MARNews, Jakarta-Berbagai bentuk keberagaman, mulai dari yang bersifat ciri fisik hingga identitas sosial telah diakui oleh masyarakat dunia. Beberapa kelompok memiliki bentuk keberagaman yang unik dan khas, sehingga membutuhkan akses lebih untuk mendapatkan layanan dasar. Kelompok ini kemudian dikenal dengan sebutan sebagai kelompok rentan.
Berkaitan dengan kelompok rentan tersebut, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama (Ditjen Badilag) menggelar Bimbingan Teknis Kaum Rentan Berhadapan dengan Hukum di lingkungan peradilan agama secara daring pada Jumat (20/6). Bimtek yang diperuntukkan bagi tenaga teknis peradilan agama ini, mengusung tema Etika dan Perilaku Layanan Terhadap Kaum Rentan.
Hadir sebagai narasumber yaitu, Ketua Kamar Pengawasan Mahkamah Agung, H. Dwiarso Budi Santiarto, S.H., M.Hum dan acara dipimpin oleh seorang moderator yakni, Hakim Yustisial Mahkamah Agung Dr. Fitriyel Hanif, S.Ag., M.Ag.
Mengawali pemaparannya, Dwiarso menjelaskan, etika dan perilaku layanan adalah dua aspek yang sangat penting dalam konteks pelayanan publik dan profesi, terutama di lembaga-lembaga yang berhubungan dengan sistem peradilan. Dalam kerangka ini, etika berfungsi sebagai pedoman moral yang mengarahkan individu untuk bertindak dengan cara yang benar, sementara perilaku layanan mengacu pada cara-cara yang dijalankan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional adil dan beradab.
“Adil itu, adalah sesuai dengan kebutuhannya. Bukan sama rata, sama rasa. Bukan itu yang dimaksud.” imbuhnya.
Ia menjelaskan lebih lanjut, dalam konteks peradilan, kaum rentan merujuk pada kelompok yang memiliki kondisi atau karakteristik yang membuat mereka lebih rentan terhadap pelanggaran hak, diskriminasi, atau ketidakadilan dalam proses hukum. Kelompok ini mencakup perempuan, anak-anak, penyandang disabilitas, minoritas etnis, pembela hak asasi manusia dan kelompok marjinal lainnya.
Oleh karenanya, tambah Dwiarso, pengadilan harus memberikan perhatian khusus terhadap mereka, dengan menjalankan etika yang baik dan memberikan perilaku layanan yang profesional agar mereka bisa mendapatkan akses yang adil dan setara di hadapan hukum.
“Kita harus mempunyai pemikiran atau sikap bahwa kita harus melayani masyarakat. Tanpa mereka, tanpa rakyat, tidak ada ini pegawai negeri, tidak ada namanya hakim, tidak ada namanya pejabat.” tegas pria yang pernah menjabat sebagai Kepala Badan Pengawasan Mahkamah Agung itu.
Prinsip Etika dalam Layanan Kaum Rentan
Dalam kesempatan yang sama, Dwiarso kemudian menjabarkan lima prinsip etika dalam layanan kaum rentan di pengadilan. Pertama, prinsip keadilan dan kesetaraan yaitu hakim dan petugas pengadilan harus memastikan bahwa setiap individu diperlakukan setara di hadapan hukum tanpa diskriminasi berdasarkan jenis kelamin, usia, disabilitas, status sosial, atau etnis.
Hakim, ujar Dwiarso, harus menjaga ketidakberpihakan dan imparsialitas, sehingga keputusan yang diambil mencerminkan nilai keadilan yang objektif dan tidak dipengaruhi oleh faktor eksternal.
Kedua, penghormatan terhadap hak asasi manusia. Penting bagi hakim untuk mengenali kebutuhan khusus dari kaum rentan, misalnya dengan memberikan perlindungan khusus bagi perempuan korban kekerasan atau menjamin keterlibatan saksi anak-anak secara sensitif.
Ketiga, prinsip keterbukaan dan transparansi. Pengadilan harus memberikan informasi yang jelas dan mudah dipahami kepada kaum rentan terkait hak-hak mereka dalam proses peradilan dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk menyampaikan pendapat atau testimoni tanpa rasa takut atau terintimidasi.
Keempat adalah prinsip inklusivitas. Dengarkan aspirasi dan masukan para kaum rentan untuk memastikan layanan yang relevan dan efektif. Terakhir, kelima, prinsip aksesibilitas dengan memastikan layanan dan fasilitas mudah diakses oleh kaum rentan.
Prinsip Layanan Bagi Kaum Rentan
Selain prinsip etika, pria kelahiran Madiun itu turut menguraikan prinsip-prinsip layanan bagi kaum rentan di pengadilan. Dalam memberikan layanan, Pengadilan harus menunjukkan empati terhadap kaum rentan, baik itu perempuan, anak-anak, penyandang disabilitas atau kelompok lainnya. Hakim dan petugas pengadilan harus berusaha memahami kondisi psikologis dan sosial pihak yang terlibat.
Ketua Kamar Pengawasan Mahkamah Agung itu menuturkan, pengadilan harus memahami bahwia perempuan korban kekerasan mungkin mengalami trauma atau ketakutan, sehingga pengadilan harus memberikan ruang yang aman dan nyaman bagi mereka untuk memberikan kesaksian. Demikian pula dengan anak anak, tambahnya, yang mungkin membutuhkan pendekatan yang lebih lembut dan penggunaan bahasa yang sederhana dalam proses hukurm.
Begitu juga halnya dalam pemberian akses yang ramah bagi kaum rentan. Dwiarso menyebut, pengadilan harus memastikan bahwa fasilitas peradilan mendukung kaum rentan, seperti menyediakan aksesibilitas bagl penyandang disabilitas atau ruang sidang yang ramah anak bagi saksi yang masin kecil.
Ia kemudian mengambil contoh, menyediakan juru bahasa isyarat untuk penyandang disabiltas atau menyediakan pendempingan psikologis bagi korban yang trauma, serta memastikan keamanan dan kerahasiaan bagi saksi yang mungkin dalam posisi rentan.
Adapun pada aspek aksesibilitas fisik, indikator yang dilihat yaitu tersedianya sarana prasarana untuk mendukung pemberian layanan inklusif, meliputi jalur pemandu, (guiding block), area parkir khusus, jalur tandai, area prioritas, toilet disabilitas, loket prioritas, ruang laktasi, area ramah anak, lift (apabila dibutuhkan), alat bantu dan ruang tenang.
Acara bimtek berlangsung interaktif ditandai dengan banyaknya pertanyaan yang diajukan dari pengadilan agama pada kesempatan sesi tanya jawab. Bimtek yang berlangsung hampir selama tiga jam itu turut dihadiri oleh Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama (Dirjen Badilag), Ketua Pengadilan Tingkat Banding dan jajarannya, Direktur Pembinaan Tenaga Teknis Badilag, para Ketua Pengadilan Tingkat Pertama beserta jajaran, Pejabat Eselon III Direktorat Pembinaan Tenaga Teknis Badilag, Hakim Yustisial Ditjen Badilag serta seluruh tenaga teknis di lingkungan peradilan agama.