PN Mataram Nyatakan Dakwaan Batal Demi Hukum, Para Aktivis Dibebaskan

Dalam dakwaan disebutkan, situasi yang semula berupa penyampaian aspirasi berubah menjadi ricuh.
Pengadilan Negeri Mataram | Foto : Dokumentasi PN Mataram
Pengadilan Negeri Mataram | Foto : Dokumentasi PN Mataram

Mataram, NTB - Perkara pidana yang menjerat enam aktivis dalam peristiwa aksi demonstrasi di Kantor Polda Nusa Tenggara Barat pada Agustus 2025 memasuki babak penting setelah Pengadilan Negeri Mataram menjatuhkan Putusan Sela Nomor 756/Pid.B/2025/PN Mtr pada hari Rabu tanggal 17 Desember 2025. Putusan ini menjadi sorotan karena Majelis Hakim tidak hanya memeriksa perkara secara formil, tetapi juga menegaskan peran hakim sebagai penjaga keadilan yang berani menyatakan kebenaran hukum sejak tahap awal persidangan.

Berdasarkan surat dakwaan Penuntut Umum, peristiwa bermula pada Sabtu, 30 Agustus 2025 sekitar pukul 09.30 WITA. Para terdakwa disebut ikut bergabung dalam aksi unjuk rasa gabungan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Kota Mataram serta komunitas ojek daring. Massa aksi berkumpul di Gelanggang Pemuda Mataram, kemudian bergerak menuju Kantor Polda Nusa Tenggara Barat. Setibanya di lokasi, massa melakukan orasi di depan pintu gerbang, sebelum akhirnya sebagian pengunjuk rasa, termasuk para terdakwa, masuk ke halaman depan Markas Polda NTB.

Dalam dakwaan disebutkan, situasi yang semula berupa penyampaian aspirasi berubah menjadi ricuh. Terjadi pelemparan benda ke arah petugas, perusakan fasilitas, serta penurunan dan penggantian bendera di area Polda NTB. Akibat peristiwa tersebut, sejumlah fasilitas dilaporkan mengalami kerusakan, antara lain pintu dan jendela kaca lobi utama, tiang bendera, lampu taman, plat besi pintu gerbang, box portal, serta neon box di luar area markas kepolisian. Kerugian material ditaksir mencapai ratusan juta rupiah. Atas dasar itu, Penuntut Umum mendakwa para terdakwa dengan Pasal 170 ayat (1) KUHP atau Pasal 406 ayat (1) KUHP.

Namun sebelum perkara memasuki pemeriksaan pokok, para terdakwa melalui penasihat hukumnya mengajukan keberatan (eksepsi). Mereka mempersoalkan proses penyidikan yang dinilai melanggar hak-hak dasar terdakwa, mulai dari pemeriksaan tanpa pendampingan penasihat hukum meskipun diancam pidana di atas lima tahun, tidak diberikannya salinan Berita Acara Pemeriksaan dan turunan pelimpahan perkara, hingga dakwaan yang dinilai tidak cermat, tidak jelas, dan tidak lengkap.

Majelis Hakim yang dipimpin oleh Rosihan Luthfi, S.H.,M.H., sebagai Hakim Ketua, I Made Gede Trisna Jaya Susila, S.H.,M.H., dan Made Hermayanti Muliartha, S.H.,M.H., masing-masing sebagai Hakim Anggota juga menaruh perhatian serius pada kualitas surat dakwaan Penuntut Umum. Majelis menilai pencampuran uraian perbuatan, serta ketidakjelasan konstruksi pasal yang berpotensi menimbulkan kekaburan hukum. Surat dakwaan yang tidak disusun secara cermat, jelas, dan lengkap dinilai dapat merugikan hak pembelaan terdakwa dan berisiko mencederai rasa keadilan.

“Penuntut Umum dalam dakwaan kedua menguraikan dakwaan terhadap Para Terdakwa secara terpisah dengan mengkhususkan masing-masing Para Terdakwa namun perbuatan masing-masing Para Terdakwa tersebut adalah perbuatan yang berbeda-beda, sehingga Majelis hakim berpendapat terdapat ketidakjelasan dalam uraian dakwaan Jaksa Penuntut Umum dalam menentukan kualifikasi perbuatan Para Terdakwa apakah Para Terdakwa sebagai pelaku utama ataukah Para Terdakwa turut serta dalam melakukan perbuatan pidana tersebut, sehingga oleh karena terdapat ketidakjelasan kualifikasi perbuatan Para Terdakwa khususnya dalam dakwaan kedua Penuntut Umum hal tersebut akan mempersulit dalam menentukan perbuatan Para Terdakwa, sehingga dakwaan Penuntut Umum tidak dibuat secara cermat, jelas dan terang sehingga tidak memenuhi syarat materiil sebagai suatu surat dakwaan”, dikutip MARINews dalam putusan Sela Nomor 756/Pid.B/2025/PN Mtr.

“Selain hal tersebut dalam dakwaan kedua jaksa Penuntut Umum ternyata Penuntut Umum juga mendakwakan Terdakwa Lalu Aji Sanjaya Putra dengan penyebutan sebagai Terdakwa III dan Terdakwa IV, sehingga dalam dakwaan kedua tersebut Penuntut Umum mendakwa Terdakwa Lalu Aji Sanjaya Putra dengan dakwaan khusus melanggar Pasal 406 KUHP dengan dua kali uraian dakwaan sebagai Terdakwa III dan Terdakwa IV, sedangkan Terdakwa III Arju Namat Taesir als Arju tidak didakwakan dalam Dakwaan kedua, sehingga menimbulkan keragu-raguan dan kekaburan tentang pihak mana yang menjadi terdakwa di dalam Surat Dakwaannya, oleh karenanya dakwaan Penuntut Umum tidak dibuat secara cermat, jelas dan terang sehingga tidak memenuhi syarat materiil sebagai suatu surat dakwaan”, tegas majelis Hakim.

Dalam konteks tersebut, Majelis Hakim menegaskan bahwa hakim tidak cukup hanya bersikap profesional secara teknis, tetapi juga harus berintegritas dan berani menyatakan kebenaran hukum. Ketika ditemukan proses dakwaan yang bermasalah, hakim berkewajiban menyatakan sikap secara tegas demi menjaga marwah peradilan yang independen. Putusan sela ini menunjukkan bahwa hakim bukan sekadar pelaksana norma bukan corong undang-undang, melainkan penjaga nilai keadilan yang harus berdiri independen dan imparsial.

Putusan sela Pengadilan Negeri Mataram ini sekaligus menjadi pesan penting bahwa penegakan hukum yang adil tidak dapat dibangun di atas prosedur yang cacat. Keadilan substantif hanya dapat lahir dari proses hukum yang sah, transparan, dan menghormati hak-hak asasi setiap orang. Dalam perkara ini, Majelis Hakim menunjukkan keberanian untuk menempatkan hukum pada relnya, sekaligus menegaskan bahwa pengadilan tetap menjadi benteng terakhir keadilan bagi masyarakat.