Bencana alam kembali melanda. Rentetan peristiwa di berbagai wilayah Sumatera mengingatkan kita bahwa tragedi tidak pernah layak dibandingkan.
Setiap bencana membawa luka kemanusiannya sendiri. Satu jiwa yang hilang saja sudah merupakan kehilangan tak ternilai, bukan sekadar angka yang dapat disejajarkan dalam statistik.
Namun di balik kepanikan dan duka itu, bencana menyampaikan pesan yang kerap luput kita resapi. Ia mengingatkan manusia hidup dalam ruang yang rapuh; bahwa alam bukan objek eksploitasi tanpa batas; dan bahwa ketidakpedulian kita—baik terhadap lingkungan maupun terhadap aturan yang mengatur pengelolaannya, akan kembali kepada kita sebagai risiko kolektif.
Bencana dan Realitas Ketidakpatuhan Hukum
Sudah terlalu sering kita menyaksikan pola yang berulang: Banjir hadir setelah hutan digunduli tanpa izin dan tanpa reboisasi; tanah longsor terjadi setelah bukit dikeruk melampaui batas aturan pertambangan; sungai meluap karena badan sungai dipersempit oleh bangunan yang jelas-jelas melanggar tata ruang.
Banyak bencana bukan sekadar fenomena alam, tetapi merupakan akumulasi dari ketidakpatuhan terhadap hukum, baik oleh individu, korporasi, maupun pemangku kebijakan.
Aturan tentang tata ruang, lingkungan hidup, izin industri, hingga pengelolaan hutan bukan dibuat untuk membatasi kreativitas pembangunan, tetapi untuk mengawal keberlanjutan dan keselamatan bersama.
Ketika aturan diabaikan, entah karena kelalaian, pembiaran, atau bahkan korupsi, maka bencana yang seharusnya dapat diminimalkan berubah menjadi tragedi berkepanjangan.
Pada titik ini, bencana bukan lagi takdir semata, tetapi konsekuensi dari pilihan-pilihan manusia yang mengabaikan hukum dan nalar ekologis.
Hukum Alam: Sistem yang Telah Disusun Tuhan
Para pembuat kebijakan, dunia usaha, dan seluruh lapisan masyarakat perlu kembali mengingat sesuatu yang sangat mendasar namun sering terlupakan. Sesuatu itu adalah bahwa “alam bekerja dengan hukumnya sendiri”.
Hutan, lembah, bukit, sungai, dan tata ruang bukanlah kumpulan objek fisik yang bisa ditata ulang sesuka hati. Mereka adalah unsur-unsur ekosistem yang posisinya telah Allah tetapkan sebagai satu kesatuan sistem yang harmonis.
Alam adalah makhluk yang tunduk pada “sunnatullah”. Ia akan bersahabat ketika kita menjaga keseimbangannya. Namun ketika unsur-unsurnya diganggu, ketika hutan ditebang serampangan, tanah dilukai tanpa perhitungan, bukit diratakan demi keuntungan sesaat—maka alam “marah”, dan kemarahan alam itu kembali menimpa manusia. Bahkan, imbas kemarahan itu juga harus menimpa kepada yang tidak berdosa.
Inilah hukum alam yang seharusnya tidak hanya dipahami oleh ahli ekologi, tetapi juga oleh para pembuat kebijakan, para pemegang izin, para pemilik modal, dan seluruh warga negara.
Mengabaikan sistem yang telah Tuhan tetapkan sama saja dengan mengundang risiko bencana yang semakin dahsyat.
Mitigasi Bencana sebagai Tugas Kemanusiaan dan Penegakan Hukum
Empati saja tidak cukup. Kita membutuhkan kesadaran kolektif bahwa mitigasi bencana adalah perpaduan antara moralitas publik, kepatuhan hukum, dan penghormatan terhadap sistem alam ciptaan Tuhan.
Pemerintah harus memperkuat sistem peringatan dini, memperbaiki tata ruang, dan, yang tidak kalah penting—menegakkan aturan lingkungan tanpa kompromi.
Setiap pelanggaran izin tambang, setiap alih fungsi lahan yang tidak sah, setiap bangunan liar di sempadan sungai adalah potensi bencana yang harus dihentikan sejak awal.
Penegakan hukum di sini bukan represif, tetapi protektif, untuk melindungi nyawa manusia dan keberlanjutan alam.
Masyarakat pun harus menata ulang cara hidupnya. Kepedulian kecil, seperti menjaga kebersihan sungai, mematuhi aturan pembuangan limbah, atau tidak mendirikan bangunan di wilayah terlarang, adalah bagian dari budaya patuh hukum (law-abiding culture) yang menjadi fondasi ketahanan bencana.
Dunia usaha pun tidak dapat lagi berlindung di balik retorika investasi. Prinsip keberlanjutan harus menjadi etika dasar, bukan sekadar slogan. Kepatuhan hukum adalah bentuk tanggung jawab sosial yang nyata, bukan formalitas administratif.
Bencana sebagai Evaluasi Moral dan Hukum
Setiap bencana seharusnya menjadi cermin bagi kita untuk bertanya: Apakah kita sudah mematuhi hukum yang melindungi lingkungan? Atau selama ini kita hanya mematuhinya di atas kertas, tetapi mengabaikannya dalam praktik? Sudahkah kita menghormati hukum alam yang menjadi dasar keseimbangan kehidupan?
Mungkin bencana memang sedang mengingatkan kita pada kesombongan manusia yang merasa mampu mengatur alam semaunya.
Mungkin tentang kelalaian kita menjaga ruang hidup sesama manusia. Atau, mungkin pula tentang perlunya menata kembali hubungan antara manusia, lingkungan, dan Tuhan—yang salah satunya dimanifestasikan melalui kepatuhan terhadap hukum-hukum yang mengatur tata kelola bumi.
Menjaga Alam, Mematuhi Hukum, Menjaga Kehidupan
Di tengah duka para korban, mari kita menjadikan peristiwa ini sebagai peringatan. Bukan untuk menakut-nakuti, tetapi untuk membangun kesadaran.
Bukan untuk mencari kambing hitam, tetapi untuk membangun komitmen baru bahwa mencegah bencana jauh lebih mulia daripada meratapi kerusakannya.
Menjaga alam berarti menjaga kehidupan. Dan mematuhi hukum, baik hukum negara maupun hukum alam—adalah bagian dari menjaga amanah itu.
Semoga setiap musibah menggugah nurani kita, bahwa kepedulian dan kepatuhan bukan sekadar pilihan, tetapi kebutuhan moral dan legal.
“Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un.”




