Advokat Gugat Presiden: Desak Banjir Aceh, Sumut dan Sumbar Ditetapkan Bencana Nasional

Arjana dalam gugatannya menyebut bahwa empat pejabat negara yang digugat Presiden, Menteri Kehutanan, Menteri Keuangan, dan Kepala BNPB.
Gedung PTUN Jakarta | Foto : Dokumentasi PTUN Jakarta
Gedung PTUN Jakarta | Foto : Dokumentasi PTUN Jakarta

Jakarta — Sebuah langkah hukum yang mengejutkan publik muncul di tengah bencana banjir besar yang melanda Provinsi Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Seorang advokat, Arjana Bagaskara Solichin, S.H., M.H., resmi mengajukan Gugatan Warga Negara (Citizen Lawsuit) kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta untuk menuntut pemerintah pusat segera menetapkan banjir besar yang menewaskan ratusan orang tersebut sebagai Bencana Nasional.

Gugatan tersebut, ditujukan langsung kepada Presiden Republik Indonesia, Menteri Kehutanan, Menteri Keuangan, dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Arjana menggugat pemerintah setelah merujuk data BNPB per 3 Desember 2025 yang mencatat besarnya dampak banjir dalam dua pekan terakhir, yakni 753 orang meninggal dunia, 650 orang hilang, 2.600 orang mengalami luka-luka, dan 576.300 warga terpaksa mengungsi yang tersebar di tiga provinsi tersebut.

Menurutnya, jumlah korban dan kerusakan yang begitu besar seharusnya menjadi dasar kuat bagi pemerintah untuk menetapkan status bencana nasional, terlebih situasi sosial-ekonomi masyarakat telah lumpuh akibat banjir bandang tersebut.

Namun hingga gugatan ini diajukan, status itu belum juga ditetapkan oleh Presiden sebagai pihak yang berwenang.

Dalam gugatannya, Arjana menegaskan bahwa musibah tersebut tidak hanya disebabkan oleh faktor alam, tetapi juga diperparah oleh deforestasi liar di wilayah Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.

Ia mengutip data resmi pemerintah yang menunjukkan bahwa kerusakan tutupan hutan dalam beberapa tahun terakhir cukup signifikan. Misalnya, Aceh mengalami perubahan tutupan lahan seluas 21.476 hektare, sementara Sumatera Utara kehilangan lahan hutan hingga 9.424 hektare, dan Sumatera Barat tercatat berubah seluas 1.821 hektare dalam periode 2019–2024.

Di wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) terdampak, puluhan ribu hektare telah dinyatakan sebagai lahan kritis, yang memperbesar risiko banjir. Semua informasi ini terangkum dalam gugatan yang diajukan Arjana kepada PTUN Jakarta.

Arjana dalam gugatannya menyebut bahwa empat pejabat negara yang digugat Presiden, Menteri Kehutanan, Menteri Keuangan, dan Kepala BNPB telah lalai menjalankan kewajiban hukum mereka.

Presiden dinilai belum mengambil langkah penting dengan menetapkan status bencana nasional.

Menteri Kehutanan dianggap melakukan pembiaran deforestasi sehingga memperburuk banjir.

Menteri Keuangan dinilai tidak memberikan dukungan pendanaan maksimal bagi masyarakat terdampak, sementara Kepala BNPB dianggap tidak melakukan koordinasi memadai dengan Presiden untuk mendorong penetapan status darurat bencana secara nasional.

Dalam pandangan Penggugat, kelalaian kolektif ini berpotensi menyebabkan semakin banyak korban jiwa dan kerugian material.

Gugatan tersebut merujuk pada sejumlah dasar hukum, termasuk Pasal 26 dan 27 UUD 1945, UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, serta Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2018 yang mengatur koordinasi lembaga dalam keadaan tertentu.

Arjana menilai bahwa seluruh indikator penetapan bencana nasional seperti jumlah korban, kerusakan prasarana, cakupan wilayah, dan dampak sosial-ekonomi sudah terpenuhi, sehingga tidak lagi ada alasan bagi pemerintah untuk menunda status tersebut.

Ia menegaskan bahwa sebagai advokat sekaligus warga negara, dirinya berkewajiban menegakkan keadilan dan memastikan hak masyarakat terlindungi oleh negara.

Melalui petitum gugatannya, Arjana meminta majelis hakim PTUN Jakarta untuk mengabulkan gugatan seluruhnya, memerintahkan Presiden menetapkan banjir Aceh–Sumut–Sumbar sebagai Bencana Nasional, serta menghukum para tergugat membayar biaya perkara. Ia juga meminta putusan seadil-adilnya apabila majelis hakim memiliki pertimbangan hukum lain (ex aequo et bono).

Gugatan ini, sekaligus menjadi bentuk peringatan dan desakan kepada pemerintah agar bertindak cepat dan sigap ketika nyawa ratusan ribu rakyat berada dalam ancaman. Dengan langkah hukum ini, publik kini menunggu bagaimana respons pemerintah pusat dan bagaimana PTUN Jakarta menilai urgensi serta legal standing dari gugatan warga negara tersebut.