Legal Standing Perludem Sah di PTUN: babak baru Demokrasi

Putusan Mahkamah Agung Nomor 299 K/TUN/TF/2024 menandai sebuah tonggak penting dalam landmark decision di Indonesia. Putusan ini tidak hanya mengakui kedudukan hukum (legal standing) Perludem di PTUN, tetapi juga secara fundamental memperluas hak gugat bagi LSM, mengukuhkan peran Perludem sebagai pengawal demokrasi.
Ilustrasi keadilan. Foto : dokumentasi penulis by Canva
Ilustrasi keadilan. Foto : dokumentasi penulis by Canva

Sengketa Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) menjadi bukti nyata bahwa peran tersebut kini menemukan babak baru. 

Putusan Mahkamah Agung Nomor 299 K/TUN/TF/2024 yang mengakui kedudukan hukum untuk menggugat (legal standing) Perludem untuk mengajukan gugatan di PTUN adalah sebuah tonggak sejarah penting. Ini merupakan putusan yang monumental tidak hanya bagi Perludem sendiri melainkan bagi setiap warga negara yang menempatkan keyakinan pada integritas demokrasi.

Putusan Mahkamah Agung tersebut tidak hanya sekadar putusan pada umumnya melainkan dijadikan sebagai putusan penting (landmark decision) yang mentransformasi kaidah hukum terkait hak gugat Perludem. 

Kaidah hukum yang ditetapkan yaitu “LSM yang peduli dalam pengkajian mengenai penyelenggaraan pemilu dan demokrasi di Indonesia memiliki hak gugat (legal standing) dalam sengketa tertentu (pengangkatan kepala daerah atau penjabat kepala daerah) di peradilan tata usaha negara”. 

Kaidah hukum ini muncul sebagai respons terhadap perluasan hak gugat bagi organisasi (LSM/NGO), perwakilan kelompok, dan warga negara dalam sengketa pengangkatan kepala daerah atau penjabat kepala daerah di peradilan tata usaha negara.

Kasus Posisi

Sengketa ini bermula dari adanya  gugatan yang diajukan oleh Adhito Harinugroho, Lilik Sulistyo, Suci Fitriah Tanjung, dan Perludem di PTUN Jakarta. 

Dalam gugatannya, yang terdaftar dengan nomor perkara 422/G/TF/2022/PTUN.JKT, Para Penggugat menggugat Presiden dan Menteri Dalam Negeri atas tindakan pembiaran atau omisi berupa tidak menerbitkan peraturan pelaksana sebagai tindak lanjut dari keberlakuan Pasal 201 Ayat (9), (10), dan (11) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016.

Para penggugat berpendapat bahwa kedua pejabat tersebut lalai dalam kewajiban hukum mereka untuk menerbitkan peraturan pelaksana sesuai dengan amanat Pasal 201 Ayat (9), (10), dan (11) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tersebut. 

Alih-alih menerbitkan peraturan pelaksana, Presiden dan Menteri Dalam Negeri justru langsung mengeluarkan surat keputusan untuk mengangkat 88 penjabat kepala daerah di berbagai kota/kabupaten dan provinsi selama kurun waktu sejak 12 Mei 2022 sampai dengan 25 November 2022.

Putusan Pengadilan

Dalam putusannya, PTUN Jakarta secara tegas menyatakan bahwa Para Penggugat tidak memiliki kedudukan hukum (persona standi in judicio), sehingga gugatan Para Penggugat dinyatakan tidak diterima. Majelis Hakim menilai bahwa klaim kerugian baik itu kerugian hak asasi, konstitusional, moral, maupun hak untuk menikmati pemerintahan yang demokratis yang diajukan oleh Para Penggugat tidak beralasan hukum.

Pertimbangan ini didasarkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XIX/2021 yang pada intinya menekankan bahwa pengisian jabatan kepala daerah, termasuk penjabat sementara, adalah hal yang wajar demi menjaga pelayanan publik dan stabilitas. 

Selama pejabat yang ditunjuk memenuhi kualifikasi dan kinerjanya bisa dievaluasi, proses tersebut dibenarkan secara hukum. Dikaitkan dengan perkara ini, Majelis Hakim menilai bahwa proses pengisian jabatan penjabat kepala daerah telah dilakukan secara benar. 

Oleh karena itu, Majelis Hakim berpandangan bahwa Para Penggugat tidak memiliki kepentingan yang sah (persona standi in judicio).

Putusan bergulir kembali di tingkat banding. Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta (PT TUN Jakarta) Nomor 261/B/TF/2023/PT.TUN.JKT justru menguatkan amar putusan di tingkat pertama tersebut. 

Berbeda halnya dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 299 K/TUN/TF/2024 yang sekalipun dalam amar putusannya menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi (dahulu Para Penggugat) namun menariknya dalam amar putusan Mahkamah Agung tersebut justru memperbaiki amar putusan PT TUN Jakarta dan PTUN Jakarta khususnya mengenai kedudukan hukum (legal standing) Para Penggugat.

Majelis Hakim Agung berpendapat mengenai kedudukan hukum (legal standing) di Peradilan Tata Usaha Negara telah mengalami perluasan. 

Dalam sengketa TUN tertentu, subjek hukum yang bisa menggugat diperluas melalui media gugatan perwakilan kelompok, gugatan organisasi (LSM/NGO), dan gugatan warga negara, yang mana aspek kerugian juga telah mengalami perluasan menjadi berpotensi menimbulkan kerugian.

Penutup

Sengketa pengangkatan Kepala Daerah atau Penjabat Kepala Daerah memiliki karakteristik yang sama dengan sengketa lingkungan hidup, dikarenakan dampak yang ditimbulkan keduanya (lingkungan dan kepala daerah) sama-sama luas dan general. 

Dampak yang terjadi bisa memengaruhi seluruh wilayah, mulai dari kabupaten/kota, provinsi, hingga negara. Akibatnya, hak untuk menggugat juga harus diperluas, persis seperti yang berlaku pada sengketa lingkungan hidup. 

Oleh karena itu, Majelis Hakim Agung menilai Perludem memiliki kepentingan (legal standing) untuk mengajukan gugatan.

Putusan ini memunculkan pertanyaan dialektis selanjutnya yaitu “Akankah kedudukan hukum (legal standing) ini berlaku pula untuk organisasi LSM/NGO di sektor lain, misalnya yang bergerak di bidang bantuan hukum, Hukum dan Hak Asasi Manusia, pendidikan, atau anti-korupsi, untuk mengajukan gugatan di PTUN?” 

Pertanyaan ini menjadi sebuah perenungan dan pengingat bahwa hukum administrasi negara dan penegakannya melalui peradilan tata usaha negara bukanlah entitas statis, melainkan sistem yang terus-menerus berevolusi dan berkembang.