"Putusan contra legem harus memiliki landasan filosofis dan integritas akademik yang tinggi, serta moral dan etika yang kukuh. Bila tidak, maka hakim telah merusak legitimasi sistem peradilan."
Petikan kalimat dari Prof. Dr. Drs. H. Amran Suadi, S.H.,M.Hum.,M.M.,CPArb dan Dr. M. Khusnul Khuluq, S.Sy.,M.H, pada halaman awal dalam buku Contra Legem Dalam Putusan Hakim (Perspektif Filsafat Keadilan dan Kebenaran), bukanlah sekadar kutipan, melainkan manifesto yang menyadarkan kita bahwa dunia hukum dan dunia akademik tidak bisa dipisahkan, bahkan membutuhkan satu sama lain, saling terikat dan terkait, terutama ketika seorang hakim memutuskan untuk mengambil langkah kontroversial dengan melakukan contra legem.
Keterkaitan-Keterikatan Putusan Hakim dan Pengetahuan Akademik
Sebelum membahas lebih jauh perihal mutualisme putusan hakim dan pengetahuan akademik seorang hakim, perlu dipahami bahwa putusan hakim adalah akhir dari adanya pengajuan sengketa di Pengadilan.
Putusan ini bukan sekadar formalitas, melainkan merupakan mahkota dan barometer keberhasilan pengadilan dalam memeriksa dan mengadili perkara, serta tolok ukur penerapan ketentuan hukum yang berlaku.
Oleh karena itu, kualitas putusan harus dijaga ketat agar mencerminkan keadilan, yang terkadang menuntut hakim untuk mengambil langkah inovatif, bahkan berani menyimpang dari bunyi literal undang-undang.
Salah satu bentuk keberanian tersebut dikenal dengan istilah contra legem. Secara harfiah, contra legem berarti "bertentangan dengan undang-undang". Namun, dalam konteks hukum, pendekatan ini dimaknai sebagai tindakan menyimpangi teks suatu peraturan demi mewujudkan suatu keadilan yang lebih substansial.
Tindakan ini, meskipun bertujuan mulia, membawa risiko tinggi, yaitu ketika dilakukan tanpa basis pemikiran yang kokoh, maka penyimpangan putusan tersebut dapat tergelincir menjadi kesewenang-wenangan atau bahkan pelanggaran hukum itu sendiri. Di sinilah letak esensi dari keterkaitan antara putusan dan kedalaman ilmu seorang hakim.
Mutualisme putusan hakim dan pengetahuan akademik seorang hakim memiliki keterikatan dan keterkaitan yang erat, pengetahuan akademik menjadi penguat dalam bangunan berfikir pada putusan hakim, begitupun putusan hakim akan menjadi batu uji pada dunia akademik untuk melakukan pengembangan-pengembangan teori ataupun melakukan reposisi suatu teori hukum.
Hubungan keduanya ibarat rel dan gerbong kereta, atau mesin dan rangka, keduanya saling memberi manfaat, saling bergantung, dan esensial bagi kelangsungan sistem peradilan yang berkeadilan.
Selain daripada itu, pengetahuan akademik seorang hakim berperan sebagai pelindung atau "benteng" rasionalisasi. Ia menjadi justifikasi intelektual yang membedakan putusan berani yang berdasarkan pada rechtsvinding (penemuan hukum) dari putusan yang sekadar mengabaikan hukum.
Putusan tanpa diikuti kekokohan dan ketajaman akademik seorang hakim laksana menyelami suatu naskah tanpa arah dan makna. Kualitas putusan akan merosot tajam, cenderung dibuat dengan penuh kekakuan formalistik, menciptakan copy-paste putusan dari sebelumnya dan putusan berikutnya, dan hal tersebut menjadikan putusan kehilangan ruh ilmu yang berdampak serius pada kualitas keadilan yang ditegakkan.
Dengan demikian, pengetahuan akademik seorang hakim merupakan elemen penting dalam pembuatan putusan agar dapat mencapai keadilan yang substantif.
Salah satu contoh penting penerapan prinsip contra legem dalam sengketa perdata agama adalah melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor 226 K/AG/2010. Putusan ini telah membentuk kaidah hukum baru yang progresif: dalam perkara harta bersama (gono-gini), penetapan bagian suami dan istri tidak harus selalu dibagi rata (50:50).
Dengan kata lain, hakim telah menyimpangi ketentuan Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam (KHI) demi mencapai keadilan substantif, misalnya dengan memberikan porsi yang lebih besar kepada pihak yang memiliki kontribusi lebih dominan atau mengalami kerugian yang lebih besar.
Namun, tindakan berani menyimpang dari teks undang-undang ini mustahil dilakukan tanpa didukung kekokohan pengetahuan akademik hakim. Keterkaitan ini menegaskan adanya mutualisme yang erat antara putusan hakim dan dunia akademik.
Pengetahuan akademik menyediakan alat analisis dan landasan filosofis yang mengubah penyimpangan contra legem dari potensi risiko menjadi implementasi keadilan yang berani dan bertanggung jawab. Oleh karenanya Putusan yang berkualitas dan bermutu merupakan hasil dari serangkaian proses intergasi pengetahuan akademik.
Untuk menghasilkan putusan yang berkeadilan tersebut, maka hakim wajib mengikuti prosedur sistematis yang mencakup fase pra-persidangan, persidangan, dan pasca-persidangan.
Adapun secara teknis internal proses inti pengambilan keputusan oleh hakim mensyaratkan 3 (tiga) pilar utama dalam merumuskan dan mengambil keputusan, yakni mengkonstatir, mengkualifisir, dan mengkonstituir.
Tiga Pilar Proses Pengambilan Putusan;
1. Mengkonstatir (Factualisation)
Tahapan ini adalah fondasi faktual. Hakim dituntut untuk melakukan pengamatan cermat dan menguatkan kepekaannya terhadap segala hal yang terjadi di persidangan. Tugas utama hakim di sini adalah meninjau dan memverifikasi alat bukti untuk menemukan kebenaran dan fakta atas peristiwa hukum yang diajukan.
2. Mengkualifisir (Legal Qualification)
Setelah fakta ditemukan, hakim akan melakukan pengklasifikasian norma hukum (baik tertulis maupun tidak tertulis). Norma ini dijadikan sebagai batu uji untuk menilai apakah peristiwa hukum tersebut beralasan menurut hukum atau tidak.
Pada tahapan inilah pengetahuan akademik seorang hakim menjadi penentu kualitas putusannya. Hakim tidak hanya dituntut untuk mencocokkan fakta dengan teks undang-undang, tetapi juga untuk menentukan apakah semestinya dilakukan suatu penemuan hukum (rechtsvinding).
Rechtsvinding ini dapat ditempuh melalui interpretasi (penafsiran) yang mendalam atau bahkan melalui konstruksi hukum (pembentukan hukum baru) jika aturan yang ada terbukti vacuum of norm (kekosongan norma) atau menghasilkan ketidakadilan.
Pengetahuan akademik dan kerangka berpikir filosofis menjadi penunjang utama dalam kerangka bangunan berpikir seorang hakim. Apabila kerangka bangunan itu rapuh, terdapat posibilitas besar putusan hakim akan dibatalkan pada tingkatan yang lebih tinggi, bahkan kehilangan legitimasi sosiologisnya di mata masyarakat.
3. Mengkonstituir (Decision-Making)
Tahapan ini adalah klimaks dan puncak otorisasi hakim. Setelah tuntas melaksanakan factualisation dan legal qualification dengan pertimbangan yang mendalam, hakim akan menetapkan hukumnya. Putusan yang dijatuhkan harus sesuai dengan pertimbangan-pertimbangannya yang kokoh, peraturan perundang-undangan yang berlaku, sekaligus berlandaskan pada prinsip keadilan dan kemanfaatan.
Simbiosis Mutualisme Putusan Hakim dan Intelektual Hakim
Hubungan mutualisme antara dunia hukum dan akademik bukan hanya sekadar idealitas, ia adalah kebutuhan esensial dalam menjaga marwah peradilan. Seorang hakim tidak bisa lagi hanya menjadi "corong undang-undang" (la bouche de la loi), ia harus bertransformasi menjadi penjaga gerbang keadilan.
Peran ganda ini menuntut hakim untuk terus mengasah pengetahuan akademik, memperluas cakrawala berpikir melalui filsafat hukum, sosiologi hukum, dan teori-teori keadilan. Intelektual yang kokoh menjadi landasan prima facie ketika hakim harus melakukan contra legem, yaitu menyimpangi teks undang-undang demi mewujudkan keadilan substantif.
Tanpa fondasi ilmu yang kuat, tindakan contra legem akan merosot menjadi kesewenang-wenangan, merusak legitimasi sistem peradilan secara fundamental.
Pengasahan dan perluasan pengetahuan akademik yang dimaksud bukan semata tentang jenjang atau strata pendidikan, namun esensi sebenarnya adalah adanya keinginan dan tekad yang kuat untuk senantiasa mengasah dan melakukan pengembangan diri dengan memperkaya literasi hukum baik melalui bacaan maupun diskusi hukum, baik secara manual maupun virtual, demi terciptanya suatu putusan yang berkualitas yang mewujudkan keadilan substansial.
Oleh karena itu, kualitas putusan berbanding lurus dengan kualitas akademis dan moral hakim yang memutuskannya. Dalam proses pengambilan putusan, terutama pada tahap Mengkualifisir (legal qualification), pengetahuan akademik hakim menjadi penentu apakah ia hanya akan mencocokkan fakta dengan aturan (rigid formalisme) ataukah berani melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) melalui interpretasi dan konstruksi.
Ketika putusan mencerminkan kedalaman ilmu, ketajaman analisis, dan keberanian moral, putusan tersebut tidak hanya sah secara prosedural, tetapi juga bermakna, bernyawa, dan mampu memenuhi ekspektasi keadilan sosiologis masyarakat.
Dengan demikian maka putusan hakim dan pengetahuan akademik membentuk hubungan simbiotik. Pengetahuan akademik memperkaya kemampuan hakim untuk melakukan penemuan hukum ketika teks norma tidak memadai, sementara putusan hakim menjadi sumber pengayaan bagi perkembangan teori hukum.
Praktik contra legem dapat menjadi alat untuk mewujudkan keadilan substantif, namun keabsahannya bergantung penuh pada kekokohan basis pengetahuan akademik hakim.
leh karenanya, demi terwujudnya suatu putusan yang berkeadilan maka penguatan pengetahuan dan kemampuan akademik hakim adalah kewajiban yang tidak bisa ditawar agar contra legem tetap sah, bertanggung jawab, dan legitimatif.
Untuk mencapai tujuan tersebut, penting untuk segera meningkatkan pemahaman metodologi penemuan hukum Hakim, yang dapat diwujudkan melalui bimbingan teknis yang terstruktur dan komprehensif mengenai "metode penemuan hukum".