Penerapan Keadilan Restoratif Sebagai Upaya Menyelaraskan Kepentingan Pemulihan Korban dan Pertanggungjawaban Terdakwa

Majelis Hakim membuktikan bahwa keadilan bukan hanya soal penghukuman melainkan juga guna mewujudkan pemulihan dan keharmonisan hubungan antar masyarakat.
Penerapan keadilan restoratif di PN Tubei. Foto dokumentasi PN Tubei
Penerapan keadilan restoratif di PN Tubei. Foto dokumentasi PN Tubei

MARINews, Tubei-Perkembangan sistem pemidanaan saat ini tidak hanya bertumpu pada pemidanaan terhadap terdakwa melainkan telah mengarah pada penyelarasan kepentingan pemulihan korban dan pertanggungjawaban terdakwa dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif.

Dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana tertanggal 15 April 2025, mekanisme keadilan restoratif diartikan sebagai pendekatan dalam penanganan perkara tindak pidana yang dilakukan dengan melibatkan para pihak baik korban, keluarga korban, tersangka, keluarga tersangka, terdakwa, keluarga terdakwa, dan/atau pihak lain yang terkait, yang bertujuan mengupayakan pemulihan keadaan semula. 

Kemudian, dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif (“Perma 1/2024”), keadilan restoratif diartikan sebagai pendekatan dalam penanganan perkara tindak pidana yang dilakukan dengan melibatkan para pihak baik korban, keluarga korban, terdakwa/anak, keluarga terdakwa/anak, dan/atau pihak lain yang terkait, dengan proses dan tujuan yang mengupayakan pemulihan, dan bukan hanya pembalasan.

Sesuai dengan Pasal 4 ayat (4) Perma 1/2024 tersebut yang menegaskan, pedoman mengadili perkara pidana berdasarkan keadilan restoratif berlaku dan harus diterapkan oleh seluruh pengadilan, berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku. Maka, Majelis Hakim yang mengadili perkara Nomor 17/Pid.B/2025/PN Tub tersebut, melakukan mekanisme keadilan restoratif dalam perkara tersebut.

Dalam perkara tersebut, terdakwa diduga telah melakukan perbuatan pidana penganiayaan terhadap korbannya dan kemudian akibat penganiayaan berupa pemukulan tersebut, sesuai visum et repertum yang dikeluarkan oleh Rumah Sakit Umum Daerah Lebong di Muning Agung-Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu. Korban mengalami luka memar pada pipi dan mata akibat trauma benda tumpul.

Oleh karena dalam perkara tersebut, terdakwa didakwa oleh penuntut umum dengan dakwaan tunggal yaitu, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 351 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana dengan ancaman pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak Rp4.500.000 (vide: Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana), maka sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) huruf c Perma 1/2024, Majelis Hakim yang diketuai langsung oleh Ketua Pengadilan Negeri Tubei yaitu Relson Mulyadi Nababan, S.H. dan beranggotakan Maria Minerva Kainama, S.H. dan Adella Sera Girsang, S.H., M.H. menerapkan keadilan restoratif.

Berdasarkan anjuran Majelis Hakim, terdakwa dan korban bersedia untuk membuat kesepakatan perdamaian yang pada pokoknya menyatakan bahwa:

1. Antara korban dan terdakwa sudah saling memaafkan;

2. Antara korban dan terdakwa berharap dapat hidup rukun kembali seperti sebelum terjadinya perbuatan pidana tersebut;

3. Terdakwa telah memberikan uang ganti rugi kepada korban sejumlah Rp450.000 sebagai penggantian biaya pengobatan, selain itu, bahkan pada persidangan. Korban sendiri telah memohon agar terdakwa diberikan hukuman yang seringan-ringannya.

Berdasarkan kesepakatan perdamaian tersebut dan oleh karena poin-poin dalam kesepakatan perdamaian tersebut telah dilaksanakan, maka berdasarkan ketentuan Pasal 19 Perma Nomor 1/2024, Majelis Hakim menggunakan kesepakatan perdamaian tersebut sebagai alasan yang dapat meringankan hukuman terdakwa dan kemudian menjatuhkan pemidanaan yang disesuaikan dengan masa tahanan terdakwa sebagai pemidanaan yang dirasa paling adil bagi terdakwa sehingga Majelis Hakim dalam perkara tersebut menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama tiga bulan empat belas hari sesuai dengan lama penahanan yang telah terdakwa jalani.

Dengan adanya keadilan restoratif dalam penyelesaian perkara tersebut, Majelis Hakim telah berupaya untuk menjangkau tiga nilai dasar hukum. Hal itu diwujudkan dengan menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana dan dihukum. 

Nilai keadilan diwujudkan melalui keadilan restoratif yang menyelaraskan kepentingan pemulihan korban dan pertanggung jawaban terdakwa, serta nilai kemanfaatan diwujudkan dengan mendatangkan rasa ketenteraman dalam masyarakat selama terdakwa menjalani proses persidangan. 

Pada akhirnya, melalui keadilan restoratif dalam perkara ini, Majelis Hakim membuktikan bahwa keadilan bukan hanya soal penghukuman melainkan juga guna mewujudkan pemulihan dan keharmonisan hubungan antarmasyarakat.