Dokter Pelaku KDRT Divonis 3 Bulan Penjara, Wajib Bayar Restitusi Rp44 Juta kepada Korban

Putusan tersebut dibacakan Majelis Hakim pada Rabu (10/12/2025), menyatakan bahwa tindakan yang dilakukan Terdakwa memenuhi unsur Pasal 44 Ayat (1) jo. Pasal 5 huruf a Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Gedung PN Gunung Sitoli. Foto : dokumentasi PN Gunung Sitoli
Gedung PN Gunung Sitoli. Foto : dokumentasi PN Gunung Sitoli

MARINews, Gunung Sitoli - Pengadilan Negeri Gunung Sitoli menjatuhkan vonis terhadap seorang dokter berinisial IAH atas tindak pidana kekerasan fisik dalam rumah tangga. 

Putusan tersebut dibacakan Majelis Hakim pada Rabu (10/12/2025), menyatakan bahwa tindakan yang dilakukan Terdakwa memenuhi unsur Pasal 44 Ayat (1) jo. Pasal 5 huruf a Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Majelis Hakim yang dipimpin Hengky Alexander Yao, S.H., M.H., bersama Hakim Anggota Roberto Sianturi, S.H., dan Gabriel Lase, S.H., menjatuhkan pidana penjara selama tiga bulan kepada Terdakwa. Selain hukuman badan, IAH juga diwajibkan membayar restitusi kepada korban berinisial APIM sebesar Rp44.042.400.

Dalam amar putusan, Majelis menegaskan bahwa restitusi wajib dibayarkan paling lambat 30 hari sejak putusan berkekuatan hukum tetap. Jika Terdakwa tidak memenuhi kewajiban tersebut, harta bendanya dapat disita dan dilelang. Apabila harta tidak mencukupi, restitusi diganti dengan pidana kurungan selama tiga bulan.

Keputusan pembebanan restitusi ini merujuk pada permohonan korban yang diajukan melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). 

Perhitungan nilai kerugian yang ditetapkan LPSK dinilai Majelis sebagai perhitungan yang sah dan wajar, karena telah mempertimbangkan bukti, kondisi korban, serta laporan resmi penilaian kerugian. Keberatan Penasihat Hukum Terdakwa atas nilai restitusi akhirnya ditolak.

Majelis juga mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2022 mengenai tata cara pemberian restitusi. 

Dalam aturan tersebut, korban berhak atas penggantian kerugian materiil maupun immateriil, termasuk biaya perawatan medis, pemulihan psikologis, biaya transportasi, hingga biaya pendampingan hukum. Ketentuan itu menegaskan bahwa restitusi merupakan bagian dari pemulihan hak korban yang tidak bisa diabaikan.

Dalam pertimbangannya, Majelis menilai pentingnya kepastian mekanisme eksekusi apabila restitusi tidak dipenuhi. Aturan mewajibkan Jaksa untuk menindaklanjuti pelaksanaan pembayaran, mulai dari pemberitahuan kepada pelaku hingga penyitaan dan pelelangan harta bila pembayaran tetap tidak dilakukan. Ketentuan kurungan pengganti juga diterapkan apabila pelaku tidak memiliki harta yang cukup.

Namun, Majelis menyoroti bahwa penjatuhan kurungan pengganti seharusnya tidak menghilangkan esensi pemulihan korban. 

Restitusi, menurut Majelis, merupakan instrumen pemulihan yang menitikberatkan pada upaya mengembalikan kondisi korban mendekati keadaan sebelum tindak pidana terjadi. 

Meski tidak mungkin sepenuhnya memulihkan keadaan, restitusi tetap dianggap memberikan manfaat nyata bagi korban.

Majelis menegaskan bahwa penegakan hukum dalam perkara KDRT tidak hanya bertujuan menghukum pelaku, tetapi juga memastikan korban memperoleh perlindungan dan pemulihan yang layak. 

Dalam konteks ini, pemberian restitusi menjadi bukti bahwa hukum pidana Indonesia semakin mengakomodasi hak-hak korban tindak kekerasan dalam rumah tangga.

Penulis: Binsar Tampubolon
Editor: Tim MariNews