Ditjen Badilag Gelar Bimtek Jinayat, Fokus Perlindungan Kaum Rentan

Bimtek terakhir ini mengusung tema krusial: “Pedoman Mengadili Perkara Kaum Rentan Berhadapan dengan Hukum dalam Perkara Jinayat”.
Bimbingan Teknis Ditjen Badilag dengan Tema “Pedoman Mengadili Perkara Kaum Rentan Berhadapan dengan Hukum dalam Perkara Jinayat. Fokumentasi via zoom
Bimbingan Teknis Ditjen Badilag dengan Tema “Pedoman Mengadili Perkara Kaum Rentan Berhadapan dengan Hukum dalam Perkara Jinayat. Fokumentasi via zoom

MARINews, Jakarta - Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama (Ditjen Badilag) Mahkamah Agung RI, kembali menegaskan komitmennya dalam memperkuat sumber daya manusia (SDM) di lingkungan peradilan agama. 

Melalui bimbingan teknis (bimtek) daring, Ditjen Badilag menyelenggarakan sesi lanjutan dari rangkaian panjang bimtek yang telah dimulai sejak 19 Maret 2025 dimana seluruh kegiatannya terkoneksi secara sistematis melalui aplikasi Sipintar. 

Bimtek terakhir ini mengusung tema krusial: “Pedoman Mengadili Perkara Kaum Rentan Berhadapan dengan Hukum dalam Perkara Jinayat”. 

Berdasarkan surat dirjen badilag nomor 2109/DJA/DL1.10/VIII/2025 yang dipublish melalui website resminya, seluruh tenaga teknis peradilan Agama dipanggil untuk mengikuti kegiatan tersebut dengan dibagi menjadi 4 wilayah.

Tujuan utama dari bimtek ini adalah meningkatkan pemahaman dan kompetensi teknis para tenaga peradilan dalam menangani kasus-kasus hukum pidana Islam (jinayat) yang melibatkan kelompok rentan seperti perempuan, anak, penyandang disabilitas, dan lansia. 

Partisipasi dari seluruh tenaga teknis peradilan agama se-Indonesia menunjukkan keseriusan Badilag dalam mewujudkan peradilan yang profesional dan berkeadilan.

Bimtek melalui aplikasi zoom ini secara khusus mengupas tuntas tata cara mengadili perkara jinayat yang melibatkan kaum rentan, sebuah isu yang sangat relevan, terutama di Aceh.

Di provinsi Serambi Mekkah, Qanun Aceh menjadi dasar hukum pidana yang berlaku, yang mencakup berbagai tindak pidana seperti khamar (minuman keras), maisir (judi), hingga ikhtilath (percampuran laki-laki dan perempuan bukan mahram).
Dalam perspektif fikih jinayah, hukum pidana Islam memiliki tujuan utama (maqashid syari'ah) untuk melindungi lima pokok kehidupan, yaitu agama (din), jiwa (nafs), akal ('aql), keturunan (nasl), dan harta (mal).

Namun, ketika pelaku atau korban adalah kaum rentan, prinsip keadilan tidak bisa diterapkan secara kaku. Di sinilah teori perlindungan hukum memainkan peran penting.

Qanun Aceh secara jelas menetapkan sanksi untuk para pelanggar hukum pidana Islam (jinayah). Namun, Mahkamah Syar’iyah di wilayah Aceh menghadapi tantangan besar saat harus mengadili kaum rentan. 

Pertanyaan utamanya adalah, bagaimana menegakkan hukum secara adil tanpa mengabaikan perlindungan khusus yang mereka butuhkan? 

Isu krusial ini menjadi topik utama dalam diskusi yang dipimpin oleh Dr. Drs. H. Basuni, S.H., M.H., sebagai narasumber untuk wilayah I dan diikuti oleh peserta dari Pengadilan Tinggi Agama (PTA) dan Mahkamah Syar’iyah (MS) di wilayah I, yaitu: MS Aceh, PTA Medan, PTA Padang, PTA Pekanbaru, PTA Jambi, PTA Palembang, PTA Kepri, PTA Bangka Belitung, PTA Bengkulu, dan PTA Bandar Lampung.

Basuni menekankan meskipun hukum jinayat memiliki sanksi yang jelas, perlakuan terhadap kaum rentan harus mengedepankan prinsip keadilan restoratif. Artinya, peradilan tidak hanya berfokus pada penghukuman, tetapi juga pada pemulihan korban, rehabilitasi pelaku, dan pencegahan terulangnya tindak pidana.

Peran Sentral LPSK dan Penguatan Akses Keadilan

Dalam upaya memberikan perlindungan menyeluruh, perwakilan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) turut hadir sebagai narasumber. 

LPSK, sebagai lembaga independen, memiliki tugas penting dalam memberikan perlindungan fisik dan prosedural bagi saksi dan korban, serta memastikan hak-hak mereka, seperti restitusi dan kompensasi, terpenuhi.

Kolaborasi antara peradilan, dalam hal ini Mahkamah Syar’iyah, dan LPSK menjadi kunci untuk memastikan bahwa kaum rentan mendapatkan akses keadilan yang layak. 

Hal ini sejalan dengan prinsip access to justice yang menjamin setiap orang, tanpa terkecuali, memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan perlindungan hukum dan keadilan.

Acara ditutup dengan sesi tanya jawab interaktif, menunjukkan antusiasme peserta untuk mengimplementasikan pedoman ini. 

Diharapkan, bimtek ini akan menjadi momentum bagi para hakim dan jajaran kepaniteraan untuk mengadili perkara jinayat dengan lebih adil, manusiawi, dan bermartabat, sejalan dengan visi Ditjen Badilag untuk menciptakan sistem peradilan yang efektif, berkeadilan, dan menjunjung tinggi martabat kemanusiaan.

Penulis: M. Yanis Saputra
Editor: Tim MariNews