MARINews, Jakarta-Perubahan teknologi informasi (TI) melaju sangat masif dalam 10 tahun belakangan ini. Dunia digital terus berkembang, membawa banyak kemudahan. Namun setali tiga uang dengan kemudahan tersebut, banyak juga muncul tantangan baru yang kadang bikin pusing, termasuk bagi lembaga hukum seperti Mahkamah Agung (MA).
Bagi Mahkamah Agung sendiri, perkembangan teknologi telah menjadi inovasi dalam berbagai lini. Mulai dari pendaftaran perkara, pembayaran perkara, hingga ke sidangnya kini semua sudah menggunakan teknologi.
Namun selain itu, Mahkamah Agung juga mendapatkan dampak buruk dari perkembangan TI tersebut. Beberapa di antaranya yaitu, penyebaran berita bohong, serangan siber, dan lain-lain.
Dampak lainnya itu antara lain, kini dengan perkembangan media sosial, masyarakat bisa melakukan siaran langsung di manapun termasuk ketika di ruang sidang. Mereka hanya cukup dengan satu sentuhan layar, lalu menyiarkan jalannya sidang secara langsung ke ribuan penonton lewat media sosial mereka.
Yang membuat tambahan masalah adalah mereka menambahkannya dengan narasi yang sangat jauh dari kebenaran. Sehingga kemudian menciptakan trial by the press.
“Perubahan teknologi ini sangat masif. Kami tergopoh-gopoh menyusun kebijakan, menyesuaikan aturan dengan perkembangan TI yang sangat cepat ini,” ujar Dr. Sobandi, S.H., M.H., Kepala Badan Urusan Administrasi MA yang juga menjabat Plt. Kepala Biro Hukum dan Humas saat berkunjung ke Dewan Pers (13/8/2025).
“Kasus artis belakangan ini jadi contoh. Banyak yang hadir di sidang lalu melakukan siaran langsung di media sosial mereka. Ini bisa mengganggu independensi peradilan dan konsentrasi hakim,” katanya.
Sebenarnya, MA sudah punya payung hukum terkait keterbukaan informasi, seperti SK Ketua MA RI Nomor 2-144/KMA/SK/VIII/2022 tentang Standar Pelayanan Informasi Publik di Pengadilan, dan SEMA No.4 Tahun 2012 tentang Perekaman Proses Persidangan. Namun, menurut Sobandi, perkembangan teknologi sekarang ini membuat aturan lama tersebut harus diperkuat lagi.
Wakil Ketua Dewan Pers Totok Suryanto, menegaskan pentingnya panduan peliputan sidang.
“Jurnalis dan masyarakat perlu tahu batasan dan kode etiknya. Kebebasan meliput itu penting, tetapi jangan sampai merusak proses hukum,” katanya.
Sebagai informasi sejak Mei 2025, MA dan Dewan Pers mulai menyusun draf Memorandum of Understanding (MoU). Targetnya, MoU diteken dalam waktu dekat, lalu dilanjutkan Perjanjian Kerja Sama (PKS).
Sobandi berharap kerja sama ini bukan hanya soal aturan siaran langsung, tetapi juga pelatihan.
“Kami ingin jurnalis paham istilah hukum, etika liputan, dan cara meliput yang tidak mengganggu jalannya sidang. Peradilan harus tetap transparan, tetapi tetap berwibawa,” ujarnya.