Kecepatan masyarakat menerima informasi melalui media sosial dan media massa era digital saat ini, penyampaian informasi semakin mudah di genggam, sehingga kerap menimbulkan pro dan kontra. Informasi yang kurang tepat, berita tidak berimbang dalam dinamika pemberitaan di media massa.
Atas hal ini, kebenaran informasi yang sesungguhnya menjadi penting untuk disampaikan agar tidak terjadi pemberitaan bias, khususnya mengenai pemberian amnesti dan abolisi, tidak ada kaitannya dengan putusan hakim.
Putusan Hakim Dianggap Benar
Res judicata pro veritate habetur memiliki arti putusan hakim dianggap benar. Res judicata pro veritate habetur dapat juga diartikan putusan hakim itu, harus dianggap benar dan tidak bisa dipersalahkan, karena putusan hakim sama dengan undang-undang. Artinya, putusan hakim dianggap benar, sebelum ada pembatalan oleh pengadilan yang lebih tinggi.
Berdasarkan pemahaman tersebut, dapat kita pahami bahwa asas res judicata dianggap penting bagi seluruh pihak, karena putusan hakim merupakan otoritas kebenaran yang dihasilkan melalui proses persidangan terstruktur, transparan, dan rasional. Menghormati asas ini, juga dapat diartikan sebagai bentuk menjunjung tinggi supremasi hukum demi kepastian, kemanfaatan, dan keadilan di Indonesia.
Hakim dalam Membuat Putusan Tidak Bisa di Intervensi
Firman Floranta Adonara,dalam buku yang berjudul Prinsip Kebebasan Hakim dalam Memutus Perkara Sebagai Amanat Konstitusi menjelaskan, dalam memutus suatu perkara, hakim mempunyai sifat merdeka atau mandiri dari intervensi pihak manapun baik kekuasaan eksekutif, legislatif atau masyarakat (pers). Kekuasaan kehakiman yang merdeka, menjamin terwujudnya peradilan jujur dan adil, sehingga memenuhi kepastian hukum di masyarakat berdasarkan hukum yang berlaku.
Menurut Antonius Sudirman, dalam memutus suatu perkara, hakim wajib didahului dengan ucapan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Maksudnya, dalam memutus perkara seorang hakim selain bersandar pada Undang-Undang, juga tidak boleh mengabaikan suara hati nuraninya demi menguntungkan diri sendiri, memberi kepuasaan penguasa, menguntungkan kaum powerful (secara politik dan ekonomi) atau demi menjaga kepastian hukum semata.
Prinsip Ius Curia Novit
Dalam sistem peradilan pidana Indonesia, memiliki beberapa tahap mekanisme proses penanganan suatu perkara pidana. Pada tahap pertama, pemeriksaan atau dikenal dengan penyelidikan dan penyidikan, yang dilakukan oleh pihak kepolisian. Selanjutnya dilimpahkan ke kejaksaan, untuk disidik lebih lanjut dan sampai pada proses pelimpahan di pengadilan, serta akhirnya masuk pada persidangan
Prinsip ius curia novit ini, juga ditegaskan Pasal 10 UU Kekuasaan Kehakiman. Maka, ditarik kesimpulan tugas dan wewenang hakim secara umum, yakni menerima, memeriksa, mengadili, memutuskan dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.
Hakim dalam menerima perkara bersifat pasif atau menunggu sampai ada perkara yang diajukan kepadanya, tanpa mencari atau mengejar perkara tersebut.
Kewenangan Presiden dalam Pemberian Amnesti dan Abolisi
Berbeda dengan pemberian grasi dan rehabilitasi, kewenangan amnesti dan abolisi memiliki mekanisme khusus. Dalam sistem hukum Indonesia, presiden memegang kekuasaan pemerintahan umum sekaligus kekuasaan khusus, termasuk memberi pengampunan hukum dalam bentuk amnesti dan abolisi.
Berdasarkan Pasal 14 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945, Presiden berwenang memberikan grasi, rehabilitasi, amnesti, dan abolisi. Kewenangan ini dijalankan dengan memperhatikan pertimbangan: Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk amnesti dan abolisi, dan dari Mahkamah Agung (MA) untuk grasi dan rehabilitasi.
Khusus grasi, ketentuan Pasal 14 ayat (1) UUD 1945 didelegasikan kepada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi dan Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1948 tentang Grasi. Sedangkan amnesti dan abolisi diatur dalam Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi, yang bersifat einmalig (sekali selesai) karena hanya berlaku untuk subjek yang tercantum pada Pasal 2 undang-undang tersebut.
Dalam praktiknya, pemerintah saat ini hanya mendasarkan pemberian amnesti dan abolisi pada ketentuan UUD NRI 1945. Menurut Suyogi Imam Fauzi dalam jurnal hukumnya Politik Hukum Pemberian Grasi, Amnesti, dan Abolisi sebagai Konsekuensi Logis Prerogatif, jumlah pemberian amnesti dan abolisi sejak era Orde Lama hingga pascareformasi relatif sedikit dan tidak pernah mencapai ratusan kasus.
Sementara itu, Hendarmin Ranadireksa dalam bukunya Visi Bernegara Arsitektur Konstitusi Demokratik menegaskan, belum ada indikator baku untuk mengabulkan permohonan grasi maupun pemberian amnesti dan abolisi. Hal ini membuat keputusan sepenuhnya berada pada hak prerogatif presiden, yang dituangkan melalui Keputusan Presiden (Keppres).
Berdasarkan Keppres tentang pemberian amnesti, penerima amnesti umumnya berstatus terpidana. Artinya, subjek hukum yang menerima amnesti biasanya sedang menjalani hukuman pidana atau telah memiliki putusan berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Kewenangan Pemberian Amnesti dan Abolisi Bukan Persoalan Teknis Yudisial
Dalam konteks kewenangan yudisial, presiden memiliki dasar konstitusional untuk memberikan pengampunan berupa grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi. Pemberian pengampunan ini, bukanlah persoalan teknis yuridis peradilan, serta tidak terkait dengan penilaian atau pengubahan putusan hakim.
Kekuasaan prerogatif presiden yang diatur dalam UUD 1945 merupakan salah satu bentuk penerapan prinsip check and balances antara kekuasaan eksekutif dengan cabang kekuasaan lainnya, yakni yudikatif (peradilan) dan legislatif (pembentuk undang-undang).
Dengan demikian, amnesti dan abolisi merupakan tindakan administratif dan politik presiden, bukan bagian dari proses persidangan yang diputuskan hakim.
Implikasi terhadap Putusan Hakim
Jika diberikan sebelum hakim memutus perkara, proses hukum akan dihentikan dan perkara tidak dilanjutkan.
Jika diberikan setelah ada putusan pengadilan, efeknya adalah menghapus akibat pidana, namun tidak mengubah isi atau substansi putusan hakim.
Sejarah Pemberian Amnesti dan Abolisi
Sejak era Presiden Soekarno hingga Presiden Joko Widodo, amnesti dan abolisi telah diberikan dalam berbagai kasus melalui Keputusan Presiden (Keppres).
Salah satu kasus yang menonjol terjadi pada pada 2019, ketika presiden memberikan amnesti kepada Baiq Nuril, terpidana kasus penyebaran konten bermuatan asusila. Berdasarkan putusan kasasi Mahkamah Agung, Baiq Nuril dijatuhi hukuman enam bulan penjara dan denda Rp500 juta. Putusan ini bersifat final (final and binding).
Kasus Baiq Nuril memicu gerakan simpati publik yang menilai adanya ketidakadilan. Atas pertimbangan tersebut, Presiden-dengan persetujuan DPR-memberikan amnesti, sehingga Baiq Nuril terbebas dari pelaksanaan hukuman.
Kesimpulan
Pemberian amnesti dan abolisi tidak memengaruhi atau mengubah isi putusan hakim. Keputusan tersebut, hanya menghapus atau menghentikan proses hukum serta akibat pidana, berdasarkan pertimbangan politik presiden. Oleh karena itu, keduanya tidak berkaitan langsung dengan kekuasaan kehakiman.
Saran
Pemerintah sebaiknya segera merumuskan dan mengesahkan peraturan yang secara tegas mengatur amnesti dan abolisi sesuai UUD 1945. Hal ini penting untuk mencegah kebingungan hukum serta meminimalkan pro dan kontra di masyarakat.