Yurisprudensi MA: Kedudukan Diktum Mengabulkan Gugatan Penggugat Seluruhnya/Sebagian dengan Perbaikan

Putusan Hakim diambil berdasarkan musyawarah, setelah sebelumnya menurut hukum acara perdata melaksanakan proses persidangan dari mediasi
Iustrasi putusan hakim. Foto pixabay.com
Iustrasi putusan hakim. Foto pixabay.com

Dalam penyelesaian suatu sengketa perdata melalui jalur litigasi di Pengadilan, di mana penjatuhan putusan akhir oleh Hakim merupakan suatu hal yang ditunggu pihak berperkara. 

Putusan Hakim diambil berdasarkan musyawarah, setelah sebelumnya menurut hukum acara perdata melaksanakan proses persidangan dari mediasi (kecuali perkara yang dikecualikan), pembacaan gugatan dan proses jawab jinawab, pembuktian dan penyerahan kesimpulan.

Musyawarah sebelum penjatuhan putusan, yang dilakukan oleh Hakim wajib menguraikan segala alasan hukum yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang jadi dasar mengabulkan, menolak gugatan penggugat atau menyatakan gugatan tidak dapat diterima, sebagaimana ketentuan Pasal 178 HIR/Pasal 189 Ayat 1 Rbg.

Dalam ketentuan tersebut, juga hakim secara imperatif memiliki tugas menambahkan dasar hukum atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang tidak disampaikan para pihak, yang kelak dituangkan dalam pertimbangan putusan. 

Urgensi menguraikan ketentuan peraturan perundang-undangan atau dasar hukum yang melandasi penjatuhan putusan, ditujukan agar jelas dan komprehensif alasan/dasar Hakim menjatuhkan suatu putusan. (vide Pasal 184 HIR/Pasal 195 Ayat 1 dan 2 Rbg). 

Tindakan menambahkan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar putusan, walaupun tidak diuraikan para pihak yakni bukanlah aktivitas terlarang seperti menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak digugat atau melebihi dari yang dimintakan dalam gugatan, sesuai ketentuan Pasal 178 HIR/Pasal 189 Ayat 3 Rbg.

Secara formal, ketentuan Pasal 184 HIR/Pasal 195 Ayat 1 s.d. 3 Rbg, memberikan pedoman mengenai hal-hal yang wajib dicantumkan dalam suatu Putusan Hakim, antara lain sebaga berikut:

  • Wajib memuat secara ringkas dan jelas dalil gugatan, serta jawaban atas gugatan;
  • Dasar atau alasan menjatuhkan putusan (pertimbangan hukum) penjatuhan putusan;
  • Ketentuan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar penjatuhan putusan;
  • Amar putusan Hakim mengenai pokok perkara;
  • Biaya perkara;
  • Keterangan para pihak yang hadir dalam penjatuhan putusan;
  • Putusan ditandatangani Hakim dan Panitera sidang;

Dalam berbagai putusan Hakim, sering kita lihat penambahan peraturan perundang-undangan yang jadi dasar mengabulkan suatu gugatan, yang sebelumnya ketentuan peraturan tersebut, tidak diuraikan penggugat. 

Atas penambahan tersebut, Hakim biasanya menyampaikan gugatan atau permohonan dikabulkan sebagian atau seluruhnya dengan perbaikan, pada uraian pertimbangan putusan. 

Terhadap dikabulkannnya gugatan seluruhnya/sebagian dengan perbaikan, menimbulkan pertanyaan berupa apakah frasa dikabulkan seluruhnya atau sebagian dengan perbaikan wajib tercantum juga dalam amar putusan? atau cukup di dalam pertimbangan putusan?

Guna menjawab pertanyaan tersebut, penulis akan menguraikan kaidah hukum Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 201 K/Sip/1974, yang telah ditetapkan menjadi Yurisprudensi MA RI, sebagaimana buku Rangkuman Yurisprudensi Mahkamah Agung Indonesia Seri II Hukum Perdata dan Acara Perdata.

Kaidah hukum Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 201 K/Sip/1974, menjelaskan diktum yang berbunyi mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian dengan perubahan atau perbaikan adalah tidak lazim. 

Seandainya Hakim ingin mengabulkan gugatan dengan perbaikan atau perubahan, cukup diuraikan di bagian atas (pertimbangan) dan diktum hanya berbunyi mengabulkan gugatan untuk sebagian dan seterusnya.

Maka, dapat ditarik kesimpulan bilamana gugatan dikabulkan seluruhnya atau sebagian dengan perbaikan atau perubahan, format penulisan amar atau diktum putusan tidak perlu menggunakan kata frasa “perbaikan atau perubahan”, cukup menyatakan gugatan dikabulkan seluruhnya atau sebagian. 

Uraian gugatan dikabulkan seluruhnya atau sebagian dengan perbaikan, cukup dicantumkan dalam pertimbangan putusan.

Penulisan diktum tersebut, selaras dengan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 359/KMA/SK/XII/2022 tentang Template dan Pedoman Penulisan Putusan/Penetapan Pengadilan Tingkat Pertama dan Tingkat Banding pada Empat Lingkungan Peradilan di Bawah Mahkamah Agung.

Sebagai informasi Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 201 K/Sip/1974, diputus dalam persidangan terbuka untuk umum, tanggal 28 Januari 1976 oleh Majelis Hakim Agung Indroharto, S.H. (Ketua Majelis) dengan didampingi Samsuddin Aboebakar, S.H. dan D.H Lumbanradja, S.H. (masing-masing Hakim Anggota).

Harapannya artikel yang mengulas kaidah hukum Yurisprudensi MA RI, dapat menambah referensi bagi Hakim dan menambah pengetahuan bagi para akademisi hukum.

Penulis: Adji Prakoso
Editor: Tim MariNews