncul, penggabungan fisik keempat lingkungan peradilan tersebut dalam satu kompleks kantor terpadu di wilayah hukum yang sama.

Mendorong Efisiensi dan Layanan Publik

Integrasi fisik kantor dari empat badan peradilan ini, meskipun radikal, didasari oleh tujuan utama untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas layanan publik.

   1. Optimalisasi Anggaran dan Aset Negara

Membangun dan memelihara empat gedung kantor pengadilan yang terpisah di satu kota/kabupaten memerlukan alokasi anggaran yang besar, mulai dari biaya tanah, konstruksi, hingga biaya operasional rutin seperti listrik, air, dan keamanan. 

Dengan menggabungkan kantor ke dalam satu kompleks modern sebuah "Pusat Keadilan Terpadu" negara dapat menghemat triliunan rupiah. Dana yang dihemat ini dapat dialihkan untuk peningkatan gaji, pelatihan, atau modernisasi sistem teknologi informasi peradilan.

   2. Memudahkan Akses bagi Masyarakat (One-Stop Justice)

Bagi masyarakat pencari keadilan, sistem kantor yang terpisah sering kali menimbulkan kebingungan dan hambatan logistik. 

Misalnya, seorang pengusaha mungkin berhadapan dengan gugatan perdata di Pengadilan Negeri, sengketa tata usaha negara di PTUN, dan masalah waris di Pengadilan Agama. 

Kantor terpadu akan memungkinkan masyarakat mengurus berbagai urusan hukum di satu lokasi, menciptakan konsep "Keadilan Satu Pintu" (One-Stop Justice). 

Hal ini sangat krusial dalam mempercepat proses dan mengurangi biaya transportasi serta waktu yang terbuang.

   3. Sinergi Administrasi dan Teknologi

Meskipun yurisdiksi yudisial harus tetap terpisah dan independen, fungsi non-yudisial seperti kesekretariatan, teknologi informasi, hubungan masyarakat, dan pengelolaan arsip dapat disinergikan. 

Tim IT gabungan dapat mengelola infrastruktur jaringan dan sistem e-court untuk keempat peradilan. Hal ini akan meningkatkan standarisasi tata kelola administrasi dan memperkuat koordinasi operasional di tingkat daerah.

Tantangan Regulasi dan Yudisial

Mewujudkan integrasi fisik ini tentu menghadapi sejumlah tantangan besar, terutama terkait kerangka hukum dan jaminan independensi.

   1. Menjaga Kekhususan Hukum Acara

Tantangan terbesar adalah memastikan bahwa integrasi fisik dan administrasi tidak mengikis independensi dan kekhususan yudisial masing-masing peradilan. 

Hakim Umum harus tetap memutuskan berdasarkan KUHP dan KUHAP, sementara Hakim Agama harus tetap berpedoman pada hukum Islam. Ruang sidang dan kantor hakim harus didesain sedemikian rupa untuk menjamin pemisahan yang jelas antar lingkungan peradilan.
   
   2. Payung Hukum dan Organisasi

Ide ini memerlukan perubahan regulasi yang mendasar di tingkat undang-undang dan Peraturan Mahkamah Agung (Perma). 

MA harus merumuskan model organisasi yang fleksibel namun ketat, yang memungkinkan kepala kantor gabungan mengelola administrasi bersama tanpa mengganggu wewenang Ketua Pengadilan di masing-masing lingkungan peradilan. 

Model ini juga harus mengakomodasi keberadaan Peradilan Militer, yang memiliki struktur dan hirarki yang unik.

Kesimpulan

Integrasi fisik empat lingkungan peradilan dalam satu kantor di tingkat daerah merupakan visi ambisius untuk mewujudkan peradilan yang lebih efisien, transparan, dan mudah diakses. Ini adalah perpanjangan logis dari Sistem Peradilan Satu Atap yang telah ditetapkan. 

Jika berhasil diimplementasikan dengan payung hukum yang kuat dan komitmen untuk menjaga independensi yudisial, Pusat Keadilan Terpadu akan menjadi tonggak penting dalam upaya reformasi birokrasi peradilan dan peningkatan pelayanan publik di Indonesia.

Apakah langkah integrasi fisik ini akan menjadi agenda prioritas Mahkamah Agung dalam waktu dekat? Tentu saja, keputusan tersebut memerlukan kajian yang mendalam dan dukungan politik yang kuat.

Penulis: Fuadil Umam
Editor: Tim MariNews