SMAP dan Konsistensi Membangun Integritas Yudisial di Pengadilan Agama Tangerang

Penguatan pelatihan, pengawasan, serta keterlibatan aktif seluruh stakeholder harus menjadi prioritas, agar SMAP benar-benar menjadi fondasi integritas yang kokoh dan mampu mengembalikan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan di Indonesia, khususnya di Pengadilan Agama Tangerang.
Gedung Pengadilan Agama Tangerang. Foto dokumentasi PA Tangerang
Gedung Pengadilan Agama Tangerang. Foto dokumentasi PA Tangerang

Penerapan Sistem Manajemen Anti Penyuapan (SMAP) di lingkungan peradilan bukan hanya merupakan langkah administratif semata, tetapi juga mencerminkan komitmen etik kelembagaan yang sejalan dengan prinsip negara hukum (rechtsstaat). 

Secara teoritis, dalam doktrin rule of law, sebagaimana dikemukakan oleh A.V. Dicey (1885), supremasi hukum (the supremacy of law) tidak akan pernah efektif apabila lembaga peradilan yang menjalankannya tidak bebas dari penyimpangan etik dan praktik korupsi. (Jimly Asshiddiqie, 2005).

SMAP dalam konteks ini, bukan sekadar perangkat manajerial, melainkan bagian dari mekanisme internal untuk memastikan berjalannya prinsip integritas sebagai pilar utama keadilan.

Lebih jauh, konsep integritas yudisial juga erat kaitannya dengan pendekatan sociological jurisprudence ala Roscoe Pound, yang menekankan pentingnya fungsi lembaga hukum sebagai sarana rekayasa sosial (law as a tool of social engineering). (Soetandyo Wignjosoebroto, 2002)

Melalui SMAP, peradilan tidak hanya bertindak represif terhadap pelanggaran, tetapi secara proaktif membangun budaya antikorupsi di dalam institusi peradilan. Hal ini mencerminkan bahwa reformasi hukum sejati harus menyentuh aspek budaya dan perilaku lembaga hukum, bukan hanya berhenti pada perubahan aturan formal.

Dalam kerangka ini, integritas lembaga peradilan menjadi pilar utama dalam mewujudkan keadilan substantif. Di tengah kompleksitas tantangan integritas peradilan di Indonesia, Pengadilan Agama Tangerang menjadi pilot project satuan kerja yang menunjukkan komitmen awal dalam menginternalisasi SMAP sebagai instrumen pencegahan korupsi dan penguatan budaya antisuap. Namun demikian, efektivitas SMAP sebagai bagian dari mekanisme internal untuk membangun integritas yudisial yang berkelanjutan masih perlu dikaji secara kritis, baik dari aspek normatif, kelembagaan, maupun sosiologis. 

Integritas sebagai Fondasi Peradilan.

Pada akhir Januari 2025, berdasarkan hasil Lembaga Survei Indonesia (LSI), secara kelembagaan, tingkat kepercayaan publik atas lembaga penegak hukum, seperti; Kejaksaan Agung mencapai 71%, Pengadilan 67%, KPK 65%, dan Polri 63%. Kemudian hasil survei tingkat kepercayaan publik pada lembaga dalam pemberantasan korupsi, seperti; Kejaksaan Agung (Kejagung) mencapai 67%, Pengadilan 65%, KPK 62%, dan Polri 60%. 

Pada 11 Februari 2025, Transparency International Indonesia mencatat bahwa skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2024 berada di angka 37 dari 100, meningkat tipis dari skor 34 pada 2023. Meski kenaikan ini menunjukkan adanya sedikit perbaikan persepsi, angka tersebut masih mencerminkan tingkat korupsi yang serius dan mengkhawatirkan di sektor publik, termasuk peradilan. 

Namun demikian, angka tersebut masih menunjukkan kelemahan, yang menandakan bahwa legitimasi publik terhadap institusi hukum, termasuk lembaga peradilan, masih bersifat fluktuatif dan belum sepenuhnya stabil. Dari hasil survei-survei terbaru menunjukkan bahwa kepercayaan terhadap lembaga peradilan masih perlu perhatian serius.

Integritas yudisial bukan sekadar aspek moral individu hakim, melainkan bagian dari tata kelola kelembagaan peradilan yang sehat. Mahkamah Agung sendiri menempatkan integritas sebagai salah satu prinsip utama dalam Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010-2035. 

Integritas dalam hal ini, berarti setiap aktor dalam sistem peradilan tunduk pada nilai kejujuran, imparsialitas, dan akuntabilitas, baik dalam proses memutus perkara maupun dalam interaksi administratif dengan masyarakat pencari keadilan. 

Dalam kenyataan empiris, persepsi publik terhadap integritas peradilan masih bersifat rentan. Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan Survei Indeks Persepsi Korupsi (IPK), lembaga kerap menunjukkan bahwa lembaga peradilan belum sepenuhnya terbebas dari potensi praktik suap dan gratifikasi. 

Di sinilah pentingnya pendekatan sistemik seperti SMAP untuk menjawab persoalan tersebut secara institusional. Dalam konteks ini relevansi pendekatan sistemik seperti SMAP menjadi penting, bukan sekadar untuk memenuhi standar administratif, tetapi sebagai instrumen internal yang mampu membentuk perilaku, mengubah kultur birokrasi, serta memulihkan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan secara bertahap dan berkelanjutan.

SMAP Lebih dari Sekadar Sertifikasi

SMAP yang berbasis pada standar internasional ISO 37001:2016, bukan sekadar alat sertifikasi atau pemenuhan formalitas administratif, melainkan sebuah kerangka manajemen risiko penyuapan yang menuntut komitmen nyata dari seluruh elemen organisasi. Pengadilan Agama Tangerang, sebagai bagian dari lembaga peradilan di bawah naungan Mahkamah Agung, telah mengadopsi kebijakan ini dengan langkah-langkah yang konkret.

Pengadilan Agama Tangerang telah mengambil berbagai langkah nyata dalam menerapkan SMAP sebagai bagian dari upaya reformasi dan penguatan integritas yudisial. Beberapa langkah tersebut, yaitu;

Pertama, penyusunan kebijakan antipenyuapan dan dokumen analisis risiko, yang kemudian menjadi dasar dalam merumuskan sejumlah sasaran dan rencana kerja untuk mencegah potensi suap secara sistematis di lingkungan peradilan.

Pengadilan Agama Tangerang telah merumuskan kebijakan tertulis yang mengatur larangan penerimaan gratifikasi, suap, dan bentuk-bentuk korupsi lain. Selain itu, dokumen analisis risiko disusun untuk mengidentifikasi area rawan korupsi, sehingga langkah mitigasi dapat dilakukan secara terarah.

Kedua, sosialisasi dan pelatihan Internal. Program sosialisasi mengenai SMAP dan nilai-nilai antikorupsi dilakukan secara rutin kepada seluruh pegawai dan aparatur peradilan. Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman dan komitmen terhadap penerapan kebijakan, sekaligus membangun budaya kerja yang transparan dan akuntabel.

Ketiga, pembentukan Satuan Tugas SMAP berdasarkan Surat Keputusan Ketua Pengadilan Agama Tangerang Nomor 0506/KPA.W27-A3/SK.HK1.2.5/VII/2025. Satgas SMAP dibentuk sebagai tim khusus yang bertanggung jawab dalam pengawasan, koordinasi, sosialisasi, dan evaluasi pelaksanaan kebijakan anti-penyuapan. Satgas ini berfungsi sebagai garda terdepan dalam deteksi dini potensi risiko korupsi dan penyalahgunaan wewenang. 

Keempat, penyediaan kanal pelaporan pelanggaran. Untuk memfasilitasi pelaporan pelanggaran atau indikasi suap, Pengadilan Agama Tangerang telah menyediakan kanal pengaduan yang dapat diakses oleh masyarakat maupun internal pegawai, termasuk sistem pelaporan digital yang memudahkan proses pengaduan secara anonim dan terlindungi.

Kelima, penggunaan rompi dan atribut SMAP dilakukan secara konsisten dalam kegiatan sosialisasi kepada para pihak berperkara, termasuk saat pelaksanaan descente (pemeriksaan setempat) dan sita eksekusi, sebagai bentuk penegasan komitmen terhadap prinsip transparansi dan antisuap di setiap tahapan pelayanan peradilan. 

Keenam, penandatanganan Pakta Integritas antara para pihak berperkara dan majelis hakim yang dilakukan pada sidang pertama, guna memperkuat akuntabilitas serta membangun kesadaran bersama dalam menjaga integritas proses persidangan. 

Ketujuh, penguatan dukungan eksternal, dengan menyelenggarakan Deklarasi Bersama Dukungan Penerapan SMAP yang melibatkan Wali Kota Tangerang, DPRD Kota Tangerang, Pengadilan Negeri Tangerang, Kapolres Metro Tangerang Kota, Komandan Kodim 0506/Tangerang, Kejaksaan Negeri Tangerang, Instansi Vertikal seperti, Kantor Kementerian Agama Kota Tangerang, Badan Pertanahan Nasional Kota Tangerang, KPKNL Tangerang II, DPC Perhimpunan Advokat Indonesia Kota Tangerang, DPD Kongres Advokat Indonesia, dan Asosiasi Pengusaha Indonesia Kota Tangerang. Penandatanganan Pakta Integritas dengan mitra kerja lainnya seperti mediator nonhakim, Pos Bantuan Hukum (Posbakum), PT Pos Indonesia, dan Bank BRI. 

Kedelapan, pembayaran biaya mediasi dilakukan melalui admin mediator non-hakim yang ditunjuk langsung oleh mediator, dengan menggunakan sistem pembayaran nontunai (cashless). Admin tersebut bukan merupakan bagian dari internal pegawai Pengadilan Agama Tangerang, sehingga tetap menjaga independensi dan menghindari potensi konflik kepentingan dalam proses mediasi.

Pengalaman Awal dari PA Tangerang

Dalam sambutan acara Deklarasi Bersama dukungan SMAP pada Selasa (29/7), Ketua Pengadilan Agama Tangerang, Khalid Gailea, S.H.,M.H., menyatakan, ‘PA Tangerang mengawali SMAP dengan pencanangan pembangunan SMAP pada 5 Maret 2025, kemudian dilanjutkan dengan pembentukan Tim SMAP.

"Dalam struktur SMAP, saya merupakan Manajemen Puncak sedangkan Ketua SMAP atau Ketua Fungsi Kepatuhan Anti Penyuapan (FKAP) adalah Wakil Ketua Pengadilan Agama Tangerang," kata dia.

"SMAP sebagai sebuah sistem bertujuan untuk: Mendukung pengadilan untuk menjunjung dan menegakkan kode etik, meningkatkan kontrol terhadap risiko aktivitas penyuapan, meminimalisir risiko hukum, Menanamkan nilai integritas dan budaya anti suap, serta memajukan kualitas sistem peradilan di Indonesia,’’ ujarnya.

Pengadilan Agama Tangerang layak diapresiasi, karena ini merupakan salah satu dari sedikit pengadilan tingkat pertama yang secara proaktif menyusun dan mengimplementasikan dokumen SMAP secara sistematis.

Penerapan ini tidak dilakukan secara diam-diam atau sebatas formalitas. Sosialisasi kebijakan dilakukan menyeluruh, baik melalui kanal internal maupun layanan publik. Lebih penting lagi, pimpinan lembaga juga terlibat aktif mendorong terbentuknya budaya kerja yang menolak kompromi terhadap praktik suap.

Namun, pekerjaan besar belum selesai. Meskipun berbagai upaya telah dijalankan, efektivitas program antisuap seperti SMAP tetap membutuhkan pengukuran berkelanjutan. 

Berdasarkan data survei triwulan I-2025 yang melibatkan 555 responden, Pengadilan Agama Tangerang memperoleh nilai Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) sebesar 3,86, Indeks Persepsi Kualitas Pelayanan (IPKP) 3,87, dan Indeks Persepsi Anti Korupsi (IPAK) 3,88. Pada Triwulan II, dari 271 responden, terjadi peningkatan yang cukup signifikan: IKM naik menjadi 3,96, begitu pula dengan Indeks Kualitas Pelayanan dan IPAK yang masing-masing mencapai 3,96.

Angka-angka ini menunjukkan tren perbaikan persepsi masyarakat terhadap pelayanan dan integritas lembaga, meskipun peningkatannya masih tergolong moderat. Sebagai satker yang telah menerapkan SMAP, idealnya Pengadilan Agama Tangerang mampu meraih nilai IPKP dan IPAK yang maksimal dalam skala empat.

Hal itu menguatkan kesimpulan bahwa keberhasilan SMAP tidak bisa dinilai dalam jangka pendek, melainkan harus dilihat melalui perubahan pola kerja, konsistensi pelayanan, serta persepsi publik yang terus dibangun secara konsisten, konsekuen dan kontinitik.

Karena itu, evaluasi SMAP semestinya dilakukan dengan meninjau indikator-indikator yang lebih substansial: mulai dari perubahan budaya kerja aparatur, meningkatnya kepuasan publik terhadap pelayanan pengadilan, hingga hasil audit etik yang dilakukan secara berkala. Hanya dengan pendekatan semacam itulah, SMAP bisa benar-benar menjadi alat transformasi, bukan sekadar dokumen di atas kertas.

Menuju Penguatan Sistemik

Sebagai institusi yang berada di garis terdepan dalam penegakan hukum dan keadilan, Pengadilan Agama Tangerang telah mengambil langkah penting melalui penerapan SMAP sebagai upaya strategis memperkuat integritas yudisial.

Meskipun tantangan dalam internalisasi nilai antisuap masih nyata, komitmen kelembagaan yang terbangun menjadi modal utama untuk melanjutkan reformasi secara berkelanjutan. 

Penerapan SMAP di Pengadilan Agama Tangerang menunjukkan bahwa reformasi peradilan tidak selalu harus dimulai dari pusat dan ini merupakan langkah awal yang patut diapresiasi, namun perjalanan membangun integritas yudisial yang kokoh masih panjang. Dari satuan kerja tingkat pertama, komitmen terhadap budaya antisuap bisa tumbuh dan memberi contoh. 

Reformasi peradilan sejatinya bukan hanya soal kebijakan dan sistem, tetapi juga tentang komitmen, keteladanan, dan konsistensi nilai. Dalam hal ini, SMAP dapat menjadi fondasi penting, asal tidak hanya dipandang sebagai dokumen, tetapi dihidupkan sebagai nilai.
Kemudian, agar SMAP tidak berhenti juga sebagai proyek formalitas atau sekadar instrumen "compliance", perlu ada upaya penguatan dari hulu ke hilir. Pertama, kepemimpinan yang berintegritas harus menjadi role model yang konsisten. Kedua, perlu integrasi SMAP dengan sistem pengawasan dan pengaduan publik yang responsif. 

Meski masih menghadapi tantangan dalam hal internalisasi dan belum terlihat dampak kuantitatif yang signifikan, langkah ini tetap layak diapresiasi. Integritas lembaga peradilan tak hanya dibangun lewat aturan, tetapi melalui keteladanan, konsistensi, dan perubahan budaya dari dalam. 

SMAP bisa menjadi pijakan awal, asal dijalankan bukan sekadar sebagai formalitas, tapi sebagai bagian dari upaya kolektif memulihkan kepercayaan publik yang telah lama rapuh.
Keberhasilan SMAP tidak hanya diukur dari penurunan angka pelanggaran etik, tetapi juga dari terbangunnya budaya kerja yang jujur, transparan, dan akuntabel di setiap lini pengadilan. 

Oleh karena itu, penguatan pelatihan, pengawasan, serta keterlibatan aktif seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) harus menjadi prioritas, agar SMAP benar-benar menjadi fondasi integritas yang kokoh dan mampu mengembalikan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan di Indonesia, khususnya di Pengadilan Agama Tangerang.
 

Penulis: Fahmi Aziz
Editor: Tim MariNews