Putusan Peninjauan Kembali (PK) Nomor 120/PK/TUN/2021 atau disingkat Putusan PK 120, menetapkan kaidah hukum penting dalam perkara sengketa pertanahan, khususnya terkait tumpang tindih lahan.
Putusan ini menegaskan, dalam kasus tumpang tindih lahan di mana harus dilakukan pengurangan luasan tanah dari salah satu pihak, maka intensitas kepentingan hukum dari pihak penggugat harus menjadi patokan.
Putusan PK 120, kini tercatat sebagai salah satu landmark decisions Mahkamah Agung dan telah dimuat dalam Laporan Tahunan Mahkamah Agung Tahun 2022. Landmark decision adalah putusan penting yang dijadikan yurisprudensi sebagai panduan hukum bagi para hakim dalam menangani perkara serupa di masa mendatang.
Putusan ini, merupakan tahapan akhir dari rangkaian proses peradilan, setelah melalui putusan tingkat pertama, banding, dan kasasi, yang seluruhnya mengarah pada kesimpulan hukum yang sama.
Perkara dimulai dari Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Palu Nomor: 37/G/2018/PTUN.PL.
Objek sengketa dalam perkara ini adalah Sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) Nomor 00026 tertanggal 12 Juni 2009 dan Surat Ukur Nomor 00035/Morowali Utara/2016 tertanggal 28 Juni 2016, yang mencakup lahan seluas 1.895 hektare. Lahan tersebut terletak di Desa Lee, Desa Kasingoli, dan Desa Gontara, dan terdaftar atas nama PT Sinergi Perkebunan Nusantara (PT SPN).
Pihak tergugat dalam perkara ini adalah Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Morowali Utara (Kakantah), sedangkan PT SPN bertindak sebagai Tergugat II Intervensi. Adapun para penggugat merupakan masyarakat Desa Lee yang mengklaim sebagian lahan HGU tersebut sebagai milik mereka.
Warga Desa Lee mendalilkan bahwa lahan seluas 47.639 m² (4,739 ha) yang mereka miliki telah tumpang tindih dengan HGU PT SPN. Klaim ini merujuk pada surat kesepakatan bersama yang dibuat sejak PT Perkebunan Nusantara XIV (Persero) menghentikan operasinya pada 2014.
Menurut para penggugat, lahan yang mereka klaim telah dikuasai secara turun-temurun sejak tahun 1932, namun mereka terhambat untuk memperoleh hak milik karena lahan tersebut kini masuk ke dalam wilayah HGU milik PT SPN.
Setelah tidak lagi beroperasi, PT Perkebunan Nusantara XIV (Persero) kemudian bertransformasi menjadi PT Sinergi Perkebunan Nusantara (PT SPN) dan mulai melakukan serangkaian aktivitas di lahan sengketa pada 2018. Aktivitas tersebut mencakup penggusuran, penebangan pohon, dan tindakan lain yang dinilai merugikan masyarakat Desa Lee.
Kasus ini menjadi sorotan karena menyangkut hak masyarakat adat dan konflik tumpang tindih lahan dengan perusahaan pemegang HGU, yang kerap terjadi di berbagai daerah di Indonesia.
Majelis Hakim tingkat pertama mengabulkan gugatan penggugat dan membatalkan Sertifikat HGU PT.SPN. Selain itu, Majelis Hakim juga dalam amar putusannya mewajibkan Kakantah Kabupaten Morowali Utara (Kakantah) mencabut Sertifikat HGU seluas 1.895 ha tersebut.
Perkara ini kemudian diperiksa di tingkat banding dan Majelis Hakim tingkat banding dalam Putusan nomor: 114/B/2019/PTTUN.Mks memutuskan, tidak menerima gugatan terbanding sehingga masyarakat Desa Lee dikalahkan dalam putusan bandingnya.
Perkara ini kemudian naik lagi ke tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Majelis Hakim Agung Tingkat Kasasi dalam Putusan nomor: 174 K/TUN/2020 berpendapat berbeda dengan Majelis Hakim tingkat banding.
Majelis Hakim Agung tingkat kasasi memutuskan untuk kembali memenangkan masyarakat adat Desa Lee dengan amar putusan menyatakan membatalkan sertifikat HGU seluas 1.895 ha milik PT SPN Nusantara dan mewajibkan Kakantah mencabut sertifikat HGU tersebut.
Setelah putusan kasasi tidak berpihak padanya, PT Sinergi Perkebunan Nusantara (PT SPN) menempuh upaya hukum luar biasa dengan mengajukan Permohonan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung.
Namun, Majelis Hakim Agung yang memeriksa permohonan PK menolak permohonan tersebut. Dengan demikian, amar putusan kasasi tetap berlaku, termasuk perintah untuk membatalkan Sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) milik PT SPN dan memerintahkan Kepala Kantor Pertanahan (Kakantah) Morowali Utara untuk mencabut sertifikat tersebut.
Meskipun amar putusan PK sebagian besar sama dengan putusan kasasi, Majelis PK menambahkan satu amar putusan baru berdasarkan pertimbangan hukum. Dalam pertimbangannya, Majelis menyatakan bahwa karena kepentingan hukum para penggugat hanya atas tanah seluas 47.639 m², maka tergugat diperintahkan untuk menerbitkan sertifikat HGU baru atas nama PT SPN dengan luasan dikurangi 47.639 m² dari total 1.895 hektare.
Tambahan amar tersebut berbunyi:
“Memerintahkan tergugat untuk menerbitkan sertifikat hak atas nama tergugat II intervensi, PT Sinergi Perkebunan Nusantara, seluas 1.895 hektare dikurangi 47.639 meter persegi.”
Putusan PK ini, menjadi penting karena tidak hanya memperkuat amar putusan kasasi, tetapi juga menciptakan kepastian hukum terhadap batas kepemilikan lahan, sekaligus menegaskan perlindungan terhadap hak masyarakat atas tanah yang telah dikuasai secara turun-temurun.
Artinya, berdasarkan amar putusan PK tersebut, Kakantah wajib mengeluarkan sertifikat HGU atas nama PT.SPN dengan luasan 18.902.361 m² atau 1.890,2361 Ha. Angka itu didapat setelah dikurangi lahan seluas 47.639 m2 yang sudah diklaim oleh masyarakat Desa Lee atau para penggugat.