Peran Hakim bagi Pembangunan Intelektualitas Hukum di Era Digital

Kekuasaan kehakiman dijalankan oleh hakim yang merupakan pejabat negara yang memiliki wewenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara hukum
Ilustrasi hakim. Foto Fixabay.com
Ilustrasi hakim. Foto Fixabay.com

Berdasarkan Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. 

Menyelenggarakan peradilan disini merupakan kekuasaan untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara hukum yang menjadi obyek kewenangan lembaga yudikatif. 

Lembaga pemegang kekuasaan yudikatif di Indonesia adalah Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) serta badan peradilan dibawahnya meliputi peradilan umum, peradilan militer, peradilan agama, dan peradilan tata usaha negara. 

Secara praktis-fungsional, kekuasaan kehakiman dijalankan oleh hakim yang merupakan pejabat negara yang memiliki wewenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara hukum demi tegaknya hukum dan keadilan. 

Artinya, hakim merupakan aktor yang menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman secara langsung dengan dibantu oleh kepaniteraan (adminsitrasi yudisial) dan kesekretariatan (administrasi non yudisial). 

Secara prinsip, fungsi utama seorang hakim adalah pengadil yang bertujuan untuk menegakkan hukum dan keadilan. 

Meskipun demikian, hakim pada dasarnya memiliki peran strategis dalam pengembangan dan pembangunan intelektualitas hukum khususnya di era digital seperti sekarang ini, dimana sarana infrastruktur teknologi telah berkembang pesat sehingga memudahkan hakim dalam untuk memobilisasi kapasitas intelektualitasnya untuk memberikan pendidikan dan pencerahan hukum baik kepada masyarakat maupun sesama aparatur peradilan. 

Hakim di era digital seharusnya tidak lagi terkungkung dalam aktivitas rutin di meja sidang namun harus terus mengembangkan kapasitas keilmuan hukum untuk mendorong pembaharuan hukum khususnya dalam tataran akademis. 

Banyak ruang-ruang strategis yang dapat dimanfaatkan oleh hakim untuk berperan sebagai pembangun intelektualitas keilmuan hukum.

Di era digital, hakim harus mampu beradaptasi dan mengorkestrasinya sebagai sarana untuk membangun dan mengembangkan intelektualitas keilmuan hukum bagi masyarakat maupun rekan sejawat.

Ruang Strategis Hakim dalam Pembangunan Intelektualitas Keilmuan Hukum

Pertama, penemu hukum. Hakim memiliki posisi strategis dalam pembangunan intelektualitas keilmuan hukum melalui produk putusan pengadilan yang progresif dan bermutu sehingga dapat mendorong pembaharuan norma hukum. 

Hakim seyogyanya tidak sekadar menerapkan hukum dan menjadi corong undang-undang (la bouche de la loi) semata melainkan harus mampu menjadi katalis dan aktor yang mampu menggali cahaya keadilan.

Ketika norma hukum dirasa tidak adil maka hakim harus berani melakukan rule breaking untuk menemukan keadilan yang hakiki. 

Dari sinilah kemudian muncul landmark decision yang menjadi warisan bagi hakim-hakim lain untuk mengikuti kaidah pokok dari putusan tersebut. 

Selain itu, landmark decision akan memiliki sumbangsih besar bagi pengembangan dan pembangunan intelektualitas hukum karena akan menjadi sumber kajian dalam dunia akademis hukum sehingga mendorong lahirnya karya-karya ilmiah yang semakin banyak.

Kedua, sebagai akademisi. Dunia kampus atau civitas academica saat membuka peluang yang besar terhadap para praktisi hukum khususnya dari kalangan hakim untuk menjadi dosen tamu maupun tetap di berbagai universitas. 

Pengalaman dan praktik langsung hakim dalam proses peradilan dapat memberikan insight dan kekayaan khasanah lebih dalam pembelajaran ilmu hukum. 

Oleh sebab itu, hakim seyogyanya mampu mengambil peran ini untuk berkontribusi dalam pengembangan dan pembangunan intelektualitas hukum. 

Terlebih di era digital, proses pembelajaran dapat dilakukan melalui digital sehingga memudahkan hakim untuk menjalankan peran edukasi hukum sebagai akademisi.

Ketiga, pembicara hukum. Hakim di era digital harus mampu memainkan peran lebih khususnya dalam ranah akademis salah satunya sebagai pembicara dalam lokakarya, sosialisasi hukum maupun seminar-seminar hukum yang dapat menjadi sarana untuk melakukan edukasi dan uji gagasan untuk pengembangan dan pembangunan hukum baik secara susbtansi maupun budaya. 

Seminar-seminar secara daring saat ini mulai menjadi arus utama yang bisa menggaet audience lebih banyak dengan aksesbilitas yang luas. 

Oleh sebab itu, hakim harus bisa memainkan peran strategis ini untuk berkiprah dalam pengembangan intelektualitas hukum melalui peran edukasi hukum.

Keempat, penulis hukum. Di era digital, Mahkamah Agung melakukan berbagai transformasi, salah satunya pembangunan infrastruktur media bagi hakim dan aparatur peradilan untuk menuangkan ide, gagasan, dan pemikiran terkait dinamika hukum dan peradilan seperti jurnal Arunika, Dandapal Digital, hingga kanal Marinews. 

Hakim seharusnya memanfaatkan peluang ini untuk mencurahkan gagasan, ide, kritisisme, dan pemikiran dalam bentuk jurnal ilmiah, artikel, maupun opini untuk memberikan pencerahan dan edukasi hukum terhadap masyarakat, sesama aparatur peradilan, maupun pihak eskternal (jaksa/advokat misalnya). 

Dengan pendekatan digital, maka jangkauan aksesbilitasnya akan lebih luas keterbacaan dari tulisan tersebut akan lebih besar sehingga potensi dampaknya juga lebih besar. 

Hakim juga bisa menulis buku terkait tema tertentu yang bermutu sehingga dapat menjadi acuan akademis.

Penutup

Hakim di era digital harus mampu bertransformasi tidak sekadar pengadil di ruang sidang, melainkan juga aktor yang mengembangkan pembangunan intelektualitas hukum di luar ruang sidang. 

Selain tugas rutin membuat putusan yang bermutu, Hakim juga dapat memainkan berbagai peran strategis bagi pembangunan dan pengembangan keilmuan hukum seperti akademisi hukum, pembicara hukum, dan penulis hukum yang memiliki sumbangih besar bagi pembangunan kesadaran hukum dan pengembangan tradisi intelektulitas keilmuan hukum itu sendiri.

Penulis: Jon Mahmud
Editor: Tim MariNews