Seni Menjadi Hakim, Mengadili Diri di Tengah Dunia yang  Penuh Masalah

Setiap hari, Hakim berhadapan dengan manusia yang sedang rapuh, yang marah, kecewa, atau menyerah atas hidupnya, dan di tengah itu semua, hakim diminta bisa jernih, tegas, dan tidak terbawa arus.
Ilustrasi putusan hakim. Foto istockphoto.com
Ilustrasi putusan hakim. Foto istockphoto.com

Pekerjaan Hakim ini sering disangka sesederhana membaca berkas, memeriksa bukti, lalu mengetuk palu. Padahal di balik ketukan palu itu, ada kepala yang menanggung beban, dan hati yang kadang ingin beristirahat. 

Terkadang bagian paling sulit justru terjadi di tempat yang tidak pernah dilihat siapa pun, di kepala dan di hati. 

Setiap hari, Hakim berhadapan dengan manusia yang sedang rapuh, yang marah, kecewa, atau menyerah atas hidupnya, dan di tengah itu semua, hakim diminta bisa jernih, tegas, dan tidak terbawa arus.

Tapi hakim juga manusia. Ia bisa lapar, lelah, kadang ingin pulang cepat, dan sesekali ingin menulis dalam baris terakhir putusannya, “hari ini saya terlalu lelah untuk berpikir”. 

Namun di balik semua keterbatasan itu tugasnya tetap sama, memberi keadilan.

Seni Mengenali diri 

Hakim yang baik pertama-tama harus memahami dirinya sendiri. Bukan sekadar menguasai hukum acara dan materiil, tapi juga tahu apa yang sedang ia rasakan, apa yang bisa mempengaruhi penilaiannya. 

Apakah ia sedang marah? Sedang kecewa? Sedang bosan? Semua itu bisa menular ke cara ia memutus perkara.

Mengenali diri adalah langkah awal mencegah kezaliman. Karena yang paling berbahaya bukan hakim yang tidak tahu hukum, tapi hakim yang tidak sadar sedang dikuasai oleh emosinya sendiri.

Kadang yang dibutuhkan bukan seminar etika, tapi cermin untuk menatap diri dan jujur bertanya “apakah hari ini saya memutus dengan pikiran jernih, atau hanya dengan hati yang sedang lelah?”

Karena itu seni pertama menjadi hakim adalah Seni Mengenali Diri Sebelum Menilai Orang Lain.

Seni Mendengar dan Memahami

Orang mengira tugas hakim adalah memutus, padahal sebagian besar waktunya justru untuk mendengar dan memahami. Mendengar dan memahami manusia bukan hal sepele. 

Ada yang bicara keras sambil nunjuk, ada yang menangis, ada pula yang diam tapi sorot matanya sudah cukup jadi kesaksian. Tidak mudah memisahkan mana emosi, mana kebenaran.

Mendengar dan memahami itu seni. Kalau terlalu larut, bisa tenggelam dalam emosi orang lain. Kalau terlalu berjarak, bisa kehilangan rasa.

Dan kalau sedang apes, di saat hati sudah lelah mendengar dua pihak saling tuduh, tiba-tiba datang saksi membawa cerita yang malah tambah kabur.

Di situlah kesabaran hakim diuji, lebih berat daripada ujian sertifikasi.

Hukum bisa menuntut logika, tapi manusia menuntut kesabaran.

Karena itu, seni kedua menjadi hakim adalah Seni Mendengar dan Memahami.

Seni Menjaga Keseimbangan Akal dan Rasa

Akal memberi arah, tapi rasa yang menentukan langkah. Tidak semua yang sah terasa adil, dan tidak semua yang adil tertulis dalam undang-undang. 

Ada hari di mana teks hukum terasa seperti tembok, tegas tapi dingin. Hati kecil terkadang berbisik, “Kalau aku di posisi mereka, apa aku merasa ini adil?” Tapi ia juga tahu, hukum tidak bisa dijalankan dengan air mata.

Hukum menuntut kepastian, sementara manusia hidup dalam ketidakpastian.

Di situlah hakim di uji menjaga keseimbangan di antara dua dunia yang sama-sama menuntut.

Maka seni ketiga menjadi hakim adalah Seni Menjaga Keseimbangan Akal dan Rasa.

Seni Menjaga Ketenangan Batin

Tidak ada laporan dan catatan resmi yang menuliskan betapa lelahnya hati seorang hakim. Setiap putusan mungkin sudah sah di atas kertas, tapi tidak semua tenang di dalam dada. 

Kadang satu perkara selesai di ruang sidang, tapi tidak selesai di pikiran. Hakim tidak bisa menulis dengan catatan kaki bertuliskan, “Saya juga manusia, dan ini berat.”  

Yang bisa dilakukan hanya menata hati, menutup berkas, lalu besoknya membuka yang baru seolah semua baik-baik saja. 

Dan di rumah, saat istri bertanya, “Kok Ayah kelihatan capek banget?” Ia hanya bisa menjawab, “Biasa, sidangnya lumayan panjang.” Padahal yang panjang bukan sidangnya, tapi pergulatannya dengan nurani sendiri.

Maka, seni ke empat menjadi hakim adalah Menjaga Ketenangan Batin

Seni Berdamai dengan Ketidaksempurnaan

Setiap hakim punya sidang yang tidak pernah ditutup yaitu sidang melawan dirinya sendiri. Ia sering menanyai dirinya dalam diam. “Apakah aku sudah adil, atau hanya tampak adil? Apakah aku memutus karena keyakinan, atau karena ingin urusan cepat selesai?”

Ragu itu bukan kelemahan, justru penanda bahwa nurani masih hidup.

Hakim yang berhenti meragukan dirinya, pelan-pelan berhenti menjadi manusia.

Dan ketika ia mampu berdamai dengan ketidaksempurnaan itu, di situlah seni menjadi hakim mencapai bentuk paling utuh. 

Bukan tentang menjadi benar, tapi yang tak berhenti berusaha agar kesalahannya tidak membunuh kemanusiaan.

Seni terakhir menjadi hakim adalah Seni Berdamai dengan Ketidaksempurnaan

Penutup: Hakim juga Manusia

Hakim bukan dewa. Ia manusia yang kebetulan diberi tanggung jawab besar.

Ia bisa salah tafsir, bisa ragu, bisa marah dalam hati, tapi juga bisa terharu oleh ketulusan yang datang tiba-tiba di ruang sidang.  

Ia makan, tertawa, punya anak yang bertanya kenapa orang memanggilnya “Yang Mulia,” padahal di rumah ia tetap dimarahi karena lupa belanjaan istrinya.

Justru di situlah letak martabatnya, bukan karena sempurna, tapi karena tetap berusaha adil sambil menanggung segala ketidaksempurnaan hidupnya sendiri.

Hukum memang menjaga ketertiban, tapi hanya kemanusiaan yang bisa menegakkan keadilan. 

Maka kalau suatu hari Anda melihat hakim tersenyum di ruang sidang, bukan berarti ia tidak serius. Mungkin ia sedang berusaha keras untuk tetap “menjadi manusia” di tengah dunia yang terus meminta kepastian dari sesuatu yang bahkan ia sendiri tahu tidak selalu pasti.

Penulis: Fariz Prasetyo Aji
Editor: Tim MariNews