Tagar #NoViralNoJustice telah menjadi cermin dari krisis kepercayaan publik terhadap sistem hukum kita. Bukan sekadar kritik terhadap lambannya penanganan kasus, tetapi juga refleksi atas ketidaksetaraan akses keadilan.
Fenomena ini, menunjukkan bahwa opini publik, yang sering kali lebih gegap gempita daripada fakta, dapat menekan independensi hakim dan melemahkan kepercayaan terhadap prosedur hukum yang adil. Ranah mainstream meskipun terlihat benar bisa jungkir balik jika mengusik ‘nurani’ publik.
Media Sosial: Pengadilan Massa Tanpa Pimpinan
Di balik euforia perayaan ulang tahun ke-80 Mahkamah Agung, kita dihadapkan pada tantangan besar: bagaimana menjaga integritas dan independensi peradilan di tengah derasnya arus informasi di media sosial.
Media sosial telah menjadi 'pengadilan massa' tak resmi-sebuah lembaga tanpa pimpinan di mana para netizen memiliki pengaruh bicara yang luar biasa. Fenomena "no viral, no justice" mencerminkan betapa opini publik, sering kali lebih gegap gempita daripada fakta, bisa menekan independensi hakim dan melemahkan kepercayaan terhadap prosedur hukum yang adil.
Mahkamah Agung: Pilar Integritas di Era Digital
Dalam menghadapi tantangan ini, Mahkamah Agung harus memastikan perlindungan integritas hakim sebagai pilar demokrasi. MA perlu memperkuat regulasi terkait penghinaan terhadap lembaga kehakiman dan menjaga keamanan serta reputasi para hakim dari serangan digital-termasuk unggahan hoaks, ujaran kebencian, dan perundungan dunia maya (cyberbullying)-bentuk perundungan yang dilakukan melalui teknologi digital, seperti media sosial, aplikasi pesan instan, atau platform game online. Perilaku ini bertujuan untuk menakut-nakuti, mempermalukan, atau menyakiti perasaan seseorang secara berulang, termasuk tentunya para insan peradilan.
Namun, tantangan tidak hanya datang dari luar. Transformasi digital menyediakan peluang dan tantangan serius. Implementasi sistem e-Court menurut PERMA No. 7/2022 telah membuka akses peradilan secara daring-mulai dari pendaftaran hingga publikasi putusan-dengan proses lebih efisien, transparan, dan inklusif. Namun, hambatan seperti infrastruktur internet yang belum merata-khususnya di wilayah 3T-serta keterbatasan perangkat keras dan perangkat lunak memperlemah efektivitas sistem ini.
Lebih dari itu, keamanan siber merupakan pekerjaan rumah besar. Sistem peradilan masih rentan terhadap serangan digital dan belum memiliki standar perlindungan data yang kuat.
Ketiadaan regulasi internal khusus untuk persidangan elektronik, pengarsipan bukti digital, atau penggunaan pihak ketiga seperti Zoom, membuka risiko kebocoran data sensitif yang dapat melemahkan kepercayaan publik.
Menyongsong Masa Depan Peradilan yang Modern dan Berintegritas
Memasuki usia yang ke-80, Mahkamah Agung berdiri di persimpangan penting: di satu sisi, tekanan opini publik di media sosial menuntut penguatan independensi dan perlindungan institusi peradilan. Di sisi lain, gelombang digitalisasi dan automasi menuntut kesiapan infrastruktur, keamanan data, dan sumber daya manusia yang kompeten dalam teknologi informasi (TI).
Untuk menapaki masa depan dengan mantap, Mahkamah Agung perlu:
1. Mempertahankan integritas dan independensi hakim di tengah terjangan opini digital.
2. Memperkuat regulasi internal dan keamanan siber yang melindungi data persidangan.
3. Mendorong modernisasi peradilan melalui e-Court, namun disertai perluasan akses dan pelatihan SDM.
4. Menyiapkan roadmap AI yudisial yang etis—mempercepat proses namun tetap manusiawi.
5. Menjalin sinergi lintas sektor, pemerintah, dan teknologi agar transformasi digital tak sekadar kosmetik tetapi memiliki fondasi kuat dan berkeadilan.
Dengan kesungguhan ini, MA tidak hanya merayakan umur ke-80 dengan khidmat, tetapi juga melangkah mantap menuju peradilan yang modern, tangguh, dan berintegritas di era digital.