Dalam suatu gugatan perdata, sering ditemukan tuntutan/petitum mengenai pembayaran uang paksa dengan jumlah tertentu.
Adapun uang paksa dalam bahasa Belanda disebut dengan dwangsom.
Awalnya praktek pengenaan uang paksa, diterapkan dalam interaksi perikatan atau perjanjian. Namun, saat ini tuntutan uang paksa secara lebih luas dalam praktek peradilan perdata.
Menurut Marcel Stome, Guru Besar dari Rijksuniversiteit Gent Belgia, menerangkan uang paksa adalah hukuman bersifat accesoir bagi Tergugat guna menyerahkan sejumlah uang kepada Penggugat, dalam keadaan berutang tidak melaksanakan hukuman utamanya.
Tujuan dari penjatuhan uang paksa, untuk mendesak Tergugat melaksanakan hukuman utamanya.
Kegunaan uang paksa dalam praktek peradilan perdata, agar Tergugat merasa terbebani untuk patuh dan menjalankan hukuman pokok secara sukarela, yang telah dijatuhkan dalam suatu putusan perdata yang berkekuatan hukum tetap.
Atau secara prinsip, Tergugat terbebani secara psikis guna melaksanakan hukuman utama yang telah diputuskan Pengadilan, dengan adanya uang paksa dimaksud.
Pengaturan mengenai tuntutan uang paksa dalam suatu gugatan perdata, tidak diatur secara spesifik dalam hukum acara perdata yang berlaku saat ini, seperti HIR/RBg.
Selanjutnya, bagaimanakah menurut Yurisprudensi MA RI penerapan uang paksa yang sah secara hukum? Apakah terdapat persyaratan tertentu, agar tuntutan uang paksa dikabulkan oleh Hakim?
Guna menjawab pertanyaan tersebut, penulis akan menguraikan kaidah hukum Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 791 K/Sip/1972, yang diputus dalam persidangan terbuka untuk umum tanggal 26 Februari 1973 dan telah ditetapkan sebagai Yurisprudensi Mahkamah Agung RI.
Kaidah hukum Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 791 K/Sip/1972, menjelaskan uang paksa (dwangsom) tidak berlaku terhadap tindakan untuk membayar sejumlah uang.
Putusan Mahkamah Agung RI tersebut, diputus oleh Majelis Hakim Agung RI Prof. R. Sardjono, S.H. (Ketua Majelis), dengan didampingi Indroharto, S.H. dan R.Z Asikin Kusumah Atmadja, S.H. (masing-masing sebagai Hakim Anggota)
Hal tersebut, selaras dengan ketentuan Pasal 606a dan Pasal 606b Reglement op de Burgerlijke Rechstvordering.
Sebagai informasi, Reglement op de Burgerlijke Rechstvordering merupakan hukum acara perdata dalam mengadili perkara-perkara perdata golongan Eropa di pengadilan era Hindia Belanda, seperti Raad van Justitie.
Meskipun, tidak lagi berlaku sebagai hukum acara perdata, beberapa ketentuan dalam Reglement op de Burgerlijke Rechstvordering masih diadopsi dalam praktek peradilan perdata saat ini, seperti ketentuan uang paksa, permohonan intervensi (masuknya pihak ketiga) dalam persidangan dan beberapa hal lainnya.
Semoga artikel ini dapat menambah pengetahuan bagi Para Hakim dan akademisi hukum lainnya.
Sumber Referensi
- Dina Amalia, dkk, Implementasi Penggunaan Uang Paksa (Dwangsom) Terhadap Putusan Hakim (Studi Kasus Pengadilan Agama Denpasar), Jurnal Analogi Hukum, Vol 6, No 3, Tahun 2024
- Harifin A Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) dan Implementasinya di Indonesia, Jakarta, Kencana, 2010.
- Jabalnur, dkk, Analisis Yuridis Penerapan Hukum Uang Paksa (Dwangsom) pada Putusan Perkara Perdata terkait Putusan dengan Pembayaran Sejumlah Uang, Jurnal Halu Oleo Legal Research, Vol 7, No 1, Agustus 2025
- Rangkuman Yurisrprdensi Mahkamah Agung Indonesia II Hukum Perdata dan Acara Perdata, Tahun 1977