Ketika Bukti Tak Lengkap, Nurani Menjadi Saksi: Ijtihad Hakim dalam Asas Keyakinan

Dalam setiap ruang sidang, hakim dihadapkan pada dua wajah kebenaran formil yang lahir dari bukti, dan kebenaran substantif yang hidup dalam nurani.
Iustrasi putusan hakim. Foto pixabay.com
Iustrasi putusan hakim. Foto pixabay.com

“Tidak semua kebenaran hadir dalam bentuk dokumen dan tandatangan. Adakalanya ia berbisik lembut di hati seorang hakim yang jujur pada nuraninya. Dalam kesunyian itulah lahir ijtihad seorang hakim sebuah perjalanan batin yang berpadu antara kecerdasan intelektual dan integritas moral. Sebab keadilan sejati tidak hanya ditakar dari banyaknya bukti. Tetapi, dari kemurnian niat dan keberanian seorang hakim untuk tetap setia pada nurani, ketika hukum tertulis tak lagi cukup menjelaskan kebenaran yang hidup di hadapannya.”

Dalam setiap ruang sidang, hakim dihadapkan pada dua wajah kebenaran formil yang lahir dari bukti, dan kebenaran substantif yang hidup dalam nurani. 

Di antara keduanya terbentang ruang ijtihad di ruang sunyi tempat seorang hakim menimbang rasa keadilan di balik fakta yang tak selalu sempurna. 

Disinilah asas pembuktian berdasarkan keyakinan hakim, menemukan maknanya yang terdalam. Hakim tidak selalu dihadapkan pada bukti yang lengkap dan sempurna. 

Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 183 HIR dan Pasal 285 RBg, serta Pasal 54 Undang-Undang Peradilan Agama, keyakinan hakim tidak berdiri di atas kehampaan, melainkan tumbuh dari penilaian terhadap bukti yang sah serta nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Ada perkara yang menyisakan celah logika, ada pula yang menggugah empati. Namun, hukum tidak pernah berhenti di batas pasal. 

Ketika bukti tidak lagi berbicara, ijtihad hakim menjadi jembatan antara teks dan konteks, antara keadilan prosedural dan keadilan moral. 

Imam Al-Ghazali dalam Al-Mustashfa min ‘Ilm al-Usul menyebut, ijtihad sebagai upaya sungguh-sungguh untuk memperoleh hukum syara’ dari dalil yang terperinci. 

Dalam konteks hakim, ijtihad bukan lagi menggali hukum baru, tetapi menemukan kebenaran substantif di balik bukti yang terbatas. Hakim berijtihad bukan karena kekurangan pasal, melainkan karena kelebihan tanggungjawab nurani. 

Pandangan itu sejalan dengan Ibn Qayyim al-Jauziyah dalam I‘lam al-Muwaqqi‘in, yang menegaskan, hakim adalah wakil Allah di muka bumi, dan keadilan adalah amanah yang paling mulia. 

Bagi Ibn Qayyim, ijtihad hakim harus berorientasi pada maqasid al-syari‘ah, tujuan luhur hukum keadilan, kemaslahatan, dan kasih sayang. 

Maka, keyakinan hakim yang lahir dari nurani bukan penyimpangan, melainkan bentuk tertinggi dari amanah keadilan itu sendiri.

Dalam pandangan Kang Faqih Abdul Kodir, penggagas teori mubadalah, ijtihad bukan sekadar kerja akal, tetapi dialog antara teks dan konteks, antara norma dan kemanusiaan. 

Dalam bingkai itu, keyakinan hakim menjadi bentuk ijtihad mubadalah menimbang keadilan dengan kesalingan pandang, empati, dan penghormatan terhadap martabat manusia. 

Hakim tidak hanya menilai siapa yang benar, tetapi bagaimana kebenaran itu menghadirkan kemaslahatan bagi semua pihak. Seorang hakim sejati bukan hanya pembaca fakta, tetapi penafsir makna di balik fakta. 

Ia menyadari bahwa di setiap berkas perkara ada cerita manusia, ada tangis, harapan, dan perjuangan hidup. Maka, ketika putusan dijatuhkan, yang berbicara bukan hanya logika hukum, tetapi juga hikmah keadilan yang bersumber dari hati.

Ijtihad hakim dalam asas keyakinan bukan bentuk subjektivitas, tetapi manifestasi dari independensi dan integritas moral peradilan. Sebab, hukum yang hidup bukan hanya tertulis dalam undang-undang, melainkan juga terpatri pada nurani mereka yang menegakkannya.

Dengan demikian, ijtihad hakim dalam asas keyakinan bukan sekadar wujud kecerdasan hukum, tetapi juga cermin kejujuran batin dan integritas moral dalam menegakkan keadilan. 

Hakim tidak hanya menjadi penerjemah teks, melainkan penafsir nurani yang menghadirkan keadilan hidup di tengah masyarakat. 

Dalam setiap putusan, terselip pergulatan antara logika dan empati, antara pasal dan rasa, antara hukum dan kemanusiaan. 

Dari sanalah lahir keyakinan yang bernilai, yaitu keyakinan yang tumbuh dari kesungguhan mencari kebenaran dan keberanian untuk tetap berpihak pada keadilan.

“Hakim yang berijtihad dengan jujur, bukan sekadar menegakkan hukum. Tetapi, sedang menulis sejarah keadilan di lembar nurani bangsa meninggalkan jejak kebajikan bagi generasi yang kelak menilai bahwa hukum pernah ditegakkan dengan hati”.

Penulis: Aman
Editor: Tim MariNews