TUADA TUN YM Yulius Minta Hakim TUN Selalu Merawat Sisi Kemanusiaan

YM Yulius berharap Hakim TUN bisa lebih manusiawi dan tidak menjadi "makhluk kertas" yang hanya berpedoman pada aturan formal.
Ketua Muda Tata Usaha Negara (TUN), Yang Mulia (YM) Prof. Dr. H. Yulius, S.H.,M.H, usai meresmikan Musala Al-Hakim di PTUN Denpasar, Kamis (14/8/2025). Foto dokumentasi penulis
Ketua Muda Tata Usaha Negara (TUN), Yang Mulia (YM) Prof. Dr. H. Yulius, S.H.,M.H, usai meresmikan Musala Al-Hakim di PTUN Denpasar, Kamis (14/8/2025). Foto dokumentasi penulis

MARINews, Jakarta-Ketua Muda Tata Usaha Negara (TUN), Yang Mulia (YM) Prof. Dr. H. Yulius, S.H.,M.H, meminta para Hakim TUN selalu merawat sisi kemanusiaan dalam dirinya masing-masing. 

YM Yulius mengungkapkannya dalam pembinaan kepada seluruh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha se-Indonesia melalui zoom meeting usai meresmikan Mushola Al-Hakim di PTUN Denpasar, Kamis (14/8). 

YM Yulius meyakini, tugas Hakim TUN ke depan akan semakin berat.

“Saudara menyidangkan rakyat yang merasa dizalimi oleh negara melalui pemerintah. Saudara harus berhati-hati dalam menjaga kepentingan warga negara, tetapi juga harus menjaga keseimbangan hidup bersama. Inilah yang saya maksud dengan mengadili perkara dengan cara berpikir konstitusi,” ujar YM Yulius. 

Menurut YM Yulius, tujuan hukum atau putusan ada tiga, yaitu keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan.

“Jika ketiganya dapat terpenuhi dalam putusan saudara, itu hebat. Tetapi secara naluriah, itu tidak mungkin. Definisi keadilan saja sejak ribuan tahun lalu tidak pernah disepakati. Karena keadilan itu bersifat logis, ilmiah, dan juga bersifat rasa,” kata YM Yulius.

YM Yulius mengaku, tidak ragu kepada para hakim TUN untuk dapat mengadili perkara secara ilmiah. Namun, ia meyakini yang harus dibina dari para hakim TUN adalah empatinya. 

“Saudara jangan pernah lupa bahwa yang kita sidangkan adalah manusia, bukan hanya kertas. Ada realitas hidup di belakangnya. Ada orang yang menangis, ada rumah yang dirobohkan, ada pegawai yang dipecat sehingga anaknya tidak makan, ada pejabat yang diberhentikan jabatannya sehingga istrinya malu dan anaknya berhenti sekolah. Ini adalah realitas kehidupan yang tidak boleh lepas dari pandangan mata hakim TUN,” ujar YM Yulius. 

Menurut YM Yulius, hanya ada satu cara agar hakim TUN tidak melepaskan pandangannya dari realitas kehidupan, yakni dengan cara merawat sisi kemanusiaan. 

YM Yulius melanjutkan, dengan merawat sisi kemanusiaan akan membuat para hakim lebih mudah dalam menentukan kapan harus mengenyampingkan hukum formil ketika kaidah formil itu menghalangi tegaknya kaidah materiil. 

Menurut YM Yulius hakim harus berani "menabrak" hukum acara jika itu dibutuhkan untuk menegakkan hukum materiil.

"Sudah banyak hasil pleno Mahkamah Agung yang menunjukkan bahwa Hakim TUN harus lebih mementingkan substansi daripada formalitas," tambahnya.

Sebagai contoh, YM Yulius pernah menangani kasus di mana seseorang dinyatakan sebagai pemilik sah oleh hukum perdata, tetapi sertifikatnya dibatalkan karena terlambat mengajukan kasasi di TUN. YM Yulius memutuskan untuk mengenyampingkan hukum acara demi mengembalikan hak substansi penggugat. 

YM Yulius memberikan contoh lain tentang kasus seorang pegawai yang dipecat karena tidak masuk kerja selama tiga bulan akibat hamil anak ketiga-hal yang tidak diatur dalam UU kepegawaian. Ia memutuskan:

"Perempuan bersuami yang hamil dan memiliki anak adalah hal yang kodrati. Tidaklah benar jika negara menghukum hal yang alamiah seperti itu." Ia pun memerintahkan pegawai tersebut untuk kembali bekerja.

"Jika kaidah hukum formil sangat menghalangi tegaknya kaidah substansi, itu boleh dikesampingkan. Kembalikan ke tujuan awal hukum acara, yakni tujuan hukum acara adalah untuk menegakkan hukum materiil,” ujar YM Yulius.

Namun, YM Yulius juga mengingatkan, tidak boleh sembarangan ketika hakim memutuskan menabrak hukum acara. Menurutnya, kepentingan menegakkan materiilnya harus lebih besar dan lebih kuat ketika hakim memilih menabrak hukum formal.

YM Yulius juga berharap Hakim TUN bisa lebih manusiawi dan tidak menjadi "makhluk kertas" yang hanya berpedoman pada aturan formal.