Hutan menjadi salah satu komponen lingkungan hidup yang sangat penting sebagai penyangga kehidupan makhluk hidup di muka bumi. Untuk itu, perlindungan hukum terhadap hutan menjadi sangat penting dalam konteks hukum lingkungan.
Salah satu wujud dari perlindungan hutan tersebut, dapat dilihat dengan adanya aturan hukum bahwa setiap pengangkutan kayu hasil hutan wajib dilengkapi dengan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH). Hal ini untuk mengatasi maraknya tindak pidana pengangkutan kayu tanpa dokumen sah dan mencegah pemanfaatan hutan yang berlebihan dan/atau ilegal.
Lalu, apa itu SKSHH? Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan adalah dokumen yang merupakan bukti legalitas hasil hutan yang menyatakan sahnya pengangkutan, penguasaan dan kepemilikan hasil hutan.
Berkaitan dengan SKSHH tersebut, penulis akan menguraikan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2878 K/Pid.Sus-LH/2020 yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam perkara tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana di bawah ini.
Ringkasan Posisi Kasus dan Pertimbangan Judex Facti
Perkara bermula ketika kayu telah selesai dimuat ke atas truk terdakwa dan Adek memberikan fotokopi dokumen kayu olahan/gergajian, serta uang muka upah angkut sebesar Rp3 juta kepada terdakwa yang kemudian berangkat menuju ke Medan.
Setibanya di Pekanbaru, tiba-tiba terdakwa dihentikan oleh anggota polisi yang mempertanyakan kelengkapan dokumen angkutan kayu. Kemudian, terdakwa pun memperlihatkan fotokopi dokumen kayu olahan yang diberikan oleh Adek kepada petugas kepolisian.
Atas perbuatan terdakwa, penuntut umum kemudian mendakwa dengan dakwaan alternatif, yaitu kesatu, Pasal 83 ayat (1) huruf b Undang Undang RI Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan atau Pasal 88 ayat (1) huruf a Undang Undang RI Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Selanjutnya, Pengadilan Negeri Pekanbaru melalui Putusan Nomor 960/Pid.B/LH/2019/PN.Pbr, menyatakan terdakwa telah terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan alternatif kesatu.
Majelis Hakim menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa selama dua tahun dan denda sejumlah Rp500 juta dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama empat bulan.
Pengadilan tingkat banding kemudian menguatkan putusan tingkat pertama tersebut sebagaimana dalam Putusan Nomor 548/Pid.B-LH/2019/PT PBR tanggal 23 Januari 2020.
Judex Juris Bebaskan Terdakwa
Tak sependapat dengan pertimbangan judex facti, Majelis Hakim Kasasi menyatakan putusan judex facti Pengadilan Tinggi yang menguatkan putusan judex facti Pengadilan Negeri, dibuat berdasarkan kesimpulan dan pertimbangan hukum yang salah. Hal ini, karena tidak berdasarkan pada fakta hukum yang relevan secara yuridis dengan tepat dan benar, serta tidak sesuai dengan fakta hukum yang terungkap di persidangan.
Majelis Hakim Kasasi berpendapat, tidak tepat dan tidak dapat dibenarkan secara yuridis kepada terdakwa yang hanya selaku sopir dibebankan kewajiban untuk melengkapi dokumen hasil hutan kayu berupa Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan bersama kayu yang diangkutnya.
Hal tersebut disebabkan, karena terdakwa sama sekali bukan pemilik kayu olahan yang diangkutnya dan ternyata pemilik kayu olahan itu adalah Muaslim atau Adek, sedangkan terdakwa hanya sebagai sopir truk yang tiada lain hanya sekedar mengharap upah dari sejumlah kayu olahan/gergajian yang diangkutnya.
Lebih lanjut, judex juris menegaskan dalam Putusan Nomor 2878 K/Pid.Sus-LH/2020 tersebut, tidak dapat dibenarkan tindakan oknum penyidik yang tidak profssional melakukan penyidikan perkara a quo sebagaimana ditentukan KUHAP demi menemukan kebenaran materiil.
“Yaitu, sengaja tidak memanggil Muaslim dan atau Adek sebagai sebagai saksi utama dalam perkara a quo dengan alasan alamat Muaslim dan Adek tidak diketahui.” tegas Majelis Hakim Kasasi.
Mahkamah Agung turut menyoroti kondisi, di mana terdakwa telah menjelaskan dengan terang benderang bahwa kayu olahan/gergajian diambil dan dimuat di pengetaman kayu milik Muaslim di Jalan Teropong Kota Pekanbaru.
Terdakwa, nilai Majelis Hakim, menerangkan juga bertemu dengan Adek di pengetaman kayu milik Muaslim di Jalan Teropong Kota Pekanbaru dan yang memberikan fotokopi dokumen kayu olahan/gergajian serta uang muka/DP upah angkut adalah juga Adek.
Majelis Hakim Kasasi menjelaskan, tidak dapat dibenarkan tindakan oknum penuntut umum yang menerima pelimpahan kelengkapan berkas perkara a quo hasil dari penyidikan, yang tidak profesional melakukan penelitian kelengkapan berkas perkara sebagaimana ditentukan KUHAP demi memperoleh kebenaran materiil.
Hal tersebut, tambah Majelis Hakim Kasasi, sengaja tidak memberikan petunjuk yang proporsional, profesional dan sistematis kepada oknum penyidik, setidaknya untuk memanggil Muaslim dan atau Adek ataupun saksi dari pihak Dinas Kehutanan setempat sebagai saksi utama dalam perkara tersebut.
Berdasarkan pertimbangan demikian, Mahkamah Agung menilai, perbuatan terdakwa tidak terbukti memenuhi unsur bestanddelen delict (inti delik) baik pada dakwaan alternatif ke satu maupun pada dakwaan alternatif kedua.
“Membebaskan terdakwa oleh karena itu dari dakwaan kesatu atau dakwaan kedua penuntut umum tersebut, memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya.” bunyi salah satu amar putusan kasasi tanggal 29 September 2020 tersebut.
Kaidah Hukum
Putusan Kasasi Nomor 2878 K/Pid.Sus-LH/2020 tersebut memiliki kaidah hukum yaitu, tidak ada kewajiban bagi seorang sopir yang mengangkut kayu milik orang lain untuk melengkapi dokumen hasil hutan kayu yang diangkutnya.
Adanya publikasi putusan dengan kaidah hukum yang ditetapkan tersebut, kiranya dapat menambah khazanah pengetahuan para pembaca dan memotivasi para hakim agar senantiasa berupaya melahirkan putusan yang berkeadilan.