Etika Ekologi Sebagai Kebenaran Hukum

Untuk memahami mengapa hukum kita gagap merespons krisis lingkungan, kita perlu merenungkan analogi sejarah yang diajukan Aldo Leopold.
Ilustrasi hukum lingkungan. Foto robinarpanggabeanlawfirmandparthners.com/
Ilustrasi hukum lingkungan. Foto robinarpanggabeanlawfirmandparthners.com/

“conservation is a state of harmony between men and land” - Aldo Leopold -

Di tengah maraknya kerusakan lingkungan hidup yang semakin mengkhawatirkan, mulai dari deforestasi masif, pencemaran sungai oleh limbah industri, hingga perubahan iklim yang mengancam keberlanjutan kehidupan, penegakan hukum lingkungan kita sering kali terjebak pada jalan buntu.

Meskipun instrumen hukum administratif, pidana, maupun perdata telah diterapkan, realitas menunjukkan bahwa sanksi-sanksi tersebut kerap gagal menciptakan efek jera sejati atau pemulihan yang berkelanjutan.

Kegagalan ini terjadi karena hukum sering kali hanya berfokus pada aspek legal formal dan memandang alam semata-mata sebagai objek pemuas kebutuhan manusia, mengabaikan dimensi moral bahwa hukum sejatinya adalah cerminan etika bersama yang harus terus berevolusi. 

Sehingga diperlukan dekonstruksi paradigma dengan meminjam pemikiran Aldo Leopold tentang The Land Ethic yang disanding dengan prespektif Deep Ecologi (Ekologi Dalam), sebagai tawaran bagi para hakim untuk menemukan “roh” keadilan ekologis.

Untuk memahami mengapa hukum kita gagap merespons krisis lingkungan, kita perlu merenungkan analogi sejarah yang diajukan Aldo Leopold mengenai kepulangan Odysseus dari perang Troya. 

Ketika Odysseus menggantung selusin budak perempuannya atas dasar kecurigaan, tidak ada pertanyaan tentang keadilan yang muncul di Yunani kala itu. Mengapa? Karena budak adalah properti. 

Hubungan Odysseus dengan budaknya adalah hubungan pemilik dan benda, sebuah hubungan yang murni didasarkan pada expediency (kegunaan/keuntungan), bukan benar atau salah.

Ribuan tahun kemudian, etika antar manusia telah berkembang (demokrasi, HAM), namun hubungan manusia dengan tanah (land) masih berada di tahap "Odysseus". 

Tanah, air, dan hutan masih dipandang sebagai properti yang memberikan hak istimewa (privileges) tanpa kewajiban moral (moral obligations).

Di sinilah letak kekosongan hukum kita. Filsuf Christopher Stone dalam tesisnya "should trees have standing?" memperkuat pandangan Leopold ini. 

Stone berargumen bahwa sepanjang sejarah, hak hukum selalu diperluas kepada entitas yang sebelumnya dianggap "benda" (seperti wanita, anak-anak, dan budak). Leopold menegaskan bahwa langkah evolusi etika selanjutnya, sebagai kebutuhan ekologis adalah memperluas batas komunitas moral untuk mencakup tanah, air, tanaman, dan hewan.

Tantangan terbesar dalam pembuktian di persidangan perkara lingkungan adalah penerjemahan "kerusakan alam" ke dalam bahasa hukum. 

Sering kali, kerusakan lingkungan direduksi sekadar menjadi kerugian ekonomi negara atau hilangnya komoditas kayu. Perspektif ini ditentang keras oleh filosofi ekosentrisme.

Leopold memperkenalkan konsep Piramida Biotik. Alam bukanlah sekumpulan objek statis, melainkan sirkuit energi yang mengalir dari tanah, ke tumbuhan, serangga, hingga hewan. 

Setiap spesies, termasuk manusia, adalah mata rantai dalam sirkuit energi ini. Tindakan perusakan lingkungan (seperti pembakaran hutan atau pencemaran limbah) bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan sebuah kekerasan (violence) yang memotong rantai energi dan struktur kehidupan yang telah berevolusi selama ribuan tahun.

Hal ini sejalan dengan pemikiran filsuf Arne Naess melalui konsep Deep Ecology. Naess membedakan antara "ekologi dangkal" (yang hanya peduli pada polusi dan penepisan sumber daya demi kesehatan manusia/affluent classes) dengan "ekologi dalam" (yang mengakui hak intrinsik setiap makhluk hidup untuk berkembang, terlepas dari kegunaannya bagi manusia).

Bagi seorang Hakim, memahami Piramida Biotik berarti menyadari bahwa pemulihan lingkungan tidak cukup hanya dengan "Reboisasi Asal-asalan" atau ganti rugi uang. Intervensi manusia yang kasar sering kali memicu dampak tak terduga pada struktur piramida. 

Oleh karena itu, putusan pengadilan harus beralih dari sekadar menghitung economic valuation menuju perlindungan ecological integrity.

Oleh karena itu, aparat penegak hukum kini dihadapkan pada sebuah pilihan ideologis yang disebut Leopold sebagai "Cleavage A-B" (Perpecahan A-B), yaitu:

  • Kelompok A memandang tanah sebagai tanah (soil) semata dan fungsinya sebagai produksi komoditas, Hutan dilihat sebagai ladang kubikasi kayu, dan satwa liar sebagai target buruan atau hama. Ideologinya adalah pemanfaatan maksimal demi keuntungan ekonomi.
  • Kelompok B (Ekosentris/Ekologis): Memandang tanah sebagai biota (kehidupan). Mereka menyadari fungsi hutan sekunder, satwa liar, dan daerah aliran sungai sebagai organ vital dari organisme kolektif bumi. Kelompok ini digerakkan oleh hati nurani ekologis (ecological conscience).

Filsuf Hans Jonas dalam The Imperative of Responsibility memperkuat posisi Kelompok B ini. Jonas berpendapat bahwa etika tradisional (yang bersifat antroposentris dan here-and-now) tidak lagi cukup untuk menangani teknologi modern yang daya rusaknya bersifat global dan ireversibel. 

Tanggung jawab hukum hakim harus menjangkau masa depan, menjaga agar "kemungkinan adanya kehidupan" tetap ada.

Jika hakim tetap bertahan di Kelompok A, maka sistem peradilan kita akan terus melahirkan putusan yang pincang (lopsided). Sedangkan apabila hakim mengadopsi posisi "Kelompok B" berarti menyadari bahwa sistem konservasi yang hanya didasarkan pada kepentingan ekonomi (economic self-interest) adalah sistem yang pincang. 

Banyak elemen dalam komunitas lahan (seperti burung kicau atau bunga liar) tidak memiliki nilai ekonomi, namun mereka berhak untuk tetap ada demi integritas biotik. Tanpa kesadaran etis ini, hukum positif hanya akan menjadi "kulit kosong" yang mudah dilanggar demi kepentingan ekonomi jangka pendek.

Sebagai penutup, "roh moral" dalam setiap pertimbangan hukum putusan perkara lingkungan hidup di Indonesia dapat berlandaskan pada prinsip Leopold: "a thing is right when it tends to preserve the integrity, stability, and beauty of the biotic community. it is wrong when it tends otherwise" (Sesuatu itu benar bila cenderung melestarikan integritas, stabilitas, dan keindahan komunitas biotik dan salah bila cenderung sebaliknya). 

Dengan mengadopsi nilai moral ini, hakim tidak hanya menegakkan undang-undang, tetapi juga demi keberlangsungan kehidupan itu sendiri.

Penulis: Rafi Muhammad Ave
Editor: Tim MariNews