Efektivitas hukum nasional tidak hanya ditentukan oleh ketajaman pasal-pasalnya atau ketanggapan lembaganya, melainkan oleh sejauh mana hukum itu hidup dan dihidupi dalam kesadaran masyarakat.
Konsolidasi sistem hukum nasional Indonesia menempatkan budaya hukum masyarakat pada posisi sentral sebagai pilar fundamental, di samping struktur dan substansi hukum,untuk menjamin keberlanjutan serta efektivitas penegakan hukum.
Merujuk pada paradigma Lawrence M. Friedman, pembangunan hukum yang ideal hanya dapat diwujudkan melalui sinergi triadik yang seimbang antara substance, structure, dan culture, di mana ketiganya merupakan prasyarat mutlak bagi efektivitas hukum sebagai instrumen pengendalian sosial.
Dengan demikian, pemposisian budaya hukum sebagai fondasi legitimasi dan keberfungsian hukum menjadikan penguatan konstruksi budaya hukum di tingkat masyarakat sebagai variabel strategis dalam mewujudkan karakteristik esensial sebuah negara hukum (rechtsstaat).
Sejalan dengan itu, Ade Saptomo (2014) menegaskan bahwa budaya hukum pada hakikatnya merupakan suatu konstruksi sintetis yang merangkum nilai, norma, ide, serta praktik perilaku yang melekat (inherent) dalam relasi masyarakat dengan sistem hukum, bukan sekadar terminologi gabungan yang bersifat deskriptif.
Oleh karena itu, budaya hukum merepresentasikan kesadaran kolektif untuk memandang hukum sebagai realitas empiris yang hidup (living law), yang melampaui reduksi terhadapnya sebagai teks normatif semata.
Permasalahan dan Urgensi Penguatan Budaya Hukum
Degradasi budaya hukum pada masa kini telah berkembang menjadi problematika struktural yang serius dalam pembangunan hukum nasional.
Hilmi (2022) mengidentifikasi fenomena apatisme masyarakat sebagai indikator utama rendahnya apresiasi publik terhadap dua komponen fundamental sistem hukum lainnya, yaitu substansi dan struktur.
Gejala ini terefleksi dalam praktik penghindaran mekanisme penyelesaian sengketa melalui jalur peradilan, terjadinya pelanggaran hukum secara sadar, serta sikap indiferensi terhadap norma hukum. Keseluruhan fenomena tersebut menandakan lemahnya proses internalisasi nilai-nilai hukum dalam kesadaran kolektif masyarakat (Fitrian, 2019).
Lebih jauh, meningkatnya krisis budaya hukum tidak dapat dipisahkan dari penetrasi nilai-nilai global yang bercorak kapitalistik dan individualistik, yang berdampak pada erosi prinsip musyawarah dan gotong royong misalnya, terlihat dalam bergesernya penyelesaian sengketa tetangga dari rembuk desa ke meja pengadilan atau mediasi yang berbiaya tinggi.
Dalam konteks masyarakat Indonesia yang bercirikan pluralitas sosial, bahasa, dan adat, konstruksi budaya hukum tidak mungkin dibangun melalui pendekatan homogenitas, melainkan harus berakar pada pluralitas kearifan lokal sebagai bagian integral dari living law.
Dengan demikian, budaya hukum berfungsi sebagai mekanisme mediasi antara norma hukum formal dan nilai-nilai sosial yang hidup secara organik dalam masyarakat, sekaligus menjadi prasyarat esensial bagi terwujudnya legitimasi dan efektivitas sistem hukum nasional (Rahayu, 2020:288).
Kontribusi Budaya Hukum terhadap Pembangunan Sistem Hukum
Selain membangun kesadaran, strategi penguatan budaya hukum juga harus mampu merangkul keragaman yang ada. Oleh karena itu, harmonisasi hukum formal dan lokal menjadi keniscayaan.
Eksistensi budaya hukum merupakan faktor determinan bagi keberfungsian hukum formal dalam praktik sosio-legal masyarakat. Achmad Ali (2009) bahkan mendiagnosis lemahnya budaya hukum sebagai suatu sindrom patologis yang secara infektif memengaruhi keseluruhan komponen sistem hukum—substansi, struktur, maupun kultur—secara integral.
Konsekuensinya, tanpa fondasi budaya hukum yang kokoh, sistem hukum kehilangan vitalitas sekaligus legitimasi sosialnya.
Kerangka teoretis Friedman memperkuat postulat tersebut dengan menempatkan legal culture sebagai fondasi imperatif agar hukum tidak semata berfungsi secara mekanistik-prosedural, melainkan hadir secara sadar dan organik sebagai kristalisasi nilai kolektif masyarakat.
Pandangan ini sejalan dengan pemikiran klasik: Savigny melalui doktrin Volksgeist menegaskan hukum sebagai ekspresi jiwa bangsa; Holmes, Jr. menyebut hukum sebagai “dokumen antropologis” yang berevolusi dari pengalaman hidup; sementara Weber dan Durkheim memandang hukum sebagai refleksi struktur sosial, relasi kuasa, serta conscience collective.
Dengan demikian, budaya hukum tidak dapat direduksi menjadi unsur pelengkap, melainkan harus dipahami sebagai elemen inti (core element) yang menentukan kapasitas hukum dalam menjalankan fungsinya sebagai pranata sosial yang adil dan berkeadaban.
Strategi Penguatan Budaya Hukum Nasional
Rencana Pembangunan Hukum Nasional (RPHN) merumuskan pembangunan budaya hukum (legal culture development) melalui strategi integral yang mencakup tiga dimensi utama.
Pertama, pembentukan peraturan perundang-undangan yang berkualitas, konsisten, serta berorientasi pada nilai-nilai budaya, guna menumbuhkan public trust dan kepatuhan hukum yang lahir dari kesadaran sukarela.
Kedua, pemberdayaan masyarakat dengan pendekatan bottom-up—melalui program Desa/Keluarga Sadar Hukum, institusi pendidikan, maupun komunitas kreatif—agar internalisasi nilai hukum berjalan secara kontekstual sesuai dengan karakter sosio-kultural.
Ketiga, perombakan paradigma penyuluhan hukum dari sekadar transfer informasi menuju mekanisme edukasi yang interaktif, adaptif, dan transformatif dalam membentuk perilaku hukum berkelanjutan.
Dalam ranah pendidikan formal, kurikulum pada tingkat perguruan tinggi maupun kedinasan diarahkan untuk melahirkan profesi hukum yang tidak hanya kompeten secara teknis, tetapi juga berintegritas serta peka terhadap dimensi budaya hukum.
Dalam praktik peradilan, Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 menegaskan kewajiban hakim untuk menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
Doktrin ini membuka ruang bagi hakim untuk melakukan rechtsvinding, bahkan contra legem, apabila hukum positif kehilangan relevansi dengan rasa keadilan publik.
Dengan demikian, pembangunan budaya hukum bersifat dinamis, yang meniscayakan adanya sinergi antara regulasi, pendidikan, pemberdayaan masyarakat, serta keberanian yurisprudensial guna menempatkan hukum sebagai instrumen keadilan substantif, bukan sekadar prosedural.
Harmonisasi Hukum Formal dan Lokal
Salah satu dimensi imperatif dalam konstruksi pembangunan budaya hukum nasional adalah pengakuan serta harmonisasi terhadap hukum adat (customary law) sebagai subsistem integral dari pluralitas budaya hukum lokal.
Menurut Riswandi & Syamsudin (2004:99), hukum adat yang hidup dan berlaku secara sosiologis dalam komunitas masyarakat—khususnya yang mengatur relasi hukum mengenai status hak atas tanah dan pengelolaan sumber daya alam, memiliki potensi signifikan untuk memperkaya khazanah sistem hukum nasional, sepanjang dilakukan penyesuaian secara kontekstual dengan tetap menghormati prinsip keberlakuan aslinya.
Sejalan dengan itu, Ade Saptomo (2020) menegaskan bahwa hukum adat pada hakikatnya merupakan the living law dalam bentuknya yang paling otentik, sehingga dapat difungsikan sebagai sumber hukum yang sah dalam proses legislasi dan pembangunan hukum nasional.
Harmonisasi tersebut pada akhirnya ditujukan agar nilai-nilai lokal yang bersifat normatif dapat berkoeksistensi dan berinteraksi secara sinergis dengan norma hukum formal, tanpa mengalami degradasi identitas maupun kehilangan validitas yuridisnya.
Sinergi dengan Pilar Filosofis Negara
Konstruksi budaya hukum pada hakikatnya harus terintegrasi dan terkoneksi secara organik dengan nilai-nilai dasar negara yang termanifestasi dalam Pancasila.
Dalam kerangka sistem hukum nasional, pengembangan budaya hukum yang berakar pada Pancasila berfungsi memperkuat kohesi dan konsistensi hukum dengan falsafah dasar negara, yang mencakup prinsip demokrasi deliberatif, perwujudan keadilan substantif yang berkeadilan sosial, serta pembentukan kesadaran hukum kolektif masyarakat.
Soekarno, sebagai salah satu founding fathers, mendefinisikan Pancasila sebagai philosophische grondslag—landasan filosofis bangsa—yang merepresentasikan kristalisasi nilai-nilai luhur dan puncak pencapaian budaya bangsa Indonesia.
Oleh karena itu, secara filosofis-yuridis, setiap produk hukum nasional pada hakikatnya merupakan bentuk aktualisasi sekaligus operasionalisasi nilai-nilai Pancasila.
Dengan demikian, pembangunan budaya hukum tidak boleh dipersempit sekadar sebagai proses teknis-prosedural, melainkan harus dipahami sebagai proses filosofis-normatif yang melekat secara inheren pada identitas konstitusional Indonesia.
Akibat dan Tantangan terhadap Pembangunan Hukum Nasional
Kondisi budaya hukum yang lemah berimplikasi pada stagnasi dan marginalisasi fungsi hukum, yang pada gilirannya menimbulkan inefektivitas penegakan hukum serta meningkatkan kerentanan terhadap intervensi maupun dominasi kekuatan politik.
Achmad Ali (2010) menegaskan bahwa patologi dalam sistem hukum lebih sering bersumber dari defisit budaya hukum, bukan semata-mata akibat disfungsi struktur atau ketidakmemadaian substansi hukum.
Di samping itu, tantangan lain yang bersifat kompleks terletak pada tingkat kesiapan sosio-kultural masyarakat dan kelembagaan dalam mengakomodasi regulasi yang semakin kompleks dan mendalam, serta adanya resistensi terhadap model implementasi yang terlalu top-down dan minim partisipasi publik. Lebih dari itu, di era digital, tantangan kian berlipat dengan maraknya
disinformasi dan misinformasi hukum yang menyebar cepat melalui media sosial. Fenomena ini tidak hanya memperparah apatisme dan erosi kepercayaan publik terhadap institusi hukum yang sah, tetapi juga menciptakan "realitas hukum alternatif" yang simpang siur, sehingga memerlukan strategi edukasi yang adaptif dan gencar di ruang digital.
Lebih jauh, disparitas budaya antara masyarakat urban dan rural meniscayakan adanya pendekatan kebijakan serta regulasi yang bersifat kontekstual dan responsif terhadap karakteristik lokal (Kemenkumham, 2023).
Budaya Hukum sebagai Pilar Pembangunan Berkelanjutan
Budaya hukum masyarakat merupakan elemen vital dalam konstruksi sistem hukum nasional yang efektif, berkeadilan, dan berkelanjutan. Tanpa fondasi budaya hukum yang kokoh, dua komponen sistem hukum lainnya—struktur dan substansi—akan kehilangan efektivitas serta daya operasionalnya.
Ade Saptomo (2014) menegaskan bahwa budaya hukum berfungsi sebagai “roh” atau jiwa hukum; ketiadaan unsur immaterial ini akan mereduksi hukum menjadi sekadar kumpulan teks normatif yang steril dan kehilangan relevansi sosial.
Pembangunan budaya hukum mensyaratkan strategi komprehensif dan holistik yang meliputi: (1) penguatan regulasi yang konsisten dan responsif; (2) pemberdayaan masyarakat berbasis partisipasi; (3) edukasi hukum yang transformatif; (4) pengakuan serta penghormatan terhadap pluralisme hukum adat; dan (5) aktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam setiap dimensi sistem hukum.
Melalui pendekatan sinergis dan multidimensi tersebut, Indonesia berpotensi mewujudkan konsolidasi sistem hukum nasional yang tidak hanya tangguh secara formal-institusional, tetapi juga hidup dan berfungsi secara organik dalam realitas sosio-kultural masyarakat.
Dengan demikian, hukum tidak lagi menjadi menara gading bagi elite, melainkan benar-benar berubah menjadi oksigen yang menopang kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang berkeadaban.
Pada akhirnya, pertanyaan reflektif yang harus dijawab adalah: akankah pembangunan hukum kita ke depan terus berkutat pada proyek-proyek struktural dan substantif, atau memiliki keberanian untuk berinvestasi pada proyek terbesarnya, yaitu membangun kesadaran hukum kolektif bangsa?