Dalam dunia industri yang maju dan modern, para pemilik usaha tidak membeli tanah untuk dijadikan lokasi usahanya. Pelaku usaha tersebut, lebih memilih menyewa tanah dalam jangka waktu tertentu, guna dimanfaatkan aktivitas bisnisnya. Apalagi bagi pelaku usaha UMKM, lebih memilih menyewa tempat usahanya.
Pelaku usaha UMKM, saat ini berikan kontribusi besar bagi ekonomi nasional. Tercatat adanya 66 juta pelaku usaha UMKM dan menyumbangkan 61% Produk Domestik Bruto (PDB), hal itu sebagaimana data dari Kamar Dagang Indonesia (Kadin) pada 2023.
Selain itu, dalam sudut pandang pemilik tanah, menyewakan tanah atau sekaligus bangunannya, lebih bermanfaat dibandingkan menjualnya secara langsung. Manfaatannya, status tanah tetap menjadi pihak yang menyewakan dan tetap dapatkan biaya sewa.
Sewa menyewa termasuk dalam perjanjian yang berlaku sebagai undang-undang yang membuatnya, dimana perjanjian tidak dapat ditarik kembali, kecuali adanya kesepakatan para pihak dalam perjanjian atau ada alasan hukum yang diperbolehkan peraturan perundang-undangan, sebagaimana ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata.
Demikian juga sesuai ketentuan dimaksud, perjanjian wajib dilaksanakan secara iktikad baik. Selain itu, hakikatnya perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal yang tegas dinyatakan dalam perjanjian, selain itu wajib berdasarkan kepatutan, kebiasaan atau undang-undang, sesuai Pasal 1339 KUHPerdata.
Berdasarkan Pasal 1340 KUHPerdata, yakni prinsipnya perjanjian hanya berlaku dan mengikat para pihak yang membuatnya. Perjanjian juga tidak bisa memberikan kerugian dan manfaat kepada pihak ketiga, selain perjanjian dibuat untuk kepentingan pihak ketiga, sebagaimana ketentuan Pasal 1317 KUHPerdata.
Ikatan sewa menyewa, secara ringkas dapat diartikan sebagai tindakan pihak yang menyewakan benda, agar benda tersebut dapat dinikmati penyewanya dan penyewanya wajib membayar sesuatu harga atas perbuatan menyewa benda, sesuai Pasal 1548 KUHPerdata.
Ketentuan Pasal 1549 KUHPerdata, juga menegaskan seluruh jenis benda, juga dapat disewakan, baik untuk tidak bergerak dan benda bergerak.
Tidak sedikit dalam perjanjian sewa menyewa benda, pihak penyewa benda diganggu oleh pihak ketiga, bisa saja dengan alasan benda tersebut milik pihak ketiga atau lebih berhak memanfaatkan benda tersebut?
Atas permasalahan dimaksud, penulis akan menguraikan kaidah hukum Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 136 K/Sip/1952, yang telah menjadi Yurisprudensi MA RI dan diputus dalam persidangan terbuka untuk umum, tanggal 13 Oktober 1954.
Putusan bersejarah tersebut, diputus oleh Majelis Hakim Agung Mr. Wirjono Prodjodikoro (Ketua Majelis), dengan didampingi Mr. M.H. Tirtaamidjaja dan Mr. Soekardono (masing-masing Hakim Anggota).
Kaidah hukum pertimbangan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 136 K/Sip/1952, menjelaskan, seorang penyewa tanah persil, dalam memakai tanah diganggu oleh pihak ketiga, di mana tidak berkewajiban untuk menuntut/gugat pihak yang menyewakan, bersama-sama dengan pihak ketiga yang menggangu, sebagaimana ketentuan Pasal 1556 KUHPerdata.
Pasal 1556 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) menyatakan, pihak yang menyewakan suatu benda tidak memiliki kewajiban untuk menjamin penyewa dari gangguan atau rintangan yang ditimbulkan oleh pihak ketiga, selama pihak ketiga tersebut tidak mengajukan klaim hukum atas benda yang disewa. Dalam hal ini, penyewa tetap memiliki hak untuk menggugat pihak ketiga yang mengganggu penggunaan benda sewaan.
Ketentuan ini diperkuat oleh Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 136 K/Sip/1952, yang menegaskan, dalam perkara antara penyewa dan pihak ketiga, ketidakterlibatan pemilik benda sebagai tergugat tidak menyebabkan gugatan menjadi tidak dapat diterima.
Dengan demikian, penyewa tidak wajib menarik pemilik benda sebagai pihak tergugat ketika menggugat pihak ketiga yang menyebabkan gangguan dalam penggunaan benda sewaan. Hal ini mempertegas posisi hukum penyewa dalam melindungi haknya tanpa harus bergantung pada pemilik benda.